Rasionalitas Penundaan Pilkada 2020
Senin, 28 September 2020 - 06:49 WIB
Alasan ketiga, penundaan akan berpotensi menghasilkan instabilitas atau socio-political unrest. Pandangan seperti ini tampak berlebihan atau bersifat paranoid. Mirip dengan adanya kekhawatiran akan adanya makar beberapa waktu lalu. Mengapa? Karena konsolidasi sumber-sumber kekuatan untuk melakukan socio-unrest bukanlah hal yang mudah. Sebuah socio-unrest, apalagi yang mengarah pada makar, membutuhkan pengondisian-pengondisian yang mengarah ke sana.
Selain itu, perlu tokoh penggerak yang ditopang oleh kekuatan milisia/tentara, dukungan finansial ataupun jaringan yang memadai yang relatif kuat. Sejauh ini kekuatan seperti itu belum terlihat jelas. Dan bisa jadi kalau toh ada, bisa jadi tidak disiapkan terkait dengan pelaksanaan pilkada.
Di sisi lain, pemerintah dengan dukungan partai-partai mayoritas yang tecermin dengan kekuatan mayoritas di DPR, ditambah solidnya dukungan tentara, polisi maupun birokrasi tentu menjadi elemen tunggal yang sulit ditandingi dan tentu dapat mengatasi dengan mudah potensi socio-unrest itu.
Alasan keempat, adalah pelaksanaan pilkada adalah hak konstitusional rakyat. Pertanyaannya, apakah penundaan (bukan pembatalan) pelaksanaan pilkada atas dasar kesiapan masyarakat dan demi alasan keselamatan jiwa manusia itu melanggar konstitusi? Bahkan secara normatif, dalam aturan penyelenggaraan pilkada itu sendiri dimungkinkan. Secara histori, penundaan terkait pemilihan pun pernah dilakukan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respons rakyat itu sendiri terkait dengan hak konstitusionalnya. Hingga kini beberapa hasil survei termasuk yang dilakukan oleh beberapa lembaga, termasuk Puslit Politik LIPI yang melakukan jajak pendapat pascapenyelenggaraan seminar nasional, mengindikasikan mayoritas masyarakat tidak menganggap pilkada sebagai hal yang urgen.
Bukti empiris lainnya adalah sikap para tokoh maupun ormas-ormas baik besar, menengah ataupun kecil yang dalam kesehariannya berkecimpung dengan rakyat banyak, juga mengharapkan adanya penundaan jalannya pilkada.
Alasan kelima adalah alasan ekonomi. Pelaksanaan pilkada akan berkorelasi dengan geliat ekonomi bangsa. Kegiatan ekonomi saat ini pada kenyataannya sudah demikian lemah akibat tidak ada kepercayaan terhadap pasar. Inti persoalan itu terungkap dari hasil penelitian terbaru Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, yang mengatakan bahwa pada level kalangan masyarakat atas sekalipun saat ini cenderung menahan diri tidak melakukan pembelian atau sebuah kegiatan ekonomi yang masif. Mereka menunggu kepastian apa yang akan terjadi. Perilaku ini jelas tidak terkait dengan ditunda atau tidak ditundanya pilkada.
Jika dikaitkan dengan pendanaan pilkada yang pada dasarnya demikian minim hanya sekitar belasan juta triliun, dibanding dengan pendanaan terkait dengan pandemi Covid-19 yang jumlahnya hingga ratusan triliun. Dengan kata lain, dengan modal sekian belas triliun, tentu saja pendapatan yang diharapkan sebagai timbal balik ekonomi pun juga tidak akan memancing pergerakan yang signifikan. Stimulus kehidupan ekonomi kita tidak terletak pada pilkada. Bahkan, pilkada berpotensi menghasilkan expenditure akibat jatuhnya korban yang lebih banyak.
Alasan keenam, pilkada tidak akan menghasilkan klaster baru karena diprediksi akan berjalan dengan tertib dan diharapkan pada Desember 2020 akan mulai melandai. Dalam praktiknya, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan pilkada itu akan benar-benar tertib. Sejauh kebanyakan peserta maupun rakyat pada umumnya masih memahami kampanye adalah sebuah kegiatan mengumpulkan massa yang luar biasa potensi berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar itu tetap ada. Terbukti konsentrasi kerumunan massa masih terlihat di sana-sini.
Secara rasional sulit dipahami bahwa situasinya telah benar-benar berubah dan kondusif untuk sebuah pilkada dengan fase kampanye yang melibatkan 734 kontestan, selama 71 hari di berbagai titik plus pada hari H pilkada. Prediksi beberapa pihak termasuk LP3ES bahwa pada masa-masa ini justru akan terjadi klaster pilkada yang melibatkan hingga jutaan orang.
Selain itu, perlu tokoh penggerak yang ditopang oleh kekuatan milisia/tentara, dukungan finansial ataupun jaringan yang memadai yang relatif kuat. Sejauh ini kekuatan seperti itu belum terlihat jelas. Dan bisa jadi kalau toh ada, bisa jadi tidak disiapkan terkait dengan pelaksanaan pilkada.
Di sisi lain, pemerintah dengan dukungan partai-partai mayoritas yang tecermin dengan kekuatan mayoritas di DPR, ditambah solidnya dukungan tentara, polisi maupun birokrasi tentu menjadi elemen tunggal yang sulit ditandingi dan tentu dapat mengatasi dengan mudah potensi socio-unrest itu.
Alasan keempat, adalah pelaksanaan pilkada adalah hak konstitusional rakyat. Pertanyaannya, apakah penundaan (bukan pembatalan) pelaksanaan pilkada atas dasar kesiapan masyarakat dan demi alasan keselamatan jiwa manusia itu melanggar konstitusi? Bahkan secara normatif, dalam aturan penyelenggaraan pilkada itu sendiri dimungkinkan. Secara histori, penundaan terkait pemilihan pun pernah dilakukan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respons rakyat itu sendiri terkait dengan hak konstitusionalnya. Hingga kini beberapa hasil survei termasuk yang dilakukan oleh beberapa lembaga, termasuk Puslit Politik LIPI yang melakukan jajak pendapat pascapenyelenggaraan seminar nasional, mengindikasikan mayoritas masyarakat tidak menganggap pilkada sebagai hal yang urgen.
Bukti empiris lainnya adalah sikap para tokoh maupun ormas-ormas baik besar, menengah ataupun kecil yang dalam kesehariannya berkecimpung dengan rakyat banyak, juga mengharapkan adanya penundaan jalannya pilkada.
Alasan kelima adalah alasan ekonomi. Pelaksanaan pilkada akan berkorelasi dengan geliat ekonomi bangsa. Kegiatan ekonomi saat ini pada kenyataannya sudah demikian lemah akibat tidak ada kepercayaan terhadap pasar. Inti persoalan itu terungkap dari hasil penelitian terbaru Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, yang mengatakan bahwa pada level kalangan masyarakat atas sekalipun saat ini cenderung menahan diri tidak melakukan pembelian atau sebuah kegiatan ekonomi yang masif. Mereka menunggu kepastian apa yang akan terjadi. Perilaku ini jelas tidak terkait dengan ditunda atau tidak ditundanya pilkada.
Jika dikaitkan dengan pendanaan pilkada yang pada dasarnya demikian minim hanya sekitar belasan juta triliun, dibanding dengan pendanaan terkait dengan pandemi Covid-19 yang jumlahnya hingga ratusan triliun. Dengan kata lain, dengan modal sekian belas triliun, tentu saja pendapatan yang diharapkan sebagai timbal balik ekonomi pun juga tidak akan memancing pergerakan yang signifikan. Stimulus kehidupan ekonomi kita tidak terletak pada pilkada. Bahkan, pilkada berpotensi menghasilkan expenditure akibat jatuhnya korban yang lebih banyak.
Alasan keenam, pilkada tidak akan menghasilkan klaster baru karena diprediksi akan berjalan dengan tertib dan diharapkan pada Desember 2020 akan mulai melandai. Dalam praktiknya, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan pilkada itu akan benar-benar tertib. Sejauh kebanyakan peserta maupun rakyat pada umumnya masih memahami kampanye adalah sebuah kegiatan mengumpulkan massa yang luar biasa potensi berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar itu tetap ada. Terbukti konsentrasi kerumunan massa masih terlihat di sana-sini.
Secara rasional sulit dipahami bahwa situasinya telah benar-benar berubah dan kondusif untuk sebuah pilkada dengan fase kampanye yang melibatkan 734 kontestan, selama 71 hari di berbagai titik plus pada hari H pilkada. Prediksi beberapa pihak termasuk LP3ES bahwa pada masa-masa ini justru akan terjadi klaster pilkada yang melibatkan hingga jutaan orang.
tulis komentar anda