Rasionalitas Penundaan Pilkada 2020
loading...
A
A
A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
PELAKSANAAN Pilkada 2020 menimbulkan silang pendapat dan perdebatan. Sebagian kalangan yang menginginkan tetap dilakukannya pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 didasarkan oleh beberapa alasan. Tulisan ini akan mencoba untuk menunjukkan bahwa alasan-alasan tersebut pada dasarnya tidak memiliki panduan argumen yang memadai.
Alasan pertama adalah apakah penundaan itu wajar dan sampai kapan bisa dilakukan. Apakah ada jaminan pada tahun depan situasinya akan membaik. Kalau penundaan berkepanjangan tentu akan menimbulkan situasi serba ketidakpastian. Secara historis dalam soal penundaan pemilu, negara kita pernah menunda pelaksanaan beberapa kali. Pemilu pertama, misalnya, baru dilakukan pada 1955 atau sepuluh tahun setelah kita merdeka.
Pada masa Orde Baru, pemilu pertama baru dilakukan pada 1971. Pemilu kedua di era ini ditunda setahun menjadi baru terselenggara pada 1977. Pada masa Reformasi juga terjadi penundaan, di mana baru pada 1999 pemilu dilangsungkan meski Presiden Habibie telah naik kekuasaan pada 1998 yang menandai kelahiran era Reformasi.
Berbagai penundaan itu disebabkan terutama karena masyarakat pada umumnya belum siap dalam melaksanakan pemilu, sehingga jika dipaksakan akan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Adalah ironis manakala pemerintah masa lalu itu dapat memahami hakikat pemilu sesungguhnya adalah sebagai bagian penting dari hakikat kedaulatan rakyat, pemerintahan saat ini justru seolah abai atas hakikat sebuah pemilu itu sendiri.
Sementara itu, puluhan negara, baik pada level pemilihan pusat maupun daerah, juga memutuskan dilakukannya penundaan, baik karena alasan kemanusiaan maupun esensi dari penyelenggaraan pemilu.
Alasan kedua adalah manakala ditunda akan sulit mencari pelaksana tugas (plt) kepala daerah. Ini tentu juga bukan sesuatu yang dapat diterima. Mengingat bahwa pejabat-pejabat daerah potensial dapat diminta untuk melaksanakan tugas plt. Ditambah dengan beberapa pejabat di level nasional. Selain itu, plt juga bukan barang baru. Di beberapa daerah-daerah pemekaran, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, juga kerap harus menunggu kepala daerah definitif hasil pemilu yang akhirnya untuk sementara dipimpin oleh seorang plt.
Soal seputar pengganti kepala daerah sementara juga sudah diatur dalam Permendagri 74/2016 jo Permendagri 1/2018. Kekhawatiran bahwa seorang plt akan menyimpang tidak perlu dikhawatirkan mengingat diawasi oleh DPRD maupun masyarakat sipil. Terbukti kemudian pemerintahan dapat berjalan dengan baik-baik saja, tidak saja dapat memenuhi fungsi-fungsi administratif dan tata kelola pemerintahan, tetapi juga kondusif bagi stabilitas politik di wilayahnya.
Alasan ketiga, penundaan akan berpotensi menghasilkan instabilitas atau socio-political unrest. Pandangan seperti ini tampak berlebihan atau bersifat paranoid. Mirip dengan adanya kekhawatiran akan adanya makar beberapa waktu lalu. Mengapa? Karena konsolidasi sumber-sumber kekuatan untuk melakukan socio-unrest bukanlah hal yang mudah. Sebuah socio-unrest, apalagi yang mengarah pada makar, membutuhkan pengondisian-pengondisian yang mengarah ke sana.
Selain itu, perlu tokoh penggerak yang ditopang oleh kekuatan milisia/tentara, dukungan finansial ataupun jaringan yang memadai yang relatif kuat. Sejauh ini kekuatan seperti itu belum terlihat jelas. Dan bisa jadi kalau toh ada, bisa jadi tidak disiapkan terkait dengan pelaksanaan pilkada.
Di sisi lain, pemerintah dengan dukungan partai-partai mayoritas yang tecermin dengan kekuatan mayoritas di DPR, ditambah solidnya dukungan tentara, polisi maupun birokrasi tentu menjadi elemen tunggal yang sulit ditandingi dan tentu dapat mengatasi dengan mudah potensi socio-unrest itu.
Alasan keempat, adalah pelaksanaan pilkada adalah hak konstitusional rakyat. Pertanyaannya, apakah penundaan (bukan pembatalan) pelaksanaan pilkada atas dasar kesiapan masyarakat dan demi alasan keselamatan jiwa manusia itu melanggar konstitusi? Bahkan secara normatif, dalam aturan penyelenggaraan pilkada itu sendiri dimungkinkan. Secara histori, penundaan terkait pemilihan pun pernah dilakukan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respons rakyat itu sendiri terkait dengan hak konstitusionalnya. Hingga kini beberapa hasil survei termasuk yang dilakukan oleh beberapa lembaga, termasuk Puslit Politik LIPI yang melakukan jajak pendapat pascapenyelenggaraan seminar nasional, mengindikasikan mayoritas masyarakat tidak menganggap pilkada sebagai hal yang urgen.
Bukti empiris lainnya adalah sikap para tokoh maupun ormas-ormas baik besar, menengah ataupun kecil yang dalam kesehariannya berkecimpung dengan rakyat banyak, juga mengharapkan adanya penundaan jalannya pilkada.
Alasan kelima adalah alasan ekonomi. Pelaksanaan pilkada akan berkorelasi dengan geliat ekonomi bangsa. Kegiatan ekonomi saat ini pada kenyataannya sudah demikian lemah akibat tidak ada kepercayaan terhadap pasar. Inti persoalan itu terungkap dari hasil penelitian terbaru Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, yang mengatakan bahwa pada level kalangan masyarakat atas sekalipun saat ini cenderung menahan diri tidak melakukan pembelian atau sebuah kegiatan ekonomi yang masif. Mereka menunggu kepastian apa yang akan terjadi. Perilaku ini jelas tidak terkait dengan ditunda atau tidak ditundanya pilkada.
Jika dikaitkan dengan pendanaan pilkada yang pada dasarnya demikian minim hanya sekitar belasan juta triliun, dibanding dengan pendanaan terkait dengan pandemi Covid-19 yang jumlahnya hingga ratusan triliun. Dengan kata lain, dengan modal sekian belas triliun, tentu saja pendapatan yang diharapkan sebagai timbal balik ekonomi pun juga tidak akan memancing pergerakan yang signifikan. Stimulus kehidupan ekonomi kita tidak terletak pada pilkada. Bahkan, pilkada berpotensi menghasilkan expenditure akibat jatuhnya korban yang lebih banyak.
Alasan keenam, pilkada tidak akan menghasilkan klaster baru karena diprediksi akan berjalan dengan tertib dan diharapkan pada Desember 2020 akan mulai melandai. Dalam praktiknya, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan pilkada itu akan benar-benar tertib. Sejauh kebanyakan peserta maupun rakyat pada umumnya masih memahami kampanye adalah sebuah kegiatan mengumpulkan massa yang luar biasa potensi berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar itu tetap ada. Terbukti konsentrasi kerumunan massa masih terlihat di sana-sini.
Secara rasional sulit dipahami bahwa situasinya telah benar-benar berubah dan kondusif untuk sebuah pilkada dengan fase kampanye yang melibatkan 734 kontestan, selama 71 hari di berbagai titik plus pada hari H pilkada. Prediksi beberapa pihak termasuk LP3ES bahwa pada masa-masa ini justru akan terjadi klaster pilkada yang melibatkan hingga jutaan orang.
Selain itu, saat ini kecenderungan OTG menjadi masif. Kecerdasan virus yang semakin tinggi membuat kita tidak pernah tahu pasti siapa yang terjangkit atau tidak. Sementara tidak ada fakta yang meyakinkan bahwa kondisi semakin membaik. Kenyataannya beberapa wilayah justru menunjukkan tren positif Covid-19 meningkat. Dan kalau toh benar di Desember melandai, apakah ini merupakan momen yang tepat bagi pelaksanaan pilkada yang masih berpotensi besar menghasilkan klaster baru?
Dengan berbagai argumen di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pilkada Desember 2020 adalah sesuatu yang terburu-buru, bersifat elitis dan berpotensi berujung pada sebuah pagelaran yang berbahaya karena dapat menimbulkan lebih banyak korban kemanusiaan bagi bangsa kita.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
PELAKSANAAN Pilkada 2020 menimbulkan silang pendapat dan perdebatan. Sebagian kalangan yang menginginkan tetap dilakukannya pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 didasarkan oleh beberapa alasan. Tulisan ini akan mencoba untuk menunjukkan bahwa alasan-alasan tersebut pada dasarnya tidak memiliki panduan argumen yang memadai.
Alasan pertama adalah apakah penundaan itu wajar dan sampai kapan bisa dilakukan. Apakah ada jaminan pada tahun depan situasinya akan membaik. Kalau penundaan berkepanjangan tentu akan menimbulkan situasi serba ketidakpastian. Secara historis dalam soal penundaan pemilu, negara kita pernah menunda pelaksanaan beberapa kali. Pemilu pertama, misalnya, baru dilakukan pada 1955 atau sepuluh tahun setelah kita merdeka.
Pada masa Orde Baru, pemilu pertama baru dilakukan pada 1971. Pemilu kedua di era ini ditunda setahun menjadi baru terselenggara pada 1977. Pada masa Reformasi juga terjadi penundaan, di mana baru pada 1999 pemilu dilangsungkan meski Presiden Habibie telah naik kekuasaan pada 1998 yang menandai kelahiran era Reformasi.
Berbagai penundaan itu disebabkan terutama karena masyarakat pada umumnya belum siap dalam melaksanakan pemilu, sehingga jika dipaksakan akan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Adalah ironis manakala pemerintah masa lalu itu dapat memahami hakikat pemilu sesungguhnya adalah sebagai bagian penting dari hakikat kedaulatan rakyat, pemerintahan saat ini justru seolah abai atas hakikat sebuah pemilu itu sendiri.
Sementara itu, puluhan negara, baik pada level pemilihan pusat maupun daerah, juga memutuskan dilakukannya penundaan, baik karena alasan kemanusiaan maupun esensi dari penyelenggaraan pemilu.
Alasan kedua adalah manakala ditunda akan sulit mencari pelaksana tugas (plt) kepala daerah. Ini tentu juga bukan sesuatu yang dapat diterima. Mengingat bahwa pejabat-pejabat daerah potensial dapat diminta untuk melaksanakan tugas plt. Ditambah dengan beberapa pejabat di level nasional. Selain itu, plt juga bukan barang baru. Di beberapa daerah-daerah pemekaran, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, juga kerap harus menunggu kepala daerah definitif hasil pemilu yang akhirnya untuk sementara dipimpin oleh seorang plt.
Soal seputar pengganti kepala daerah sementara juga sudah diatur dalam Permendagri 74/2016 jo Permendagri 1/2018. Kekhawatiran bahwa seorang plt akan menyimpang tidak perlu dikhawatirkan mengingat diawasi oleh DPRD maupun masyarakat sipil. Terbukti kemudian pemerintahan dapat berjalan dengan baik-baik saja, tidak saja dapat memenuhi fungsi-fungsi administratif dan tata kelola pemerintahan, tetapi juga kondusif bagi stabilitas politik di wilayahnya.
Alasan ketiga, penundaan akan berpotensi menghasilkan instabilitas atau socio-political unrest. Pandangan seperti ini tampak berlebihan atau bersifat paranoid. Mirip dengan adanya kekhawatiran akan adanya makar beberapa waktu lalu. Mengapa? Karena konsolidasi sumber-sumber kekuatan untuk melakukan socio-unrest bukanlah hal yang mudah. Sebuah socio-unrest, apalagi yang mengarah pada makar, membutuhkan pengondisian-pengondisian yang mengarah ke sana.
Selain itu, perlu tokoh penggerak yang ditopang oleh kekuatan milisia/tentara, dukungan finansial ataupun jaringan yang memadai yang relatif kuat. Sejauh ini kekuatan seperti itu belum terlihat jelas. Dan bisa jadi kalau toh ada, bisa jadi tidak disiapkan terkait dengan pelaksanaan pilkada.
Di sisi lain, pemerintah dengan dukungan partai-partai mayoritas yang tecermin dengan kekuatan mayoritas di DPR, ditambah solidnya dukungan tentara, polisi maupun birokrasi tentu menjadi elemen tunggal yang sulit ditandingi dan tentu dapat mengatasi dengan mudah potensi socio-unrest itu.
Alasan keempat, adalah pelaksanaan pilkada adalah hak konstitusional rakyat. Pertanyaannya, apakah penundaan (bukan pembatalan) pelaksanaan pilkada atas dasar kesiapan masyarakat dan demi alasan keselamatan jiwa manusia itu melanggar konstitusi? Bahkan secara normatif, dalam aturan penyelenggaraan pilkada itu sendiri dimungkinkan. Secara histori, penundaan terkait pemilihan pun pernah dilakukan.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respons rakyat itu sendiri terkait dengan hak konstitusionalnya. Hingga kini beberapa hasil survei termasuk yang dilakukan oleh beberapa lembaga, termasuk Puslit Politik LIPI yang melakukan jajak pendapat pascapenyelenggaraan seminar nasional, mengindikasikan mayoritas masyarakat tidak menganggap pilkada sebagai hal yang urgen.
Bukti empiris lainnya adalah sikap para tokoh maupun ormas-ormas baik besar, menengah ataupun kecil yang dalam kesehariannya berkecimpung dengan rakyat banyak, juga mengharapkan adanya penundaan jalannya pilkada.
Alasan kelima adalah alasan ekonomi. Pelaksanaan pilkada akan berkorelasi dengan geliat ekonomi bangsa. Kegiatan ekonomi saat ini pada kenyataannya sudah demikian lemah akibat tidak ada kepercayaan terhadap pasar. Inti persoalan itu terungkap dari hasil penelitian terbaru Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, yang mengatakan bahwa pada level kalangan masyarakat atas sekalipun saat ini cenderung menahan diri tidak melakukan pembelian atau sebuah kegiatan ekonomi yang masif. Mereka menunggu kepastian apa yang akan terjadi. Perilaku ini jelas tidak terkait dengan ditunda atau tidak ditundanya pilkada.
Jika dikaitkan dengan pendanaan pilkada yang pada dasarnya demikian minim hanya sekitar belasan juta triliun, dibanding dengan pendanaan terkait dengan pandemi Covid-19 yang jumlahnya hingga ratusan triliun. Dengan kata lain, dengan modal sekian belas triliun, tentu saja pendapatan yang diharapkan sebagai timbal balik ekonomi pun juga tidak akan memancing pergerakan yang signifikan. Stimulus kehidupan ekonomi kita tidak terletak pada pilkada. Bahkan, pilkada berpotensi menghasilkan expenditure akibat jatuhnya korban yang lebih banyak.
Alasan keenam, pilkada tidak akan menghasilkan klaster baru karena diprediksi akan berjalan dengan tertib dan diharapkan pada Desember 2020 akan mulai melandai. Dalam praktiknya, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan pilkada itu akan benar-benar tertib. Sejauh kebanyakan peserta maupun rakyat pada umumnya masih memahami kampanye adalah sebuah kegiatan mengumpulkan massa yang luar biasa potensi berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar itu tetap ada. Terbukti konsentrasi kerumunan massa masih terlihat di sana-sini.
Secara rasional sulit dipahami bahwa situasinya telah benar-benar berubah dan kondusif untuk sebuah pilkada dengan fase kampanye yang melibatkan 734 kontestan, selama 71 hari di berbagai titik plus pada hari H pilkada. Prediksi beberapa pihak termasuk LP3ES bahwa pada masa-masa ini justru akan terjadi klaster pilkada yang melibatkan hingga jutaan orang.
Selain itu, saat ini kecenderungan OTG menjadi masif. Kecerdasan virus yang semakin tinggi membuat kita tidak pernah tahu pasti siapa yang terjangkit atau tidak. Sementara tidak ada fakta yang meyakinkan bahwa kondisi semakin membaik. Kenyataannya beberapa wilayah justru menunjukkan tren positif Covid-19 meningkat. Dan kalau toh benar di Desember melandai, apakah ini merupakan momen yang tepat bagi pelaksanaan pilkada yang masih berpotensi besar menghasilkan klaster baru?
Dengan berbagai argumen di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pilkada Desember 2020 adalah sesuatu yang terburu-buru, bersifat elitis dan berpotensi berujung pada sebuah pagelaran yang berbahaya karena dapat menimbulkan lebih banyak korban kemanusiaan bagi bangsa kita.
(ras)