Keluar dari Situasi Konflik di Papua
Rabu, 23 September 2020 - 07:02 WIB
Choirul mengingatkan pendekatan kekerasan, apa pun alasan dan latar belakangnya, akan melahirkan pelanggaran HAM. Itu juga berpotensi memunculkan kekerasan lanjutan. “Oleh karenanya, Komnas HAM menyerukan penghentian kekerasan, khususnya kekerasan bersenjata agar perdamaian terwujud di Papua,” pungkasnya.
Panasnya situasi di Papua yang dipicu aksi KKB dinilai sudah sangat mendesak untuk diatasi secara militer. KKB diduga melakukan serangkaian pembunuhan warga sipil, termasuk seorang pendeta bernama Yeremia Zanambani. Dua prajurit TNI juga gugur akibat kebrutalan kelompok ini. (Baca juga: Duh! Pemerintah Tambah Sempoyongan Tanggung Beban Utang)
Menghadapi kelompok OPM yang kembali berulah, pengamat militer dan intelijen Connie Rahakundini menilai sudah waktunya TNI diberikan peran operasi dalam undang-undang (UU). “Segera masukan separatis, teroris radikalis dalam operasi militer perang TNI dalam UU,” ujar Connie.
Dia menilai, tindakan kelompok OPM ini sudah melewati batas sehingga pemerintah melalui aparat keamanan TNI/Polri harus mengambil langkah tegas terhadap mereka. Dia melihat, jika UU operasi militer untuk menumpas separatis diperkuat, maka sebenarnya kapasitas dan kapabilitas latih tempur TNI yang sudah terbukti terukur dan teruji di tiga medan tersebut akan dengan mudah menumpas kelompok ini.
“Pasukan utama adalah social dan elite forces kita sesuai eskalasi yang ditimbulkan baik dalam konteks militer dan dampaknya pada pandangan dunia internasional alias foreign policy Indonesia,” pungkasnya.
Ketua Tim Kajian Papua LIPI sekaligus penulis buku Papua Road Map Adriana Elisabeth menilai, masyarakat Papua tampaknya masih dalam proses panjang untuk keluar dari situasi konflik, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal yang mulai tampak pascakerusuhan di Wamena dan Jayapura 2019. “Apa yang bisa dilakukan? Upaya membangun perdamaian harus terus dilakukan, bahkan harus dalam bentuk yang lebih masif,” ucapnya. (Baca juga: Arab saudi Siap-siap Cabut Larangan Umrah)
Jika selama ini Indonesia telah berkontribusi secara signifikan dalam program perdamaian dunia, baik sebagai fasilitator, mediator, dan juga pasukan perdamaian (peace mission) di wilayah-wilayah konflik di dunia, maka pengalaman berharga ini perlu diadopsi dalam konteks resolusi damai Papua. ”Kalau Menhan akan merekrut 1.000 Bintara Otsus, mengapa tidak merekrut 1.000 pasukan perdamaian tanpa senjata untuk Papua dan Papua Barat,” katanya.
Misi perdamaian Papua bukan sekadar kegiatan sosial kemanusiaan atau bagi-bagi sembako, namun merupakan langkah strategis yang komprehensif. Di mana landasan transformasi konflik dan membangun perdamaian diletakkan, baik melalui pembangunan kapasitas, pelatihan, proses pendidikan berbasis kearifan lokal, maupun konsultasi publik dan pembicaraan-pembicaraan damai (peace talks).
“Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk merancang masa depan Papua yang aman dan damai. New normal bagi Papua bukan hanya mengenai penanggulangan penyebaran dan penularan virus korona, namun juga bagaimana merajut kembali relasi sosial untuk perdamaian Papua dalam jangka panjang,” tuturnya. (Lihat videonya: Merasa Jenuh, Pasien Covid-19 di Kalteng Jebol Ruang Isolasi)
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD sebelumnya mengatakan pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan dalam menyelesaikan konflik Papua. Pemerintah akan menggunakan pendekatan kesejahteraan, tetapi memperkuat koordinasi. “Secara umum tidak ada kebijakan baru di dalam penanganan Papua karena memang itu masalah rutin saja. Pendekatannya kesejahteraan. Cuma nanti koordinasinya akan lebih diperkuat,” kata Mahfud.
Panasnya situasi di Papua yang dipicu aksi KKB dinilai sudah sangat mendesak untuk diatasi secara militer. KKB diduga melakukan serangkaian pembunuhan warga sipil, termasuk seorang pendeta bernama Yeremia Zanambani. Dua prajurit TNI juga gugur akibat kebrutalan kelompok ini. (Baca juga: Duh! Pemerintah Tambah Sempoyongan Tanggung Beban Utang)
Menghadapi kelompok OPM yang kembali berulah, pengamat militer dan intelijen Connie Rahakundini menilai sudah waktunya TNI diberikan peran operasi dalam undang-undang (UU). “Segera masukan separatis, teroris radikalis dalam operasi militer perang TNI dalam UU,” ujar Connie.
Dia menilai, tindakan kelompok OPM ini sudah melewati batas sehingga pemerintah melalui aparat keamanan TNI/Polri harus mengambil langkah tegas terhadap mereka. Dia melihat, jika UU operasi militer untuk menumpas separatis diperkuat, maka sebenarnya kapasitas dan kapabilitas latih tempur TNI yang sudah terbukti terukur dan teruji di tiga medan tersebut akan dengan mudah menumpas kelompok ini.
“Pasukan utama adalah social dan elite forces kita sesuai eskalasi yang ditimbulkan baik dalam konteks militer dan dampaknya pada pandangan dunia internasional alias foreign policy Indonesia,” pungkasnya.
Ketua Tim Kajian Papua LIPI sekaligus penulis buku Papua Road Map Adriana Elisabeth menilai, masyarakat Papua tampaknya masih dalam proses panjang untuk keluar dari situasi konflik, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal yang mulai tampak pascakerusuhan di Wamena dan Jayapura 2019. “Apa yang bisa dilakukan? Upaya membangun perdamaian harus terus dilakukan, bahkan harus dalam bentuk yang lebih masif,” ucapnya. (Baca juga: Arab saudi Siap-siap Cabut Larangan Umrah)
Jika selama ini Indonesia telah berkontribusi secara signifikan dalam program perdamaian dunia, baik sebagai fasilitator, mediator, dan juga pasukan perdamaian (peace mission) di wilayah-wilayah konflik di dunia, maka pengalaman berharga ini perlu diadopsi dalam konteks resolusi damai Papua. ”Kalau Menhan akan merekrut 1.000 Bintara Otsus, mengapa tidak merekrut 1.000 pasukan perdamaian tanpa senjata untuk Papua dan Papua Barat,” katanya.
Misi perdamaian Papua bukan sekadar kegiatan sosial kemanusiaan atau bagi-bagi sembako, namun merupakan langkah strategis yang komprehensif. Di mana landasan transformasi konflik dan membangun perdamaian diletakkan, baik melalui pembangunan kapasitas, pelatihan, proses pendidikan berbasis kearifan lokal, maupun konsultasi publik dan pembicaraan-pembicaraan damai (peace talks).
“Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk merancang masa depan Papua yang aman dan damai. New normal bagi Papua bukan hanya mengenai penanggulangan penyebaran dan penularan virus korona, namun juga bagaimana merajut kembali relasi sosial untuk perdamaian Papua dalam jangka panjang,” tuturnya. (Lihat videonya: Merasa Jenuh, Pasien Covid-19 di Kalteng Jebol Ruang Isolasi)
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD sebelumnya mengatakan pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan dalam menyelesaikan konflik Papua. Pemerintah akan menggunakan pendekatan kesejahteraan, tetapi memperkuat koordinasi. “Secara umum tidak ada kebijakan baru di dalam penanganan Papua karena memang itu masalah rutin saja. Pendekatannya kesejahteraan. Cuma nanti koordinasinya akan lebih diperkuat,” kata Mahfud.
tulis komentar anda