Penerapan Pasal Tipibank dalam Kasus Bank Swadesi Dinilai Prematur
Senin, 21 September 2020 - 22:20 WIB
Hal ini, kata Yunus, sejalan dengan pendapat Prof Dr Wirjono Prodjodikoro SH dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia(halaman 17) bahwa norma-norma dalam hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata.
“Hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau Ultimum Remedium,” tutur Yunus.
Dalam kasus Bank Swadesi, lanjut Yunus, tidak ditemukan bukti adanya laporan pelanggaran atau penyimpangan yang diketahui oleh pengawas bank (Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan) berdasarkan pemeriksaan atau laporan yang disampaikan bank.
Kalaupun ada laporan dari luar bank tentang penyimpangan yang dilakukan, pengawas bank akan melakukan pemeriksaan untuk memverifikasi atau memvalidasi kebenaran laporan tersebut.
“Bentuk perintah pengawas bank kepada bank itu bisa berupa surat pembinaan (supervisory action), action plan atau yang populer dikenal dengan cease and desist order," ujar Yunus
.
“Kalau Langkah-langkah yang diperintahkan oleh pengawas bank tidak ada, maka berarti tidak ada pelanggaran yang dilakukan bank,” lanjutnya.
Dia memberi gambaran jika bank melanggar ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), oleh pengawas bank kemudian diminta memperbaiki pelanggarannya dengan menambah setoran modal atau menurunkan fasilitas pinjaman nasabah dalam waktu enam bulan. Apabila telah berlalu waktu enam bulan bank tidak melaksanakan perintas pengawas bank yang tercantum dalam, maka setelah dua kali peringatan dengan tenggang waktu seminggu bank dapat diadukan melanggar Pasal 49 Ayat 2 huruf b. Pasal 44 (Peraturan Bank Indonesia No.7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit).
Dalam konteks kasus ini maka perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam pemrosesan kredit, penilaian agunan, pelelangan agunan dan lain-lain, walaupun bertentangan dengan SOP dan PODP bukanlah perbuatan pidana, tetapi pelanggaran administratif semata.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum, Olla menilai terdakwa telah melakukan pelanggaran yang terdapat unsur tindak pidana.
“Hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau Ultimum Remedium,” tutur Yunus.
Dalam kasus Bank Swadesi, lanjut Yunus, tidak ditemukan bukti adanya laporan pelanggaran atau penyimpangan yang diketahui oleh pengawas bank (Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan) berdasarkan pemeriksaan atau laporan yang disampaikan bank.
Kalaupun ada laporan dari luar bank tentang penyimpangan yang dilakukan, pengawas bank akan melakukan pemeriksaan untuk memverifikasi atau memvalidasi kebenaran laporan tersebut.
“Bentuk perintah pengawas bank kepada bank itu bisa berupa surat pembinaan (supervisory action), action plan atau yang populer dikenal dengan cease and desist order," ujar Yunus
.
“Kalau Langkah-langkah yang diperintahkan oleh pengawas bank tidak ada, maka berarti tidak ada pelanggaran yang dilakukan bank,” lanjutnya.
Dia memberi gambaran jika bank melanggar ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), oleh pengawas bank kemudian diminta memperbaiki pelanggarannya dengan menambah setoran modal atau menurunkan fasilitas pinjaman nasabah dalam waktu enam bulan. Apabila telah berlalu waktu enam bulan bank tidak melaksanakan perintas pengawas bank yang tercantum dalam, maka setelah dua kali peringatan dengan tenggang waktu seminggu bank dapat diadukan melanggar Pasal 49 Ayat 2 huruf b. Pasal 44 (Peraturan Bank Indonesia No.7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit).
Dalam konteks kasus ini maka perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam pemrosesan kredit, penilaian agunan, pelelangan agunan dan lain-lain, walaupun bertentangan dengan SOP dan PODP bukanlah perbuatan pidana, tetapi pelanggaran administratif semata.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum, Olla menilai terdakwa telah melakukan pelanggaran yang terdapat unsur tindak pidana.
tulis komentar anda