Penerapan Pasal Tipibank dalam Kasus Bank Swadesi Dinilai Prematur
Senin, 21 September 2020 - 22:20 WIB
JAKARTA - Penerapan Pasal 49 Ayat 2 huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dalam kasus dugaan tindak pidana perbankan (tipibank) Bank Swadesi dalam proses pemberian fasilitas kredit kepada Rita Kishore Kumar Pridani dan Kishore Kumar Tahilram Pridani selaku direksi PT Ratu Kharisma dinilai prematur.
Dengan demikian pasal tersebit dinilai tidak dapat diterapkan. Hal tersebut didasari oleh belum ada temuan dari pengawas dan regulator bank bahwa Bank Swadesi melanggar Undang-undang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya surat pembinaan (supervisory action) atau sanksi administratif yang dikenakan pengawas kepada Bank.
Penilaian itu disampaikan pakar hukum perbankan Yunus Husen saat menjadi saksi ahli dipimpin Ketua Majelis Hakim Sainal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (21/9/2020) dengan terdakwa mantan Direksi Bank Swadeshi Ningsih Suciati.
“Dengan demikian, langah-langkah yang wajib dilakukan bank berdasarkan perintah pengawas bank belum ada, sehingga unsur 'langkah-langkah' dalam Pasal 49 Ayat 2 b ini belum terpenuhi,” kata Yunus.( )
Adapun yang dimaksud dengan "langkah-langkah”, kata Yunus, bukan yang tercantum dalam standard operating prosedure (SOP) yang dimiliki bank melainkan perintah kepada bank untuk memperbaiki penyimpangan atau pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan bank.
“Penyimpangan dan pelanggaran ini adalah pelanggaran administratif dan bukan pelanggaran pidana,” ujarnya.
Dia mengatakan, Pasal 49 Ayat 2 huruf b yang didakwakan merupakan ketentuan pidana yang merupakan “administrative penal law” ketentuan pidana yang mendukung ketentuan administratif yang ada dalam UU Perbankan. ( ).
Maksudnya, kata dia, harus ada dulu pelanggaran yang bersifat administratif yang harus ditegakkan dengan hukum administratif terlebih dahulu. Apabila penegakan hukum dengan hukum administratif tidak berjalan, barulah dipakai penyelesaian secara pidana dengan menerapkan sanksi pidana.
Dengan demikian pasal tersebit dinilai tidak dapat diterapkan. Hal tersebut didasari oleh belum ada temuan dari pengawas dan regulator bank bahwa Bank Swadesi melanggar Undang-undang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya surat pembinaan (supervisory action) atau sanksi administratif yang dikenakan pengawas kepada Bank.
Penilaian itu disampaikan pakar hukum perbankan Yunus Husen saat menjadi saksi ahli dipimpin Ketua Majelis Hakim Sainal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (21/9/2020) dengan terdakwa mantan Direksi Bank Swadeshi Ningsih Suciati.
“Dengan demikian, langah-langkah yang wajib dilakukan bank berdasarkan perintah pengawas bank belum ada, sehingga unsur 'langkah-langkah' dalam Pasal 49 Ayat 2 b ini belum terpenuhi,” kata Yunus.( )
Adapun yang dimaksud dengan "langkah-langkah”, kata Yunus, bukan yang tercantum dalam standard operating prosedure (SOP) yang dimiliki bank melainkan perintah kepada bank untuk memperbaiki penyimpangan atau pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan bank.
“Penyimpangan dan pelanggaran ini adalah pelanggaran administratif dan bukan pelanggaran pidana,” ujarnya.
Dia mengatakan, Pasal 49 Ayat 2 huruf b yang didakwakan merupakan ketentuan pidana yang merupakan “administrative penal law” ketentuan pidana yang mendukung ketentuan administratif yang ada dalam UU Perbankan. ( ).
Maksudnya, kata dia, harus ada dulu pelanggaran yang bersifat administratif yang harus ditegakkan dengan hukum administratif terlebih dahulu. Apabila penegakan hukum dengan hukum administratif tidak berjalan, barulah dipakai penyelesaian secara pidana dengan menerapkan sanksi pidana.
tulis komentar anda