Jangan Hapus Pelajaran Sejarah
Senin, 21 September 2020 - 12:19 WIB
Komisi itu bertugas, pertama, untuk menyerap semua gagasan dan bahan mengenai pendidikan nasional dari berbagai pihak di tanah air, mulai dari masyarakat, penyelenggara pendidikan, birokrat pendidikan, para intelektual, hingga para profesional. Kedua, sesudah menyerap semua itu, komisi ditugaskan untuk merumuskan apa yang seharusnya dirancang dan dilakukan oleh kementerian pendidikan terkait dengan pendidikan nasional. Dan ketiga, rumusan itu harus diuji-publikan oleh komisi dimana komisi sesudahnya harus memperbaiki rumusannya sesuai tanggapan, kritik, dan masukan yang mereka peroleh dalam berbagai uji publik tadi.
Jadi, pekerjaan-pekerjaan penting semacam itu sejak awal memang harus dilakukan secara terbuka agar perkembangannya bisa diikuti masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak tiba-tiba disodori perubahan-perubahan drastis yang proses perumusan serta perdebatannya tak pernah mereka ikuti.
Dulu, Komisi Pembaruan Pendidikan diisi tokoh-tokoh terkemuka lintas bidang, seperti Sumitro Djojohadikusumo, Koentjaraningrat, Andi Hakim Nasution, T.O. Ihromi, Slamet Iman Santoso, dan Ki Suratman. Rekomendasi-rekomendasi mereka tak disikapi secara apriori oleh publik.
Dalam berinovasi, Menteri Pendidikan perlu mengingat satu hal, bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh kementeriannya adalah sebuah “Pendidikan Nasional”. Pengajaran sejarah menjadi bagian dari “kenasionalan” itu. Jika pengajaran sejarah dihapus, atau dipinggirkan, bagaimana kenasionalan Indonesia para peserta didik akan dibentuk?
Memang, setidaknya ada dua peran strategis pendidikan sejarah. Pertama, sebagai instrumen “transmission of culture”. Pendidikan sejarah membentuk siswa untuk memiliki penghargaan yang tinggi terhadap ‘the glorious past’ bangsa kita. Membawa siswa untuk mampu menghargai karya bangsa di masa lampau, sekaligus memupuk rasa bangga sebagai bangsa.
Kedua, pendidikan sejarah mengajarkan esensialisme. Sebagai sebuah disipilin ilmu, sejarah tak hanya sebatas pendidikan pengetahuan sejarah, namun juga sebagai instrumen pengembangan kemampuan berpikir kronologis, analitis, dan kritis. Dengan kata lain, pengetahuan sejarah akan membantu siswa memecahkan permasalahan kekinian.
Selain itu, saya mau mengingatkan Mendikbud, sejarah bukan sekedar nama, tahun dan peristiwa masa lalu. Tapi sebuah “journey” atau perjalanan sebuah bangsa. Mereka yang tak memahami masa lalu, tak kan pernah mengerti masa kini. Mereka yang tak paham masa kini, tak kan bisa merancang masa depan.
Jadi, saya berharap Kemendikbud tak gegabah dalam merancang penyederhanaan kurikulum.
Jadi, pekerjaan-pekerjaan penting semacam itu sejak awal memang harus dilakukan secara terbuka agar perkembangannya bisa diikuti masyarakat. Sehingga, masyarakat tidak tiba-tiba disodori perubahan-perubahan drastis yang proses perumusan serta perdebatannya tak pernah mereka ikuti.
Dulu, Komisi Pembaruan Pendidikan diisi tokoh-tokoh terkemuka lintas bidang, seperti Sumitro Djojohadikusumo, Koentjaraningrat, Andi Hakim Nasution, T.O. Ihromi, Slamet Iman Santoso, dan Ki Suratman. Rekomendasi-rekomendasi mereka tak disikapi secara apriori oleh publik.
Dalam berinovasi, Menteri Pendidikan perlu mengingat satu hal, bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh kementeriannya adalah sebuah “Pendidikan Nasional”. Pengajaran sejarah menjadi bagian dari “kenasionalan” itu. Jika pengajaran sejarah dihapus, atau dipinggirkan, bagaimana kenasionalan Indonesia para peserta didik akan dibentuk?
Memang, setidaknya ada dua peran strategis pendidikan sejarah. Pertama, sebagai instrumen “transmission of culture”. Pendidikan sejarah membentuk siswa untuk memiliki penghargaan yang tinggi terhadap ‘the glorious past’ bangsa kita. Membawa siswa untuk mampu menghargai karya bangsa di masa lampau, sekaligus memupuk rasa bangga sebagai bangsa.
Kedua, pendidikan sejarah mengajarkan esensialisme. Sebagai sebuah disipilin ilmu, sejarah tak hanya sebatas pendidikan pengetahuan sejarah, namun juga sebagai instrumen pengembangan kemampuan berpikir kronologis, analitis, dan kritis. Dengan kata lain, pengetahuan sejarah akan membantu siswa memecahkan permasalahan kekinian.
Selain itu, saya mau mengingatkan Mendikbud, sejarah bukan sekedar nama, tahun dan peristiwa masa lalu. Tapi sebuah “journey” atau perjalanan sebuah bangsa. Mereka yang tak memahami masa lalu, tak kan pernah mengerti masa kini. Mereka yang tak paham masa kini, tak kan bisa merancang masa depan.
Jadi, saya berharap Kemendikbud tak gegabah dalam merancang penyederhanaan kurikulum.
(ras)
tulis komentar anda