Kontroversi Puan Maharani

Senin, 21 September 2020 - 06:53 WIB
Adi Prayitno
Adi Prayitno

Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik

PERNYATAAN Puan Maharani terus menuai kontroversi. Nyaris tanpa henti dibicarakan melampaui diskursus politik lainnya seperti pilkada, ekonomi, dan pertikaian elit. Isunya cukup sensitif karena menyangkut rasa nasionalisme. Frasa “Semoga Sumatera Barat bisa menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila” menggelinding liar bak bola salju yang sukar dikendalikan. Amarah dan kecaman datang dari berbagai penjuru mata angin. Bukan hanya dari Kalbar namun juga dari kalangan yang selama ini vokal mengkritik pengusa. Alih-alih minta maaf, sejumlah elit PDIP justru membela dengan berbagai alibi.

Publik terlanjur menghakimi puteri Megawati Soekarnoputri itu bersalah. Dalih apapun sebagai bentuk pembelaan diri pastinya mentah. Puan dinilai tak faham sejarah. Bagaimana mungkin seorang ketua DPR yang terhormat menuding Sumbar tak Pancasilais. Jelas sangat melukai persaan masyarakat Sumatera Barat. Bahkan merendahkan nasionalisme mereka.

Jangan karena kalah pemilu dan pilkada menuding Sumatera Barat tak Pancasilais. Pola politik semacam ini mirip gaya Orde Baru. Siapapun yang tak mendukung Golkar pasti dinilai anti Pancasila dan nasionalismenya dinihilkan. Bahwa di Sumatera Barat pernah ada kebijakan melarang Natal jelas itu problem bagi toleransi beragama. Tapi bukan berarti menggenalisir masyarakat Minang tak Pancasilais.



Kenapa hanya Sumatera Barat yang dinilai tak Pancasilais? Bagaimana dengan daerah yang menerapkan perda Syariah yang dalam banyak hal bertabrakan dengan prinsip demokrasi. Atau kasus intoleransi seperti penyerangan Jamaah Ahmadiah di Cikeusik, Banten. Pengusiran paksa ribuan pengikut Syiah di Sampang Madura dari kampung halaman sendiri. Kenapa dua wilayah ini luput dari tudingan tak Pancasilais?

Pada level inilah wajar jika publik menilai ucapan Puan soal Sumatera Barat sebatas urusan dukungan politik. Bukan karena alasan lain seperti argumen para pembelanya. Kini, Puan tak lagi menyinggung pernyataan kontroversialnya itu. Hanya sejumlah pembelanya saja yang lalu lalang sibuk mengklarifikasi. Padahal subjek utama polemik adalah Puan. Bukan para ‘juru bicara’ itu.

Problem Kognitif

Mestinya kita belajar banyak dari sejumlah kasus yang mengoyak suasana kebangsaan. Yakni, soal problem kognitif yang belum sepenuhnya selesai. Masih saja ada orang di negara ini yang mengklaim paling benar (claim of truth). Baik klaim paling agamis maupun Pancasilais. Dalam pidato tahunan Agustus lalu Jokowi mengingatkan jangan pernah lagi ada rasa paling agamis dan Pancasilais. Satu narasi politik yang didaraskan pada realitas politik yang selama ini memecah belah.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More