Inggris: Covid-19, Resesi, dan Brexit
Kamis, 17 September 2020 - 07:11 WIB
Selain itu, pandemi Covid-19 ini menyisakan beban jangka panjang bagi perekonomian Inggris, tidak hanya pada proses pemulihan ekonomi dan pencipataan lapangan pekerjaan tapi juga beban utang yang jumlahnya sangat besar selama pandemi. Saat puncak pandemi terjadi di bulan April dan Mei pemerintah mengalami peningkatan pinjaman sebesar 103,7 miliar poundsterling dan berdampak pada peningkatan defisit sebesar 289.4 miliar poundsterling pada 2020, tercatat sebagai defisit terbesar setelah Perang Dunia Kedua. Secara akumulatif, total utang nasional Inggris per Agustus 2020 telah mencapai sekitar 2.004 miliar poundsterling, atau 100.5% lebih besar dari total ekonominya atau PDB. Indikator ini semakin memperkuat ungkapan “after the desease, the debt”.
Di tengah Covid-19 yang belum meredah dan hantaman resesi ekonomi, Inggris juga masih disibukkan dengan urusan Brexit yang belum menemukan titik temu dimana masa transisinya akan berakhir pada akhir tahun ini. Sebagaimana diketahui, Inggris resmi keluar dari blok Uni Eropa pada akhir Januari 2020 setelah mengalami dua kali penundaan semenjak dilakukan referendum pada tahun 2016. Saat ini Inggris dan Uni Eropa berada pada masa transisi untuk membicarakan sejumlah kesepakatan paska “bercerai” terutama terkait dengan perdagangan, imigrasi, penerbangan, keamanan dan kelautan.
Inggris memang sudah keluar dari Uni Eropa yang disebut dengan kesepakatan penarikan (withdrawal agreement) tetapi belum disepakati bagaimana hubungan kedua belah pihak dimasa yang akan datang. Namun yang pastinya, pemerintah Inggris melalui perdana mentrinya sekarang, Boris Johnson, tidak akan melakukan perpanjangan transisi meskipun belum ada kesepakatan antar kedua belah pihak. Dengan demikian yang akan terjadi adalah no-deal brexit, yaitu pola hubungan antara Inggris dan Uni Eropa tidak lagi berada dalam pasar tunggal, lalu lintas barang antar kedua negara akan mengalami tarif dan pengecekan di perbatasan. Hubungan perdagangan akan menggunakan aturan WTO.
Situasi no-deal brexit yang paling dihindari terutama oleh pemerintahan sebelumnya, Theresa May, karena dampak ekonominya yang lebih tinggi bagi kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya akan semakin sulit bagi Inggris di tengah Covid-19 yang belum terkontrol dan resesi ekonomi yang sudah terjadi.
Di tengah Covid-19 yang belum meredah dan hantaman resesi ekonomi, Inggris juga masih disibukkan dengan urusan Brexit yang belum menemukan titik temu dimana masa transisinya akan berakhir pada akhir tahun ini. Sebagaimana diketahui, Inggris resmi keluar dari blok Uni Eropa pada akhir Januari 2020 setelah mengalami dua kali penundaan semenjak dilakukan referendum pada tahun 2016. Saat ini Inggris dan Uni Eropa berada pada masa transisi untuk membicarakan sejumlah kesepakatan paska “bercerai” terutama terkait dengan perdagangan, imigrasi, penerbangan, keamanan dan kelautan.
Inggris memang sudah keluar dari Uni Eropa yang disebut dengan kesepakatan penarikan (withdrawal agreement) tetapi belum disepakati bagaimana hubungan kedua belah pihak dimasa yang akan datang. Namun yang pastinya, pemerintah Inggris melalui perdana mentrinya sekarang, Boris Johnson, tidak akan melakukan perpanjangan transisi meskipun belum ada kesepakatan antar kedua belah pihak. Dengan demikian yang akan terjadi adalah no-deal brexit, yaitu pola hubungan antara Inggris dan Uni Eropa tidak lagi berada dalam pasar tunggal, lalu lintas barang antar kedua negara akan mengalami tarif dan pengecekan di perbatasan. Hubungan perdagangan akan menggunakan aturan WTO.
Situasi no-deal brexit yang paling dihindari terutama oleh pemerintahan sebelumnya, Theresa May, karena dampak ekonominya yang lebih tinggi bagi kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya akan semakin sulit bagi Inggris di tengah Covid-19 yang belum terkontrol dan resesi ekonomi yang sudah terjadi.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda