Memaknai Produktivitas dengan Cara Baru

Aries Heru Prasetyo

Dosen Sekolah Tinggi Manajemen PPM

PIHAK pemerintah yang diwakili Ketua Gugus Tugas Penanggulangan Pandemi Covid-19 telah membuka kesempatan bagi warga produktif yang berusia di bawah 45 tahun untuk beraktivitas kembali. Dalam pernyataan persnya dijelaskan bahwa keputusan ini diambil untuk memutus rantai kemungkinan pemutusan hubungan kerja yang terjadi sejak awal April lalu.



Pihak Kementerian Tenaga Kerja sendiri memprediksi setidaknya terdapat 2,8 juta kenaikan angka pengangguran sejak pandemi Covid-19 resmi masuk ke Indonesia. Sebagian besar di antaranya mereka yang berasal dari sektor formal dan diduga sebagai pihak yang terpapar kebijakan pengurangan jumlah tenaga kerja akibat pandemi.

Kondisi ini memang tidak dapat dihindari karena sejak akhir Februari tahun ini, sejumlah sektor terkena imbas terputusnya rantai pasokan dunia akibat pemberlakuan kebijakan lockdown maupun pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Kebijakan PSBB yang menyasar penurunan angka persebaran pandemi ini menganjurkan masyarakat melakukan kegiatan rutin di rumah, mulai belajar, bekerja, hingga beribadah. Semua itu dilakukan demi meminimalkan interaksi fisik yang memungkinkan perpindahan virus dari satu orang ke orang lainnya.

Opsi bekerja dari rumah yang semula mendapat respons negatif pada penerapan PSBB dua minggu pertama kini berangsur pulih. Para profesional muda terlihat mulai menikmati rutinitas yang baru ini. Mereka yang tadinya selalu beranggapan bahwa bekerja harus dilakukan di kantor kini berangsur memandang work from home (WFH) sebagai sebuah keistimewaan.

Di satu sisi, mereka dapat memperoleh ketenangan, mengingat potensi terpapar virus dapat diminimalkan secara efektif. Di lain sisi, mereka memperoleh waktu yang cukup banyak untuk membangun keseimbangan antara bekerja dan beraktivitas dalam keluarga. Di tengah rutinitas yang baru tersebut, riset yang kami lakukan menunjukkan bahwa para profesional muda juga telah mampu membangun definisi produktivitas yang baru. Pada koridor tersebut, bekerja sudah tidak lagi dipandang pada mekanisme transaksional. Mereka tidak lagi menghitung lama kerja jam kantor dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Sebaliknya, mereka mulai memandang pekerjaan sebagai media dalam menunjukkan jati dirinya. Dengan kata lain, profesional muda kini melihat kompetensi yang dimiliki sebagai sumber daya terbesar baginya dalam membangun sebuah prestasi. Bekerja bukan lagi dipandang sebagai upaya memuaskan sistem dan prosedur yang ada, melainkan sebagai media untuk menghasilkan sebuah mahakarya.