Pungut Pajak Lewat Industri Digital Asing
Jum'at, 11 September 2020 - 07:22 WIB
PEMERINTAH memastikan sebanyak 28 perusahaan digital resmi menjadi perpanjangan tangan dalam memungut pajak pertambahan nilai (PPN). Kepastian tersebut menyusul setelah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menunjuk sebanyak 12 perusahaan baru sebagai pemungut PPN atas barang dan jasa digital yang dipasarkan kepada konsumen di Indonesia. Sebenarnya langkah yang ditempuh pemerintah tersebut bukan hal baru. Pasalnya, telah diatur dalam Undang Undang (UU) PPN namun tidak fektif karena hanya mengandalkan pemungutan dan penyetoran sendiri dari konsumen yang sifatnya retail dan masif pada ekonomi digital saat ini. Atas nama efektivitas dan penyederhanaan pemerintah lalu memutuskan mekanisme pemungutan PPN oleh penjual produk digital luar negeri. Dan, sejumlah negara sudah sukses melaksanakan aturan serupa, seperti Australia, Jepang dan India.
Para pelaku usaha yang kini bertugas memungut PPN efektif berlaku mulai awal Oktober mendatang. Adapun besaran PPN yang harus ditebus konsumen sebesar 10% dari harga sebelum pajak. Bukti pengenaan pajak tersebut dicantumkan pada kuitansi yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN. Terkait dengan marketplace yang sudah menjadi wajib pajak dalam negeri namun ditunjuk sebagai pemungut PPN, hanya ditugaskan menggarap penjualan barang dan jasa digital oleh penjual luar negeri yang beraktivitas atau berjualan pada marketplace tersebut. Saat ini, pihak Ditjen Pajak fokus mengidentifikasi dan menjalin komunikasi sejumlah perusahaan digital luar negeri yang berkiprah di pasar Indonesia. Ke depan, pemerintah berharap akan semakin banyak perusahaan digital terutama asing yang menjadi “petugas” pemungut pajak di tengah zaman yang serba susah ini.
Lalu bagaimana dengan perusahaan digital di bidang media sosial (medsos)? Pasalnya, dari sebanyak 28 perusahaan yang menjadi pemungut PPN terdapat perusahaan media sosial, yakni Facebook, Twitter dan Tiktok. Para pengguna jasa perusahaan digital global tersebut tak perlu khawatir dikenai pajak, sebagaimana ditegaskan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama bahwa pengenaan PPN hanya untuk pihak yang memasang iklan di platform tersebut. Untuk masyarakat yang sekadar memiliki akun dan tidak menggunakan media sosial sebagai kegiatan bisnis alias beriklan tidak akan terbebani PPN.
Menyiapkan payung hukum untuk memungut PPN setiap transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) memakan waktu panjang yang diwarnai berbagai negosiasi yang yang rumit dan melelahkan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor 1/2020 dan telah ditetapkan sebagai UU Nomor 2/2020. Hasilnya, kini terjaring sebanyak 28 perusahaan yang siap “bertugas” mengisi kocek negara melalui PPN. Sebenarnya, penerapan pemungutan PPN yang sukses dilakukan pemerintah sudah terlebih dahulu dilakukan pada sejumlah negara. Sejak 2017 lalu, pemerintah Australia sudah menarik PPN pada setiap transaksi jasa digital yang dilakukan perusahaan asing di pasar Negeri Kanguru itu. Begitupula Jepang, dan India, serta Korea Selatan sudah menikmati lebih duluan PPN dari kontribusi perusahaan digital asing yang beroperasi di negara mereka.
Seberapa besar sebenarnya potensi pajak dari produk digital itu? Untuk saat ini, mengutip publikasi dari perhitungan INDEF besarannya baru sekitar Rp7,2 triliun, sudah termasuk produk digital yang diperdagangkan dalam e-commerce yang berkontribusi sekitar Rp6 triliun. Sayangnya, potensi pajak yang besar dari transaksi e-commerce sudah tidak bisa dinikmati lagi. Pasalnya, pemerintah telah mencabut beleid yang menjadi payung hukum. Meski demikian, pihak INDEF bisa memaklumi langkah pemerintah yang senantiasa berhati-hati memungut PPN pada produk yang diperdagangkan di e-commerce. Karena besar kemungkinan konsumen dan pedagang bakal beralih ke media sosial yang lebih sulit untuk dikontrol alias pengenaan pajak.
Memang kalau melihat potensi pajak saat ini masih kecil namun ke depan menjadi harapan besar melihat pergeseran aktivitas masyarakat yang semuanya mengarah pada industri digitalisasi. Apalagi perusahaan digital asing menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk. Tengok saja, setelah Netflix sukses menjajal pasar Indonesia kini bercokol industri serupa, yakni Disney+ dengan produk yang sama, yakni streaming film. Walau kehadiran kebijakan tersebut sedikit terlambat dibanding sejumlah negara namun patut diapresiasi. Setidaknya, melalui aturan tersebut perusahaan digital global tidak sekadar melenggang di pasar negeri ini tetapi bisa berkontribusi dalam penerimaan negara.
Para pelaku usaha yang kini bertugas memungut PPN efektif berlaku mulai awal Oktober mendatang. Adapun besaran PPN yang harus ditebus konsumen sebesar 10% dari harga sebelum pajak. Bukti pengenaan pajak tersebut dicantumkan pada kuitansi yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN. Terkait dengan marketplace yang sudah menjadi wajib pajak dalam negeri namun ditunjuk sebagai pemungut PPN, hanya ditugaskan menggarap penjualan barang dan jasa digital oleh penjual luar negeri yang beraktivitas atau berjualan pada marketplace tersebut. Saat ini, pihak Ditjen Pajak fokus mengidentifikasi dan menjalin komunikasi sejumlah perusahaan digital luar negeri yang berkiprah di pasar Indonesia. Ke depan, pemerintah berharap akan semakin banyak perusahaan digital terutama asing yang menjadi “petugas” pemungut pajak di tengah zaman yang serba susah ini.
Lalu bagaimana dengan perusahaan digital di bidang media sosial (medsos)? Pasalnya, dari sebanyak 28 perusahaan yang menjadi pemungut PPN terdapat perusahaan media sosial, yakni Facebook, Twitter dan Tiktok. Para pengguna jasa perusahaan digital global tersebut tak perlu khawatir dikenai pajak, sebagaimana ditegaskan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama bahwa pengenaan PPN hanya untuk pihak yang memasang iklan di platform tersebut. Untuk masyarakat yang sekadar memiliki akun dan tidak menggunakan media sosial sebagai kegiatan bisnis alias beriklan tidak akan terbebani PPN.
Menyiapkan payung hukum untuk memungut PPN setiap transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) memakan waktu panjang yang diwarnai berbagai negosiasi yang yang rumit dan melelahkan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor 1/2020 dan telah ditetapkan sebagai UU Nomor 2/2020. Hasilnya, kini terjaring sebanyak 28 perusahaan yang siap “bertugas” mengisi kocek negara melalui PPN. Sebenarnya, penerapan pemungutan PPN yang sukses dilakukan pemerintah sudah terlebih dahulu dilakukan pada sejumlah negara. Sejak 2017 lalu, pemerintah Australia sudah menarik PPN pada setiap transaksi jasa digital yang dilakukan perusahaan asing di pasar Negeri Kanguru itu. Begitupula Jepang, dan India, serta Korea Selatan sudah menikmati lebih duluan PPN dari kontribusi perusahaan digital asing yang beroperasi di negara mereka.
Seberapa besar sebenarnya potensi pajak dari produk digital itu? Untuk saat ini, mengutip publikasi dari perhitungan INDEF besarannya baru sekitar Rp7,2 triliun, sudah termasuk produk digital yang diperdagangkan dalam e-commerce yang berkontribusi sekitar Rp6 triliun. Sayangnya, potensi pajak yang besar dari transaksi e-commerce sudah tidak bisa dinikmati lagi. Pasalnya, pemerintah telah mencabut beleid yang menjadi payung hukum. Meski demikian, pihak INDEF bisa memaklumi langkah pemerintah yang senantiasa berhati-hati memungut PPN pada produk yang diperdagangkan di e-commerce. Karena besar kemungkinan konsumen dan pedagang bakal beralih ke media sosial yang lebih sulit untuk dikontrol alias pengenaan pajak.
Memang kalau melihat potensi pajak saat ini masih kecil namun ke depan menjadi harapan besar melihat pergeseran aktivitas masyarakat yang semuanya mengarah pada industri digitalisasi. Apalagi perusahaan digital asing menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk. Tengok saja, setelah Netflix sukses menjajal pasar Indonesia kini bercokol industri serupa, yakni Disney+ dengan produk yang sama, yakni streaming film. Walau kehadiran kebijakan tersebut sedikit terlambat dibanding sejumlah negara namun patut diapresiasi. Setidaknya, melalui aturan tersebut perusahaan digital global tidak sekadar melenggang di pasar negeri ini tetapi bisa berkontribusi dalam penerimaan negara.
(ras)
tulis komentar anda