Hardiknas dan Kita
Senin, 04 Mei 2020 - 05:29 WIB
Kadang kita sering lupa bahwa tujuan pendidikan nasional telah dirumuskan begitu filosofis, apik, dan lengkap mencakup keseluruhan aspek kehiduan manusia Indonesia. UUD 1945 menyebutkan bahwa: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." (Pasal 31 ayat 3). "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia." (Pasal 31 ayat 5).
Bagi penulis, ini adalah mandat nasional pendidikan yang telah dirumuskan sejak Indonesia merdeka oleh the founding fathers dan disempurnakan terus menerus melalui produk undang-undang. Apalagi kalau kita baca Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor: 20/2003, begitu jelas amanat untuk menjadikan anak bangsa mencapai keseimbangan antara iman dan amal, ilmu dan akhlak, jasmani dan rohani, serta antara tugas-tugas individu, kemasyarakatan, dan kebangsaan.
"Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Dalam konteks global UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) PBB mencanangkan empat pilar pendidikan untuk bekal sekarang maupun masa depan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together .
Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menyebutkan, kecerdasan emosi jauh lebih berperan ketimbang IQ atau keahlian dalam menentukan keberhasilan seseorang. Jauh sebelumnya pakar pendidikan semacam John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam serta manusia.
Tampaknya mazhab kecerdasan intelektual masih mendominasi dalam praktik pendidikan di Indonesia. Pelaku utama pendidikan, yaitu guru, sering mengukur keberhasilan peserta didiknya dengan capaian-capaian kognitif. Hal yang disebut juara adalah jika ia menjuarai olimpiade matematika, sains, dan geografi, bahkan juga musabaqah tilawatil quran (MTQ).
Peserta didik yang mampu membangun kebersamaan, memupuk tanggung jawab, dan konsen pada tugas-tugas sosial serta nilai-nilai kebangsaan, bukan disebut sang juara. Karenanya, penghargaan kita kepada mereka kurang semestinya. Betapa banyak organisasi siswa dan kemahasiswaan menjadi mandul serta kurang mendapatkan apresiasi karena tidak menyumbangkan medali yang membanggakan.
Yang Terlupakan
Tanggal 2 Mei harus kita jadikan menebus kekeliruan bagi mereka yang terlupakan. Mereka para penggerak dan pejuang sosial, yang walau pada saat studi di bangku kuliah bukan penyumbang medali, tetap ketika di masyarakat menjadi pejuang terdepan bagi kemansiaan. Apalagi pada saat pandemi Covid-19 yang membutuhkan para relawan kemanusiaan.
Dunia pendidikan harus mampu memberikan ruang gerak bagi tumbuhnya kecerdasan emosional yang berbasis pada kecerdasan spiritual. Karena itu, guru mengajar dan murid pembelajar harus disediakan kurikulum yang mampu mengubah manusia-manusia yang peduli akan nasib kaumnya. Profil lulusan tidak saja diukur dari tingginya indeks prestasi, tetapi para mahasiswa aktivis yang tak kenal lelah belajar memperjuangkan nilai-nilai.
Bagi penulis, ini adalah mandat nasional pendidikan yang telah dirumuskan sejak Indonesia merdeka oleh the founding fathers dan disempurnakan terus menerus melalui produk undang-undang. Apalagi kalau kita baca Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor: 20/2003, begitu jelas amanat untuk menjadikan anak bangsa mencapai keseimbangan antara iman dan amal, ilmu dan akhlak, jasmani dan rohani, serta antara tugas-tugas individu, kemasyarakatan, dan kebangsaan.
"Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Dalam konteks global UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) PBB mencanangkan empat pilar pendidikan untuk bekal sekarang maupun masa depan, yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together .
Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence menyebutkan, kecerdasan emosi jauh lebih berperan ketimbang IQ atau keahlian dalam menentukan keberhasilan seseorang. Jauh sebelumnya pakar pendidikan semacam John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam serta manusia.
Tampaknya mazhab kecerdasan intelektual masih mendominasi dalam praktik pendidikan di Indonesia. Pelaku utama pendidikan, yaitu guru, sering mengukur keberhasilan peserta didiknya dengan capaian-capaian kognitif. Hal yang disebut juara adalah jika ia menjuarai olimpiade matematika, sains, dan geografi, bahkan juga musabaqah tilawatil quran (MTQ).
Peserta didik yang mampu membangun kebersamaan, memupuk tanggung jawab, dan konsen pada tugas-tugas sosial serta nilai-nilai kebangsaan, bukan disebut sang juara. Karenanya, penghargaan kita kepada mereka kurang semestinya. Betapa banyak organisasi siswa dan kemahasiswaan menjadi mandul serta kurang mendapatkan apresiasi karena tidak menyumbangkan medali yang membanggakan.
Yang Terlupakan
Tanggal 2 Mei harus kita jadikan menebus kekeliruan bagi mereka yang terlupakan. Mereka para penggerak dan pejuang sosial, yang walau pada saat studi di bangku kuliah bukan penyumbang medali, tetap ketika di masyarakat menjadi pejuang terdepan bagi kemansiaan. Apalagi pada saat pandemi Covid-19 yang membutuhkan para relawan kemanusiaan.
Dunia pendidikan harus mampu memberikan ruang gerak bagi tumbuhnya kecerdasan emosional yang berbasis pada kecerdasan spiritual. Karena itu, guru mengajar dan murid pembelajar harus disediakan kurikulum yang mampu mengubah manusia-manusia yang peduli akan nasib kaumnya. Profil lulusan tidak saja diukur dari tingginya indeks prestasi, tetapi para mahasiswa aktivis yang tak kenal lelah belajar memperjuangkan nilai-nilai.
tulis komentar anda