Mengkritisi Penerimaan Calon Maba saat Pandemi
Kamis, 10 September 2020 - 06:47 WIB
Tanpa TKA soshum dan peserta lulusan IPA diperbolehkan lintas jurusan tentu saja kurang menguntungkan bagi jurusan IPS. Hasil try out (TO) di sebuah sekolah menunjukkan, siswa jurusan IPA cenderung bisa lebih cepat mengerjakan soal-soal TPS dan mendapatkan nilai lebih tinggi daripada siswa jurusan IPS mengingat beban mengerjakan matematika untuk siswa IPA lebih banyak. Namun, ketika siswa jurusan IPA harus mengerjakan ujian TKA soshum, nilai mereka lebih rendah dibandingkan siswa IPS. Wajar saja karena siswa IPS lebih memahami mata pelajaran soshum yang diujikan karena selama tiga tahun mempelajarinya. Dengan ditiadakannya TKA dan jurusan IPA boleh lintas jurusan, tentu saja merugikan siswa jurusan IPS. Terlebih pola soalnya sama dan kriteria kelulusan hanya diambil dari rata-rata nilai UTBK tanpa melihat di variabel mana nilai peserta lebih tinggi.
Kurang Koordinasi
Dengan kondisi jadwal pelaksanaan yang berubah-ubah, bahkan beberapa hari menjelang pelaksanaan UTBK, ada kampus yang membatalkan ujian dikarenakan daerahnya masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memperlihatkan kurangnya koordinasi antara LTMPT, universitas tempat pelaksanaan ujian, dan pemerintah daerah.
Begitu juga jika melihat jadwal pengumuman hasil UTBK dengan pendaftaran ujian mandiri. Hasil SBMPTN diumumkan pada 14 Agustus 2020 sementara beberapa PTN sudah menutup pendaftaran jalur mandiri sebelum tanggal pengumuman, meski sebagian PTN lain masih membukanya.
Penggunaan nilai UTBK sebagai syarat jalur mandiri dengan kondisi peserta belum mengetahui nilainya, menyebabkan tidak meratanya penerimaan peserta. Banyak terjadi peserta sudah diterima di SBMPTN. Namun, karena mereka juga mendaftar melalui jalur mandiri dan diterima (karena sebagian jalur mandiri juga menggunakan nilai UTBK) akhirnya mengundurkan diri. Terlebih jika kampus yang dipilih di jalur mandiri lebih bagus peringkatnya daripada kampus yang dipilih melalui jalur SBMPTN. Akibatnya, kuota SBMPTN hangus begitu saja.
Sebetulnya, dapat dipahami jika peserta mendaftar ke beberapa PTN dengan kondisi yang serba tidak pasti; jalur mandiri beberapa PTN ditutup sebelum pengumuman SBMPTN, hasil UTBK dikeluarkan setelah memilih PTN. Namun kondisi ini tentu merugikan sebagian pihak. Dengan jumlah peminat dan peserta yang lolos via SBMPTN sedikit, seharusnya perlu dibuat mekanisme yang memungkinkan peserta lebih banyak diterima di PTN, baik melalui jalur SNMPTN, SBMPTN maupun mandiri.
Perlunya Keterbukaan Informasi
Kondisi berpindahnya satu mahasiswa dari PTN satu ke yang lain tersebut akhirnya membuat kursi di beberapa PTN kosong. Beberapa PTN membuka gelombang kedua, yang sayangnya tidak menginformasikan jurusan apa saja yang masih kosong. Padahal, jika sejak awal kondisi ini dapat diprediksi, seharusnya kampus bisa membuat daftar cadangan sehingga jika ada beberapa calon mahasiswa baru yang mengundurkan diri dapat diisi oleh peserta lain. Cara ini jauh lebih adil.
Besarnya biaya pendaftaran jalur mandiri juga seharusnya diimbangi dengan keterbukaan informasi mengenai hasil ujian sehingga universitas sebagai lembaga pendidikan benar-benar menjunjung tinggi asas kejujuran.
Perapian Sistem
Kurang Koordinasi
Dengan kondisi jadwal pelaksanaan yang berubah-ubah, bahkan beberapa hari menjelang pelaksanaan UTBK, ada kampus yang membatalkan ujian dikarenakan daerahnya masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memperlihatkan kurangnya koordinasi antara LTMPT, universitas tempat pelaksanaan ujian, dan pemerintah daerah.
Begitu juga jika melihat jadwal pengumuman hasil UTBK dengan pendaftaran ujian mandiri. Hasil SBMPTN diumumkan pada 14 Agustus 2020 sementara beberapa PTN sudah menutup pendaftaran jalur mandiri sebelum tanggal pengumuman, meski sebagian PTN lain masih membukanya.
Penggunaan nilai UTBK sebagai syarat jalur mandiri dengan kondisi peserta belum mengetahui nilainya, menyebabkan tidak meratanya penerimaan peserta. Banyak terjadi peserta sudah diterima di SBMPTN. Namun, karena mereka juga mendaftar melalui jalur mandiri dan diterima (karena sebagian jalur mandiri juga menggunakan nilai UTBK) akhirnya mengundurkan diri. Terlebih jika kampus yang dipilih di jalur mandiri lebih bagus peringkatnya daripada kampus yang dipilih melalui jalur SBMPTN. Akibatnya, kuota SBMPTN hangus begitu saja.
Sebetulnya, dapat dipahami jika peserta mendaftar ke beberapa PTN dengan kondisi yang serba tidak pasti; jalur mandiri beberapa PTN ditutup sebelum pengumuman SBMPTN, hasil UTBK dikeluarkan setelah memilih PTN. Namun kondisi ini tentu merugikan sebagian pihak. Dengan jumlah peminat dan peserta yang lolos via SBMPTN sedikit, seharusnya perlu dibuat mekanisme yang memungkinkan peserta lebih banyak diterima di PTN, baik melalui jalur SNMPTN, SBMPTN maupun mandiri.
Perlunya Keterbukaan Informasi
Kondisi berpindahnya satu mahasiswa dari PTN satu ke yang lain tersebut akhirnya membuat kursi di beberapa PTN kosong. Beberapa PTN membuka gelombang kedua, yang sayangnya tidak menginformasikan jurusan apa saja yang masih kosong. Padahal, jika sejak awal kondisi ini dapat diprediksi, seharusnya kampus bisa membuat daftar cadangan sehingga jika ada beberapa calon mahasiswa baru yang mengundurkan diri dapat diisi oleh peserta lain. Cara ini jauh lebih adil.
Besarnya biaya pendaftaran jalur mandiri juga seharusnya diimbangi dengan keterbukaan informasi mengenai hasil ujian sehingga universitas sebagai lembaga pendidikan benar-benar menjunjung tinggi asas kejujuran.
Perapian Sistem
tulis komentar anda