Mengkritisi Penerimaan Calon Maba saat Pandemi
loading...
A
A
A
Aprilina Prastari
Penggiat Parenting
PANDEMI Covid-19 memang berdampak pada semua sektor, termasuk pendidikan di semua tingkatannya. Tak terkecuali pendidikan tinggi. Seperti sebelumnya, lulusan SMA yang ingin menjadi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) wajib mengikuti Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK). Sempat tertunda dan mengalami perubahan jadwal dikarenakan pandemi Covid-19, ujian pun akhirnya dapat dilaksanakan.
Dari 713.230 peserta yang mendaftar, 662.409 hadir mengikuti ujian, sedangkan 50.821 tidak hadir. Pertengahan Agustus lalu, Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) selaku penyelenggara UTBK telah mengumumkan kelulusan peserta. Dari peserta yang hadir mengikuti ujian, 23,87% atau 167.653 lolos SBMPTN 2020.
Di tengah pandemi yang mengharuskan peserta menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mematuhi protokol kesehatan memang tidak mudah menyelenggarakan sebuah tes dengan jumlah peserta ribuan. Namun, melihat prosesnya, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dan tentu saja diperbaiki sebagai upaya memberikan keadilan dan pemerataan kesempatan lebih banyak bagi para peserta.
Cenderung Merugikan Peserta
Dibandingkan dengan pelaksanaan tahun lalu, UTBK tahun ini memang mengalami beberapa perbedaan. Jika pada tahun 2019 peserta mengerjakan ujian sebanyak dua kali dan hasilnya diumumkan sebelum mengajukan ke PTN, tahun ini peserta hanya mengikuti ujian satu kali dan sudah memilih PTN sebelum hasil UTBK keluar.
Perbedaan lain, ujian tidak hanya dilaksanakan satu kali, namun jenis ujiannya pun hanya TPS (tes potensi skolastik) tanpa TKA (tes kompetensi akademik). Padahal, ini penting karena menyangkut ketepatan jurusan yang dipilih peserta. TPS mengukur kemampuan kognitif yang meliputi penalaran umum, pemahaman bacaan, pengetahuan dan pemahaman umum, dan pengetahuan kuantitatif, sedangkan TKA menguji kemampuan peserta sesuai dengan pelajaran yang selama ini dipelajari di sekolah. Untuk jurusan soshum (sosial humaniora), materi yang diujikan adalah matematika soshum, ekonomi, geografi, sejarah dan sosiologi, sedangkan TKA jurusan saintek meliputi matematika saintek, biologi, fisika, dan kimia.
Perbedaan-perbedaan ini jika dilihat lagi lebih lanjut dampaknya cenderung merugikan peserta, khususnya siswa jurusan IPS. Pemilihan ujian yang hanya satu kali, sebetulnya dapat dimaklumi. Memang, tidak mudah melakukan tes lebih dari satu kali dengan kondisi pandemi seperti ini. Namun, dengan dikeluarkannya hasil setelah peserta memilih PTN, kurang memberi keleluasaan bagi peserta untuk memilih PTN yang sesuai dengan nilai. Jika peserta sudah mengetahui hasil UTBK, tentu peserta memiliki gambaran PTN mana yang akan mereka pilih sesuai dengan hasil sehingga tidak terjadi penumpukan di beberapa PTN saja dan peluang mereka masuk di PTN yang sesuai dengan hasil UTBK lebih besar.
Tanpa TKA soshum dan peserta lulusan IPA diperbolehkan lintas jurusan tentu saja kurang menguntungkan bagi jurusan IPS. Hasil try out (TO) di sebuah sekolah menunjukkan, siswa jurusan IPA cenderung bisa lebih cepat mengerjakan soal-soal TPS dan mendapatkan nilai lebih tinggi daripada siswa jurusan IPS mengingat beban mengerjakan matematika untuk siswa IPA lebih banyak. Namun, ketika siswa jurusan IPA harus mengerjakan ujian TKA soshum, nilai mereka lebih rendah dibandingkan siswa IPS. Wajar saja karena siswa IPS lebih memahami mata pelajaran soshum yang diujikan karena selama tiga tahun mempelajarinya. Dengan ditiadakannya TKA dan jurusan IPA boleh lintas jurusan, tentu saja merugikan siswa jurusan IPS. Terlebih pola soalnya sama dan kriteria kelulusan hanya diambil dari rata-rata nilai UTBK tanpa melihat di variabel mana nilai peserta lebih tinggi.
Kurang Koordinasi
Dengan kondisi jadwal pelaksanaan yang berubah-ubah, bahkan beberapa hari menjelang pelaksanaan UTBK, ada kampus yang membatalkan ujian dikarenakan daerahnya masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memperlihatkan kurangnya koordinasi antara LTMPT, universitas tempat pelaksanaan ujian, dan pemerintah daerah.
Begitu juga jika melihat jadwal pengumuman hasil UTBK dengan pendaftaran ujian mandiri. Hasil SBMPTN diumumkan pada 14 Agustus 2020 sementara beberapa PTN sudah menutup pendaftaran jalur mandiri sebelum tanggal pengumuman, meski sebagian PTN lain masih membukanya.
Penggunaan nilai UTBK sebagai syarat jalur mandiri dengan kondisi peserta belum mengetahui nilainya, menyebabkan tidak meratanya penerimaan peserta. Banyak terjadi peserta sudah diterima di SBMPTN. Namun, karena mereka juga mendaftar melalui jalur mandiri dan diterima (karena sebagian jalur mandiri juga menggunakan nilai UTBK) akhirnya mengundurkan diri. Terlebih jika kampus yang dipilih di jalur mandiri lebih bagus peringkatnya daripada kampus yang dipilih melalui jalur SBMPTN. Akibatnya, kuota SBMPTN hangus begitu saja.
Sebetulnya, dapat dipahami jika peserta mendaftar ke beberapa PTN dengan kondisi yang serba tidak pasti; jalur mandiri beberapa PTN ditutup sebelum pengumuman SBMPTN, hasil UTBK dikeluarkan setelah memilih PTN. Namun kondisi ini tentu merugikan sebagian pihak. Dengan jumlah peminat dan peserta yang lolos via SBMPTN sedikit, seharusnya perlu dibuat mekanisme yang memungkinkan peserta lebih banyak diterima di PTN, baik melalui jalur SNMPTN, SBMPTN maupun mandiri.
Perlunya Keterbukaan Informasi
Kondisi berpindahnya satu mahasiswa dari PTN satu ke yang lain tersebut akhirnya membuat kursi di beberapa PTN kosong. Beberapa PTN membuka gelombang kedua, yang sayangnya tidak menginformasikan jurusan apa saja yang masih kosong. Padahal, jika sejak awal kondisi ini dapat diprediksi, seharusnya kampus bisa membuat daftar cadangan sehingga jika ada beberapa calon mahasiswa baru yang mengundurkan diri dapat diisi oleh peserta lain. Cara ini jauh lebih adil.
Besarnya biaya pendaftaran jalur mandiri juga seharusnya diimbangi dengan keterbukaan informasi mengenai hasil ujian sehingga universitas sebagai lembaga pendidikan benar-benar menjunjung tinggi asas kejujuran.
Perapian Sistem
Terlepas dari masa pandemi, sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN sebaiknya dirapikan lagi. Kemdikbud perlu menata kebijakan porsi jalur SNMPTN, SBMPTN, dan mandiri dengan seadil-adilnya mengingat biaya untuk jalur mandiri tidak sedikit. Banyak anak bangsa yang cerdas, namun kurang dari sisi keuangan. Jalur-jalur prestasi perlu ditambah sehingga anak-anak tidak hanya terpaku pada nilai akademik tapi juga prestasi lain.
Jarak penerimaan antara jalur satu dan yang lain perlu diberikan waktu yang cukup. Perlu dibuat sistem yang dapat dilacak agar mereka yang sudah diterima melalui jalur SNMPTN tidak dapat mendaftar melalui jalur SBMPTN dan mereka yang sudah diterima di jalur SBMPTN tidak dapat mendaftar melalui jalur mandiri. Dengan begitu, mereka yang belum diterima melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN berkesempatan untuk mendaftar melalui jalur mandiri. Berikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka yang kurang mampu namun memiliki prestasi untuk diterima melalui jalur prestasi dan SBMPTN sehingga biaya kuliah bisa lebih terjangkau.
Agar anak-anak mulai peduli jurusan dan memberikan ruang yang lebih luas untuk siswa IPS (karena jurusan soshum terbatas) maka jurusan di ranah saintek sebaiknya hanya boleh diikuti oleh siswa jurusan IPA pun sebaliknya, jurusan soshum hanya boleh diikuti oleh siswa jurusan IPS. Siswa SMK atau MA dapat menyesuaikan dengan lingkup keilmuan masing-masing. Terlebih untuk jalur prestasi. Ironis jika siswa jurusan IPA diterima di jurusan soshum melalui jalur prestasi, sementara selama tiga tahun mereka lebih banyak belajar ilmu di ranah saintek. Dengan begitu, tidak ada lagi pemikiran bahwa anak IPA lebih cerdas dari anak IPS sehingga sejak awal anak-anak masuk ke sekolah tingkat menengah, mereka sudah diarahkan sesuai minatnya.
Penggiat Parenting
PANDEMI Covid-19 memang berdampak pada semua sektor, termasuk pendidikan di semua tingkatannya. Tak terkecuali pendidikan tinggi. Seperti sebelumnya, lulusan SMA yang ingin menjadi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) wajib mengikuti Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK). Sempat tertunda dan mengalami perubahan jadwal dikarenakan pandemi Covid-19, ujian pun akhirnya dapat dilaksanakan.
Dari 713.230 peserta yang mendaftar, 662.409 hadir mengikuti ujian, sedangkan 50.821 tidak hadir. Pertengahan Agustus lalu, Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) selaku penyelenggara UTBK telah mengumumkan kelulusan peserta. Dari peserta yang hadir mengikuti ujian, 23,87% atau 167.653 lolos SBMPTN 2020.
Di tengah pandemi yang mengharuskan peserta menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mematuhi protokol kesehatan memang tidak mudah menyelenggarakan sebuah tes dengan jumlah peserta ribuan. Namun, melihat prosesnya, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dan tentu saja diperbaiki sebagai upaya memberikan keadilan dan pemerataan kesempatan lebih banyak bagi para peserta.
Cenderung Merugikan Peserta
Dibandingkan dengan pelaksanaan tahun lalu, UTBK tahun ini memang mengalami beberapa perbedaan. Jika pada tahun 2019 peserta mengerjakan ujian sebanyak dua kali dan hasilnya diumumkan sebelum mengajukan ke PTN, tahun ini peserta hanya mengikuti ujian satu kali dan sudah memilih PTN sebelum hasil UTBK keluar.
Perbedaan lain, ujian tidak hanya dilaksanakan satu kali, namun jenis ujiannya pun hanya TPS (tes potensi skolastik) tanpa TKA (tes kompetensi akademik). Padahal, ini penting karena menyangkut ketepatan jurusan yang dipilih peserta. TPS mengukur kemampuan kognitif yang meliputi penalaran umum, pemahaman bacaan, pengetahuan dan pemahaman umum, dan pengetahuan kuantitatif, sedangkan TKA menguji kemampuan peserta sesuai dengan pelajaran yang selama ini dipelajari di sekolah. Untuk jurusan soshum (sosial humaniora), materi yang diujikan adalah matematika soshum, ekonomi, geografi, sejarah dan sosiologi, sedangkan TKA jurusan saintek meliputi matematika saintek, biologi, fisika, dan kimia.
Perbedaan-perbedaan ini jika dilihat lagi lebih lanjut dampaknya cenderung merugikan peserta, khususnya siswa jurusan IPS. Pemilihan ujian yang hanya satu kali, sebetulnya dapat dimaklumi. Memang, tidak mudah melakukan tes lebih dari satu kali dengan kondisi pandemi seperti ini. Namun, dengan dikeluarkannya hasil setelah peserta memilih PTN, kurang memberi keleluasaan bagi peserta untuk memilih PTN yang sesuai dengan nilai. Jika peserta sudah mengetahui hasil UTBK, tentu peserta memiliki gambaran PTN mana yang akan mereka pilih sesuai dengan hasil sehingga tidak terjadi penumpukan di beberapa PTN saja dan peluang mereka masuk di PTN yang sesuai dengan hasil UTBK lebih besar.
Tanpa TKA soshum dan peserta lulusan IPA diperbolehkan lintas jurusan tentu saja kurang menguntungkan bagi jurusan IPS. Hasil try out (TO) di sebuah sekolah menunjukkan, siswa jurusan IPA cenderung bisa lebih cepat mengerjakan soal-soal TPS dan mendapatkan nilai lebih tinggi daripada siswa jurusan IPS mengingat beban mengerjakan matematika untuk siswa IPA lebih banyak. Namun, ketika siswa jurusan IPA harus mengerjakan ujian TKA soshum, nilai mereka lebih rendah dibandingkan siswa IPS. Wajar saja karena siswa IPS lebih memahami mata pelajaran soshum yang diujikan karena selama tiga tahun mempelajarinya. Dengan ditiadakannya TKA dan jurusan IPA boleh lintas jurusan, tentu saja merugikan siswa jurusan IPS. Terlebih pola soalnya sama dan kriteria kelulusan hanya diambil dari rata-rata nilai UTBK tanpa melihat di variabel mana nilai peserta lebih tinggi.
Kurang Koordinasi
Dengan kondisi jadwal pelaksanaan yang berubah-ubah, bahkan beberapa hari menjelang pelaksanaan UTBK, ada kampus yang membatalkan ujian dikarenakan daerahnya masih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memperlihatkan kurangnya koordinasi antara LTMPT, universitas tempat pelaksanaan ujian, dan pemerintah daerah.
Begitu juga jika melihat jadwal pengumuman hasil UTBK dengan pendaftaran ujian mandiri. Hasil SBMPTN diumumkan pada 14 Agustus 2020 sementara beberapa PTN sudah menutup pendaftaran jalur mandiri sebelum tanggal pengumuman, meski sebagian PTN lain masih membukanya.
Penggunaan nilai UTBK sebagai syarat jalur mandiri dengan kondisi peserta belum mengetahui nilainya, menyebabkan tidak meratanya penerimaan peserta. Banyak terjadi peserta sudah diterima di SBMPTN. Namun, karena mereka juga mendaftar melalui jalur mandiri dan diterima (karena sebagian jalur mandiri juga menggunakan nilai UTBK) akhirnya mengundurkan diri. Terlebih jika kampus yang dipilih di jalur mandiri lebih bagus peringkatnya daripada kampus yang dipilih melalui jalur SBMPTN. Akibatnya, kuota SBMPTN hangus begitu saja.
Sebetulnya, dapat dipahami jika peserta mendaftar ke beberapa PTN dengan kondisi yang serba tidak pasti; jalur mandiri beberapa PTN ditutup sebelum pengumuman SBMPTN, hasil UTBK dikeluarkan setelah memilih PTN. Namun kondisi ini tentu merugikan sebagian pihak. Dengan jumlah peminat dan peserta yang lolos via SBMPTN sedikit, seharusnya perlu dibuat mekanisme yang memungkinkan peserta lebih banyak diterima di PTN, baik melalui jalur SNMPTN, SBMPTN maupun mandiri.
Perlunya Keterbukaan Informasi
Kondisi berpindahnya satu mahasiswa dari PTN satu ke yang lain tersebut akhirnya membuat kursi di beberapa PTN kosong. Beberapa PTN membuka gelombang kedua, yang sayangnya tidak menginformasikan jurusan apa saja yang masih kosong. Padahal, jika sejak awal kondisi ini dapat diprediksi, seharusnya kampus bisa membuat daftar cadangan sehingga jika ada beberapa calon mahasiswa baru yang mengundurkan diri dapat diisi oleh peserta lain. Cara ini jauh lebih adil.
Besarnya biaya pendaftaran jalur mandiri juga seharusnya diimbangi dengan keterbukaan informasi mengenai hasil ujian sehingga universitas sebagai lembaga pendidikan benar-benar menjunjung tinggi asas kejujuran.
Perapian Sistem
Terlepas dari masa pandemi, sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN sebaiknya dirapikan lagi. Kemdikbud perlu menata kebijakan porsi jalur SNMPTN, SBMPTN, dan mandiri dengan seadil-adilnya mengingat biaya untuk jalur mandiri tidak sedikit. Banyak anak bangsa yang cerdas, namun kurang dari sisi keuangan. Jalur-jalur prestasi perlu ditambah sehingga anak-anak tidak hanya terpaku pada nilai akademik tapi juga prestasi lain.
Jarak penerimaan antara jalur satu dan yang lain perlu diberikan waktu yang cukup. Perlu dibuat sistem yang dapat dilacak agar mereka yang sudah diterima melalui jalur SNMPTN tidak dapat mendaftar melalui jalur SBMPTN dan mereka yang sudah diterima di jalur SBMPTN tidak dapat mendaftar melalui jalur mandiri. Dengan begitu, mereka yang belum diterima melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN berkesempatan untuk mendaftar melalui jalur mandiri. Berikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka yang kurang mampu namun memiliki prestasi untuk diterima melalui jalur prestasi dan SBMPTN sehingga biaya kuliah bisa lebih terjangkau.
Agar anak-anak mulai peduli jurusan dan memberikan ruang yang lebih luas untuk siswa IPS (karena jurusan soshum terbatas) maka jurusan di ranah saintek sebaiknya hanya boleh diikuti oleh siswa jurusan IPA pun sebaliknya, jurusan soshum hanya boleh diikuti oleh siswa jurusan IPS. Siswa SMK atau MA dapat menyesuaikan dengan lingkup keilmuan masing-masing. Terlebih untuk jalur prestasi. Ironis jika siswa jurusan IPA diterima di jurusan soshum melalui jalur prestasi, sementara selama tiga tahun mereka lebih banyak belajar ilmu di ranah saintek. Dengan begitu, tidak ada lagi pemikiran bahwa anak IPA lebih cerdas dari anak IPS sehingga sejak awal anak-anak masuk ke sekolah tingkat menengah, mereka sudah diarahkan sesuai minatnya.
(ras)