Klaster Rumah Tangga Perlu Perhatian Serius
Kamis, 03 September 2020 - 18:29 WIB
TEPAT memasuki bulan keenam pandemi korona (Covid-19) peningkatan jumlah kasus baru semakin tinggi. Bahkan dalam beberapa hari terakhir jumlah yang terpapar mencapai lebih dari 3000 orang. Dari banyak kasus yang terlacak, orang yang terpapar bukan hanya datang dari klaster kantoran dan tempat-tempat umum, melainkan datang dari klaster rumah tangga.
Tingginya klaster rumah tangga dapat dilihat dari laporan beberapa kepala daerah seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Malang, dan Surabaya. Para kepala daerah mengumumkan tingkat terduga Covid-19 tertinggi merupakan klaster rumah tangga. Hal ini tentu saja mengejutkan. Mengapa? Karena sejak awal diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret lalu, hampir seluruh masyarakat mulai dari tingkat RT, RW, hingga kelurahan membentuk tim gugus tugas untuk mencegah penyebaran korona. Gugus tugas yang dibentuk turut melibatkan warga hingga petugas keamanan wilayah (satpam) sehingga masyarakat keluar masuk lingkungan warga harus memenuhi protokol Covid, seperti menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun, atau mengelap tangan dengan menggunakan hand sanitizer.
Apa yang dilakukan oleh tim gugus tugas di lingkungan masyarakat terbukti mampu menahan penambahan jumlah orang yang terpapar. Namun seiring berjalannya waktu pasca dilonggarkannya peraturan PSBB, masyarakat kembali mengendurkan sejumlah aturan. Aktivitas di luar rumah yang semakin tinggi turut membentuk perilaku masyarakat yang semula tertib dengan aturan kembali lalai dan cenderung melanggar. Bahkan di sejumlah tempat, aturan untuk masuk kesuatu wilayah perumahan, perkantoran, pertokoan, dsb, tidak lagi menggunakan pemeriksaan kesehatan dan mewajibkan penggunaan masker.
Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, jumlah warga yang terpapar Covid di wilayahnya kini sudah mencapai rekor tertinggi. Bahkan klaster rumah tangga menjadi penyumbang tertinggi dari faktor lainnya. Menurut Bima, dari data Covid-19 Dinas Kesehatan Kota Bogor Minggu (30/8) lalu, terkonfirmasi delapan orang dari klaster rumah tangga terpapar korona, sedangkan klaster perkantoran dan klaster luar kota masing-masing ditemukan satu orang.
Begitu pula halnya dengan DKI Jakarta. Siang kemarin Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, suspect Covid klaster rumah tangga di Jakarta semakin tinggi dari klaster lainnya. Menurut Anies meningkatnya klaster rumah tangga akibat anggota keluarga yang terpapar korona, namun dalam perawatan mandiri tidak sepenuhnya dapat menjalankan protokol kesehatan. Sehingga anggota keluarga yang merawat suspect korona ikut tertular dan menjadi kasus baru.
Tingginya kasus klaster rumah tangga di Bogor dan DKI Jakarta ini menjadi contoh betapa sulitnya menahan penularan korona bila protokol Covid yang telah diterapkan sejak Maret lalu tidak diiringi dengan kebijakan yang tepat dalam beraktivitas di lingkungan sosial. Bila lingkungan masyarakat terkecil saja sudah mulai kendur dalam mengikuti peraturan, bagaimana pelaksanaan di luar rumah yang memiliki ruang interaksi lebih luas? Kegiatan ekonomi yang harus dilakukan oleh setiap orang selain menjadi harapan untuk tetap dapat memberikan kehidupan dalam rumah tangga, namun sekaligus menjadi risiko besar yang harus ditempuh. Covid-19 terus mengintai dan menjadi ancaman serius bagi siapapun yang tidak menerapkan protokol kesehatan bagi dirinya sendiri. Tak terkecuali, keluargapun turut terancam karena orang tanpa g ejala (OTG) menjadi salah satu faktor cepatnya penyebaran korona di lingkungan keluarga.
Rencana kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang ingin mengeluarkan aturan agar setiap pasien Covid di wilayahnya untuk dirawat di rumah sakit dan tak lagi menjadi perawatan mandiri menjadi tantangan serius yang harus dijawab oleh pemerintah. Mengapa? Karena hal itu membutuhkan berbagai kesiapan, seperti ketersediaan ruangan di rumah sakit, ketersediaan ruang khusus untuk tambahan pasien Covid (sebelumnya melibatkan dinas pendidikan melalui penggunaan gedung-gedung sekolah), kesiapan tim medis baik dokter dan perawat, kesiapan APD, dan juga ketersediaan lain sebagai penunjang pasien Covid pada umumnya.
Kebijakan yang tepat bila tak diiringi dengan aturan yang tepat pula tentu hanya akan menjadi sia-sia untuk memutus mata rantai Covid pada klaster rumah tangga. Untuk mencegah peningkatan klaster keluarga dibutuhkan kerjasama dengan masyarakat, dan pemerintah pusat menjadi pemandu utamanya. Masa tiga bulan pertama penerapan PSBB berskala nasional yang cukup sukses untuk menahan penularan Covid dengan menghidupkan gugus tugas terkecil di lingkungan masyarakat harus dapat dihidupkan kembali, agar apa yang dikhawatirkan saat ini tidak terjadi. Tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya bila peningkatan klaster rumah tangga semakin tinggi, dan melihat ayah, ibu, anak, atau siapapun penghuni di rumah itu menjadi suspect korona. Selain beban psikis, beban ekomomi juga akan membuat suspect korona semakin berat. Pemerintah harus memberikan perhatian serius dalam melakukan sosialisasi, seperti saat awal terjadinya pandemi korona. Saat itu semua instruksi dapat didengar dan ditaati oleh seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Tingginya klaster rumah tangga dapat dilihat dari laporan beberapa kepala daerah seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Malang, dan Surabaya. Para kepala daerah mengumumkan tingkat terduga Covid-19 tertinggi merupakan klaster rumah tangga. Hal ini tentu saja mengejutkan. Mengapa? Karena sejak awal diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret lalu, hampir seluruh masyarakat mulai dari tingkat RT, RW, hingga kelurahan membentuk tim gugus tugas untuk mencegah penyebaran korona. Gugus tugas yang dibentuk turut melibatkan warga hingga petugas keamanan wilayah (satpam) sehingga masyarakat keluar masuk lingkungan warga harus memenuhi protokol Covid, seperti menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun, atau mengelap tangan dengan menggunakan hand sanitizer.
Apa yang dilakukan oleh tim gugus tugas di lingkungan masyarakat terbukti mampu menahan penambahan jumlah orang yang terpapar. Namun seiring berjalannya waktu pasca dilonggarkannya peraturan PSBB, masyarakat kembali mengendurkan sejumlah aturan. Aktivitas di luar rumah yang semakin tinggi turut membentuk perilaku masyarakat yang semula tertib dengan aturan kembali lalai dan cenderung melanggar. Bahkan di sejumlah tempat, aturan untuk masuk kesuatu wilayah perumahan, perkantoran, pertokoan, dsb, tidak lagi menggunakan pemeriksaan kesehatan dan mewajibkan penggunaan masker.
Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, jumlah warga yang terpapar Covid di wilayahnya kini sudah mencapai rekor tertinggi. Bahkan klaster rumah tangga menjadi penyumbang tertinggi dari faktor lainnya. Menurut Bima, dari data Covid-19 Dinas Kesehatan Kota Bogor Minggu (30/8) lalu, terkonfirmasi delapan orang dari klaster rumah tangga terpapar korona, sedangkan klaster perkantoran dan klaster luar kota masing-masing ditemukan satu orang.
Begitu pula halnya dengan DKI Jakarta. Siang kemarin Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, suspect Covid klaster rumah tangga di Jakarta semakin tinggi dari klaster lainnya. Menurut Anies meningkatnya klaster rumah tangga akibat anggota keluarga yang terpapar korona, namun dalam perawatan mandiri tidak sepenuhnya dapat menjalankan protokol kesehatan. Sehingga anggota keluarga yang merawat suspect korona ikut tertular dan menjadi kasus baru.
Tingginya kasus klaster rumah tangga di Bogor dan DKI Jakarta ini menjadi contoh betapa sulitnya menahan penularan korona bila protokol Covid yang telah diterapkan sejak Maret lalu tidak diiringi dengan kebijakan yang tepat dalam beraktivitas di lingkungan sosial. Bila lingkungan masyarakat terkecil saja sudah mulai kendur dalam mengikuti peraturan, bagaimana pelaksanaan di luar rumah yang memiliki ruang interaksi lebih luas? Kegiatan ekonomi yang harus dilakukan oleh setiap orang selain menjadi harapan untuk tetap dapat memberikan kehidupan dalam rumah tangga, namun sekaligus menjadi risiko besar yang harus ditempuh. Covid-19 terus mengintai dan menjadi ancaman serius bagi siapapun yang tidak menerapkan protokol kesehatan bagi dirinya sendiri. Tak terkecuali, keluargapun turut terancam karena orang tanpa g ejala (OTG) menjadi salah satu faktor cepatnya penyebaran korona di lingkungan keluarga.
Rencana kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang ingin mengeluarkan aturan agar setiap pasien Covid di wilayahnya untuk dirawat di rumah sakit dan tak lagi menjadi perawatan mandiri menjadi tantangan serius yang harus dijawab oleh pemerintah. Mengapa? Karena hal itu membutuhkan berbagai kesiapan, seperti ketersediaan ruangan di rumah sakit, ketersediaan ruang khusus untuk tambahan pasien Covid (sebelumnya melibatkan dinas pendidikan melalui penggunaan gedung-gedung sekolah), kesiapan tim medis baik dokter dan perawat, kesiapan APD, dan juga ketersediaan lain sebagai penunjang pasien Covid pada umumnya.
Kebijakan yang tepat bila tak diiringi dengan aturan yang tepat pula tentu hanya akan menjadi sia-sia untuk memutus mata rantai Covid pada klaster rumah tangga. Untuk mencegah peningkatan klaster keluarga dibutuhkan kerjasama dengan masyarakat, dan pemerintah pusat menjadi pemandu utamanya. Masa tiga bulan pertama penerapan PSBB berskala nasional yang cukup sukses untuk menahan penularan Covid dengan menghidupkan gugus tugas terkecil di lingkungan masyarakat harus dapat dihidupkan kembali, agar apa yang dikhawatirkan saat ini tidak terjadi. Tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya bila peningkatan klaster rumah tangga semakin tinggi, dan melihat ayah, ibu, anak, atau siapapun penghuni di rumah itu menjadi suspect korona. Selain beban psikis, beban ekomomi juga akan membuat suspect korona semakin berat. Pemerintah harus memberikan perhatian serius dalam melakukan sosialisasi, seperti saat awal terjadinya pandemi korona. Saat itu semua instruksi dapat didengar dan ditaati oleh seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda