Lemahnya Literasi Media dan Kasus OCCRP

Minggu, 05 Januari 2025 - 07:50 WIB
Tokoh publik atau kelompok tertentu yang menyebarluaskan narasi awal tanpa melakukan pemeriksaan fakta lebih lanjut memperburuk situasi, sehingga informasi yang salah dianggap kebenaran oleh banyak pihak. Fenomena ini juga diperburuk oleh algoritma media sosial yang menciptakan ruang informasi tertutup (echo chamber).

Algoritma platform seperti Facebook dan Twitter dirancang untuk menampilkan konten yang relevan dengan preferensi pengguna, yang sering kali memperkuat bias yang ada. Hal ini membuat individu cenderung hanya terpapar informasi yang mendukung keyakinan mereka, sekaligus mengabaikan informasi yang berlawanan.

Dalam kasus OCCRP, narasi awal tentang Jokowi terus diperkuat di kalangan yang kritis terhadap pemerintah, sementara bantahan dari OCCRP tidak mendapat perhatian yang sama. Dari sisi jurnalistik, lemahnya penerapan prinsip verifikasi juga menjadi faktor utama. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka The Elements of Journalism menekankan bahwa verifikasi merupakan inti dari praktik jurnalistik yang bertanggung jawab.

Prinsip ini mengharuskan media untuk memeriksa fakta secara mendalam sebelum menyampaikan informasi kepada publik. Namun, dalam kasus ini, banyak media mengutamakan kecepatan penyampaian berita daripada akurasi.

Pemberitaan yang mengutip klaim awal tanpa investigasi mendalam menciptakan bias informasi yang signifikan, mengabaikan tanggung jawab media untuk memberikan informasi yang benar dan berimbang. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan tantangan dalam industri media, tetapi juga menyoroti rendahnya literasi media di kalangan masyarakat.

Renee Hobbs mendefinisikan literasi media sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam berbagai format. Literasi media yang baik mencakup keterampilan mengenali kredibilitas sumber informasi, memahami konteks pemberitaan, dan membandingkan berbagai perspektif.

Sayangnya, dalam kasus OCCRP, rendahnya literasi media membuat sebagian masyarakat mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak terverifikasi, terutama jika narasi tersebut selaras dengan bias yang telah ada. Dari sisi teknologi, algoritma media sosial turut berperan dalam memperkuat polarisasi informasi.

Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram secara otomatis menyesuaikan konten berdasarkan riwayat interaksi pengguna. Pola ini, yang sering disebut sebagai algorithmic personalization, membatasi akses masyarakat terhadap informasi alternatif, menciptakan ruang informasi tertutup yang memperkuat bias awal.

Dalam konteks kasus OCCRP, algoritma ini memastikan bahwa individu yang telah memiliki pandangan kritis terhadap pemerintah terus menerima informasi yang memperkuat bias mereka, terlepas dari kebenaran narasi tersebut. Namun, tanggung jawab untuk menangani masalah ini tidak hanya berada di tangan masyarakat, tetapi juga pada media dan platform digital.

Media perlu menegakkan kembali prinsip jurnalistik seperti verifikasi dan transparansi sumber informasi. Dalam konteks pemberitaan sensitif, proses check and recheck wajib dilakukan untuk memastikan akurasi. Media juga perlu lebih kritis dalam memilih narasumber dan menganalisis data sebelum memublikasikan laporan.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More