Taiwan dan Kedaulatan China: Suatu Perjalanan Sejarah
Selasa, 24 Desember 2024 - 17:16 WIB
Pada 2023, China meluncurkan inisiatif baru untuk mendorong integrasi ekonomi antara Taiwan dan provinsi Fujian. Kebijakan ini mencakup penghapusan persyaratan pendaftaran sementara bagi warga Taiwan yang tinggal di Fujian, serta mendorong perusahaan di Fujian untuk mempekerjakan warga Taiwan. Namun, Taiwan tetap menolak kebijakan ini, dengan alasan ancaman terhadap kedaulatannya.
Presiden Lai Ching-te telah menjabat selama lebih dari 5 bulan sejak 20 Mei lalu. Selama periode ini, ia sering memberikan pernyataan tentang hubungan lintas selat, yang menunjukkan bahwa retorikanya semakin mendekati posisi Republik China. Baru-baru ini, muncul kabar bahwa pada rapat Dewan Pusat DPP tanggal 9 Oktober, Lai secara pribadi menekankan, "Menyatukan negara" adalah tanggung jawabnya sebagai presiden, dan "saat ini hanya 'Republik China' yang dapat menyatukan semua orang."
Pada perayaan Hari Nasional 10 Oktober 2024, Lai dalam pidatonya menekankan "harapan semua orang bersatu dan bekerja sama, sehingga negara menjadi lebih kuat, lebih makmur, dan lebih maju." Pada pidato Hari Nasional, ia mengambil tema "Menyatukan Taiwan untuk Meraih Impian" dan menyebutkan "teori leluhur" serta sejarah Republik China yang menggulingkan monarki 113 tahun yang lalu. Pernyataannya tersebut dianggap sebagai upaya untuk mengadopsi narasi "Republik China" dari Partai Nasionalis, yang ternyata diterima secara luas berdasarkan hasil survei.
Sebelumnya, Lai secara terbuka menyebut dirinya sebagai "praktisi Taiwan merdeka yang pragmatis." Namun, sejak menjabat sebagai presiden, pernyataannya tentang hubungan lintas selat mulai berubah, seperti "kedua negara tidak saling tunduk" hingga "di mana pun Republik China berada, semangat Huangpu juga ada," yang menunjukkan pendekatan yang lebih dekat dengan Republik China.
Sebenarnya Lai mengacu pada pernyataan presiden sebelumnya, termasuk Chiang Ching-kuo yang menyebut dirinya "orang China sekaligus orang Taiwan" dengan kebijakan "mengembangkan talenta Taiwan," Lee Teng-hui dengan pernyataan "Republik China ada di Taiwan," Chen Shui-bian dengan "Republik China adalah Taiwan," dan Tsai Ing-wen dengan "Republik China Taiwan." Semua ini, menurut Lai, adalah aset penting yang terakumulasi dalam perjalanan identitas nasional Taiwan selama beberapa dekade terakhir.
Sebenarnya narasi "Republik China" oleh Lai memiliki logika yang jelas. Pendekatan pragmatisnya adalah "menyatukan negara." Dalam pidato Hari Nasional, jumlah sebutannya terhadap "Republik China" bahkan lebih banyak dibandingkan Tsai Ing-wen.
Pendekatan ini berasal dari keyakinan mendalam Lai bahwa "Republik China" adalah landasan bagi persatuan nasional. Karena Lai berasal dari "kelompok hijau murni," tidak ada yang akan meragukan loyalitasnya terhadap Taiwan, sehingga ia mampu dengan jelas mendefinisikan narasi "Republik China" tanpa perlu menggunakan pendekatan yang ambigu seperti Tsai Ing-wen.
Sebenarnya pernyataan Chen Chung yang mewakili Taipei Economic and Trade Office di Indonesia tidak sepenuhnya benar. Penulis mengatakan tidak sepenuhnya benar adalah, memang benar untuk saat ini Beijing belum mempunyai otoritas terhadap Taipei dan wilayah yang dikuasai Taipei, akan tetapi, walau bagaimanapun dalam Konstitusi Republik China (Taiwan), daratan China dan Hongkong-Macau masih merupakan wilayah yang sah dari Republik China.
Oleh karena itu, baik Beijing maupun Taipei sebenarnya tidak perlu alergi dan malu untuk mengakui bahwa perang saudara antara Komunis China dan otoritas Taipei belum selesai, dan hanya berhenti untuk sementara. Tentunya kita berharap kedua belah pihak bisa mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Baik Taiwan maupun daratan China adalah wilayah yang tak terpisahkan dari China, masalahnya Republik Rakyat China atau Republik China?
Kesimpulan
Presiden Lai Ching-te telah menjabat selama lebih dari 5 bulan sejak 20 Mei lalu. Selama periode ini, ia sering memberikan pernyataan tentang hubungan lintas selat, yang menunjukkan bahwa retorikanya semakin mendekati posisi Republik China. Baru-baru ini, muncul kabar bahwa pada rapat Dewan Pusat DPP tanggal 9 Oktober, Lai secara pribadi menekankan, "Menyatukan negara" adalah tanggung jawabnya sebagai presiden, dan "saat ini hanya 'Republik China' yang dapat menyatukan semua orang."
Pada perayaan Hari Nasional 10 Oktober 2024, Lai dalam pidatonya menekankan "harapan semua orang bersatu dan bekerja sama, sehingga negara menjadi lebih kuat, lebih makmur, dan lebih maju." Pada pidato Hari Nasional, ia mengambil tema "Menyatukan Taiwan untuk Meraih Impian" dan menyebutkan "teori leluhur" serta sejarah Republik China yang menggulingkan monarki 113 tahun yang lalu. Pernyataannya tersebut dianggap sebagai upaya untuk mengadopsi narasi "Republik China" dari Partai Nasionalis, yang ternyata diterima secara luas berdasarkan hasil survei.
Sebelumnya, Lai secara terbuka menyebut dirinya sebagai "praktisi Taiwan merdeka yang pragmatis." Namun, sejak menjabat sebagai presiden, pernyataannya tentang hubungan lintas selat mulai berubah, seperti "kedua negara tidak saling tunduk" hingga "di mana pun Republik China berada, semangat Huangpu juga ada," yang menunjukkan pendekatan yang lebih dekat dengan Republik China.
Sebenarnya Lai mengacu pada pernyataan presiden sebelumnya, termasuk Chiang Ching-kuo yang menyebut dirinya "orang China sekaligus orang Taiwan" dengan kebijakan "mengembangkan talenta Taiwan," Lee Teng-hui dengan pernyataan "Republik China ada di Taiwan," Chen Shui-bian dengan "Republik China adalah Taiwan," dan Tsai Ing-wen dengan "Republik China Taiwan." Semua ini, menurut Lai, adalah aset penting yang terakumulasi dalam perjalanan identitas nasional Taiwan selama beberapa dekade terakhir.
Sebenarnya narasi "Republik China" oleh Lai memiliki logika yang jelas. Pendekatan pragmatisnya adalah "menyatukan negara." Dalam pidato Hari Nasional, jumlah sebutannya terhadap "Republik China" bahkan lebih banyak dibandingkan Tsai Ing-wen.
Pendekatan ini berasal dari keyakinan mendalam Lai bahwa "Republik China" adalah landasan bagi persatuan nasional. Karena Lai berasal dari "kelompok hijau murni," tidak ada yang akan meragukan loyalitasnya terhadap Taiwan, sehingga ia mampu dengan jelas mendefinisikan narasi "Republik China" tanpa perlu menggunakan pendekatan yang ambigu seperti Tsai Ing-wen.
Sebenarnya pernyataan Chen Chung yang mewakili Taipei Economic and Trade Office di Indonesia tidak sepenuhnya benar. Penulis mengatakan tidak sepenuhnya benar adalah, memang benar untuk saat ini Beijing belum mempunyai otoritas terhadap Taipei dan wilayah yang dikuasai Taipei, akan tetapi, walau bagaimanapun dalam Konstitusi Republik China (Taiwan), daratan China dan Hongkong-Macau masih merupakan wilayah yang sah dari Republik China.
Oleh karena itu, baik Beijing maupun Taipei sebenarnya tidak perlu alergi dan malu untuk mengakui bahwa perang saudara antara Komunis China dan otoritas Taipei belum selesai, dan hanya berhenti untuk sementara. Tentunya kita berharap kedua belah pihak bisa mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Baik Taiwan maupun daratan China adalah wilayah yang tak terpisahkan dari China, masalahnya Republik Rakyat China atau Republik China?
Kesimpulan
Lihat Juga :
tulis komentar anda