Taiwan dan Kedaulatan China: Suatu Perjalanan Sejarah

Selasa, 24 Desember 2024 - 17:16 WIB
loading...
Taiwan dan Kedaulatan...
Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Dosen Hubungan Internasional, President University. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Hubungan Internasional President University

TAIPEI
Economic and Trade Office (TETO) menyerukan kepada Indonesia untuk waspada terhadap klaim kedaulatan China yang dapat merusak perdamaian regional. Dalam momen refleksi akhir tahun, mari kita lihat kembali perseteruan antara Taiwan dan daratan China.

Sejarah Awal Konflik Taiwan- Daratan China
Setelah Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, pemerintah Republik China (Kuomintang) mengambil alih Taiwan dan Penghu dari Jepang. Namun, hubungan lintas selat mengalami berbagai dinamika akibat situasi domestik dan internasional.

Dalam Perang Saudara China, pasukan Republik China yang dipimpin Partai Nasionalis China (Kuomintang) dikalahkan Tentara Pembebasan Rakyat yang dipimpin Partai Komunis China. Pada 1949, Republik Rakyat China didirikan dan secara bertahap menguasai seluruh daratan China, sementara Republik China mundur ke Taiwan, Penghu, Kinmen, dan Matsu.

Setelah itu, terjadi konfrontasi militer antara kedua pihak, termasuk beberapa konflik bersenjata. Pada 25 Oktober 1945, Republik China secara resmi mengambil alih Taiwan dan Penghu, yang diperingati sebagai Hari Pemulihan Taiwan, meskipun konsep ini masih menjadi perdebatan.

Pada 1947, terjadi Insiden 28 Februari, di mana konflik antara militer dan warga sipil di Taiwan memicu pengiriman pasukan tambahan dari daratan untuk menekan pemberontakan. Pada 1949, pemerintah Republik China, dipimpin oleh Chiang Kai-shek, memindahkan aset-aset negara, termasuk artefak budaya, arsip nasional, dan hampir 2 juta penduduk daratan ke Taiwan.
Peristiwa ini menciptakan perbedaan sosial antara penduduk lokal dan pendatang baru dari daratan ("penduduk luar provinsi").

Perubahan Dinamika Internasional
Pada 1971, Republik Rakyat China (Beijing) menggantikan Republik China (Taipei) sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kemudian, pada tahun 1979, Amerika Serikat menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China dan mencabut pengakuan diplomatik terhadap Republik China, menggantikannya dengan Taiwan Relations Act sebagai dasar hubungan bilateral.

Setelah periode ketegangan, hubungan lintas selat mulai mencair pada 1987, ketika Taiwan mengizinkan warganya mengunjungi kerabat di daratan. Hal ini diikuti oleh peningkatan hubungan ekonomi. Namun, kunjungan Presiden Lee Teng-hui ke Amerika Serikat pada tahun 1995 memicu ketegangan baru, termasuk Krisis Selat Taiwan pada tahun 1996.

Kebijakan “Satu China” dan Perbedaan Pendekatan
Selama dekade-dekade berikutnya, kebijakan lintas selat terus berubah sesuai dengan pemerintahan di kedua pihak. Pada 2008, ketika Kuomintang kembali berkuasa di Taiwan, hubungan lintas selat kembali mencair.

Puncaknya adalah pertemuan antara Presiden Ma Ying-jeou dari Taiwan dan Presiden Xi Jinping dari China pada tahun 2015 di Singapura. Pertemuan ini dianggap sebagai terobosan besar dalam sejarah hubungan lintas selat.

Namun, sejak Partai Progresif Demokratik (DPP) kembali berkuasa pada 2016 di bawah Presiden Tsai Ing-wen, hubungan lintas selat kembali tegang. Tsai menolak untuk menerima Konsensus 1992, yang menyatakan bahwa "hanya ada satu China" dengan interpretasi masing-masing pihak. Pemerintah China, di bawah Presiden Xi Jinping, terus memberikan tekanan politik dan ekonomi terhadap Taiwan, termasuk dengan melibatkan latihan militer besar-besaran di sekitar Selat Taiwan.

Tantangan Keamanan Regional
Pada 2022, kunjungan Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, ke Taiwan memicu reaksi keras dari China, termasuk latihan militer besar-besaran di sekitar wilayah Taiwan. Pemerintah China kemudian menerbitkan Buku Putih tentang masalah Taiwan, menekankan konsep "Satu Negara, Dua Sistem" sebagai solusi untuk penyatuan.

Pada 2023, China meluncurkan inisiatif baru untuk mendorong integrasi ekonomi antara Taiwan dan provinsi Fujian. Kebijakan ini mencakup penghapusan persyaratan pendaftaran sementara bagi warga Taiwan yang tinggal di Fujian, serta mendorong perusahaan di Fujian untuk mempekerjakan warga Taiwan. Namun, Taiwan tetap menolak kebijakan ini, dengan alasan ancaman terhadap kedaulatannya.

Presiden Lai Ching-te telah menjabat selama lebih dari 5 bulan sejak 20 Mei lalu. Selama periode ini, ia sering memberikan pernyataan tentang hubungan lintas selat, yang menunjukkan bahwa retorikanya semakin mendekati posisi Republik China. Baru-baru ini, muncul kabar bahwa pada rapat Dewan Pusat DPP tanggal 9 Oktober, Lai secara pribadi menekankan, "Menyatukan negara" adalah tanggung jawabnya sebagai presiden, dan "saat ini hanya 'Republik China' yang dapat menyatukan semua orang."

Pada perayaan Hari Nasional 10 Oktober 2024, Lai dalam pidatonya menekankan "harapan semua orang bersatu dan bekerja sama, sehingga negara menjadi lebih kuat, lebih makmur, dan lebih maju." Pada pidato Hari Nasional, ia mengambil tema "Menyatukan Taiwan untuk Meraih Impian" dan menyebutkan "teori leluhur" serta sejarah Republik China yang menggulingkan monarki 113 tahun yang lalu. Pernyataannya tersebut dianggap sebagai upaya untuk mengadopsi narasi "Republik China" dari Partai Nasionalis, yang ternyata diterima secara luas berdasarkan hasil survei.

Sebelumnya, Lai secara terbuka menyebut dirinya sebagai "praktisi Taiwan merdeka yang pragmatis." Namun, sejak menjabat sebagai presiden, pernyataannya tentang hubungan lintas selat mulai berubah, seperti "kedua negara tidak saling tunduk" hingga "di mana pun Republik China berada, semangat Huangpu juga ada," yang menunjukkan pendekatan yang lebih dekat dengan Republik China.

Sebenarnya Lai mengacu pada pernyataan presiden sebelumnya, termasuk Chiang Ching-kuo yang menyebut dirinya "orang China sekaligus orang Taiwan" dengan kebijakan "mengembangkan talenta Taiwan," Lee Teng-hui dengan pernyataan "Republik China ada di Taiwan," Chen Shui-bian dengan "Republik China adalah Taiwan," dan Tsai Ing-wen dengan "Republik China Taiwan." Semua ini, menurut Lai, adalah aset penting yang terakumulasi dalam perjalanan identitas nasional Taiwan selama beberapa dekade terakhir.

Sebenarnya narasi "Republik China" oleh Lai memiliki logika yang jelas. Pendekatan pragmatisnya adalah "menyatukan negara." Dalam pidato Hari Nasional, jumlah sebutannya terhadap "Republik China" bahkan lebih banyak dibandingkan Tsai Ing-wen.

Pendekatan ini berasal dari keyakinan mendalam Lai bahwa "Republik China" adalah landasan bagi persatuan nasional. Karena Lai berasal dari "kelompok hijau murni," tidak ada yang akan meragukan loyalitasnya terhadap Taiwan, sehingga ia mampu dengan jelas mendefinisikan narasi "Republik China" tanpa perlu menggunakan pendekatan yang ambigu seperti Tsai Ing-wen.

Sebenarnya pernyataan Chen Chung yang mewakili Taipei Economic and Trade Office di Indonesia tidak sepenuhnya benar. Penulis mengatakan tidak sepenuhnya benar adalah, memang benar untuk saat ini Beijing belum mempunyai otoritas terhadap Taipei dan wilayah yang dikuasai Taipei, akan tetapi, walau bagaimanapun dalam Konstitusi Republik China (Taiwan), daratan China dan Hongkong-Macau masih merupakan wilayah yang sah dari Republik China.

Oleh karena itu, baik Beijing maupun Taipei sebenarnya tidak perlu alergi dan malu untuk mengakui bahwa perang saudara antara Komunis China dan otoritas Taipei belum selesai, dan hanya berhenti untuk sementara. Tentunya kita berharap kedua belah pihak bisa mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Baik Taiwan maupun daratan China adalah wilayah yang tak terpisahkan dari China, masalahnya Republik Rakyat China atau Republik China?

Kesimpulan
Konflik lintas selat antara Taiwan dan daratan China adalah isu yang kompleks dan telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade. Dengan meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan dan kawasan Indo-Pasifik, penting bagi negara-negara di kawasan ini, termasuk Indonesia, untuk tetap waspada terhadap perkembangan situasi ini. Stabilitas dan perdamaian regional harus menjadi prioritas utama bagi semua pihak.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0986 seconds (0.1#10.140)