Populisme Ekonomi dan Realitas Moneter
Jum'at, 20 Desember 2024 - 19:47 WIB
Di Indonesia, independensi BI diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, yang kemudian diperkuat dengan UU No. 6 Tahun 2009. Tugas utama BI adalah menjaga stabilitas rupiah melalui pengendalian inflasi dan stabilitas nilai tukar. Dengan independensi ini, BI memiliki kewenangan untuk menetapkan suku bunga acuan (BI Rate) dan kebijakan moneter lainnya tanpa intervensi langsung pemerintah. Namun, independensi ini bukan tanpa tantangan. tekanan politik bisa muncul kapan saja, terutama ketika ekonomi sedang tertekan. Apalagi, dalam konteks demokrasi, pemerintah sering kali dihadapkan pada dilema antara kebijakan populer dan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar di bidang ekonomi. Dari pelemahan nilai tukar rupiah, inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi global, hingga peningkatan utang pemerintah. Dalam situasi seperti ini, kebijakan BI sering kali menjadi sorotan. Misalkan, ketika ekonomi melambat, muncul dorongan agar BI menurunkan suku bunga demi mendorong kredit dan investasi. Namun, kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Jika suku bunga terlalu rendah, hal ini bisa mendorong inflasi tinggi dan melemahkan nilai tukar rupiah, yang pada akhirnya justru merugikan ekonomi. Sebagai contoh, di tengah pandemi COVID-19, BI menurunkan suku bunga ke level rendah untuk mendorong pemulihan ekonomi. Langkah ini memang membantu, tetapi juga menimbulkan risiko peningkatan utang dan bubble di sektor properti serta keuangan.
Selanjutnya, saat pandemi, BI menerapkan kebijakan burden sharing untuk membantu pemerintah membiayai defisit fiskal. Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, burden sharing membantu menyelamatkan ekonomi dari resesi. Namun di sisi lain, banyak ekonom khawatir bahwa kebijakan ini membuka celah bagi pemerintah untuk lebih jauh mengintervensi BI di masa depan. Fenomena ini mengingatkan kita pada peringatan keras dari Goodhart dan Lastra (2018) bahwa independensi bank sentral bisa tergerus jika ada tekanan politik untuk mendanai kebijakan populis.
Realitas Moneter Bank Indonesia
Populisme ekonomi sering kali bertentangan dengan realitas moneter yang dihadapi bank sentral. Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi BI dalam menjaga stabilitas ekonomi, yaitu ancaman inflasi. Ketika harga-harga melonjak, daya beli masyarakat menurun dan perekonomian bisa terpuruk. BI harus memastikan bahwa inflasi tetap terkendali, meskipun ada tekanan dari pemerintah atau publik untuk mendorong kebijakan yang lebih akomodatif. Kenaikan harga komoditas global, seperti minyak dan pangan, sering kali memicu inflasi di Indonesia.
Di sisi lain, kebijakan populis seperti subsidi energi atau pencetakan uang justru bisa menghadirkan situasi yang lebih buruk. Dalam kondisi ini, BI harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer, seperti menaikkan suku bunga, demi menjaga stabilitas inflasi. Juga masalah stabilitas nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap guncangan eksternal, seperti kebijakan suku bunga di Amerika Serikat atau ketidakpastian global. Ketika tekanan terhadap rupiah meningkat, BI sering kali dihadapkan pada dilema: mempertahankan stabilitas nilai tukar dengan menaikkan suku bunga, atau membiarkan nilai tukar melemah demi mendorong ekspor. Dalam situasi seperti ini, campur tangan politik bisa menjadi penghambat. Tekanan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi jangka pendek sering kali bertolak belakang dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Mitigasi masalah yang juga pelik bagi BI adalah risiko sistem keuangan. Perkembangan teknologi finansial (fintech) dan maraknya kredit online membawa tantangan baru bagi BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Di satu sisi, digitalisasi keuangan membantu meningkatkan inklusi keuangan. Namun, di sisi lain, muncul risiko baru berupa kredit macet dan shadow banking yang sulit diawasi.
Untuk menghadapi populisme ekonomi dan tantangan realitas moneter, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia.
(1) Memperkuat Komunikasi Kebijakan
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar di bidang ekonomi. Dari pelemahan nilai tukar rupiah, inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi global, hingga peningkatan utang pemerintah. Dalam situasi seperti ini, kebijakan BI sering kali menjadi sorotan. Misalkan, ketika ekonomi melambat, muncul dorongan agar BI menurunkan suku bunga demi mendorong kredit dan investasi. Namun, kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Jika suku bunga terlalu rendah, hal ini bisa mendorong inflasi tinggi dan melemahkan nilai tukar rupiah, yang pada akhirnya justru merugikan ekonomi. Sebagai contoh, di tengah pandemi COVID-19, BI menurunkan suku bunga ke level rendah untuk mendorong pemulihan ekonomi. Langkah ini memang membantu, tetapi juga menimbulkan risiko peningkatan utang dan bubble di sektor properti serta keuangan.
Selanjutnya, saat pandemi, BI menerapkan kebijakan burden sharing untuk membantu pemerintah membiayai defisit fiskal. Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, burden sharing membantu menyelamatkan ekonomi dari resesi. Namun di sisi lain, banyak ekonom khawatir bahwa kebijakan ini membuka celah bagi pemerintah untuk lebih jauh mengintervensi BI di masa depan. Fenomena ini mengingatkan kita pada peringatan keras dari Goodhart dan Lastra (2018) bahwa independensi bank sentral bisa tergerus jika ada tekanan politik untuk mendanai kebijakan populis.
Realitas Moneter Bank Indonesia
Populisme ekonomi sering kali bertentangan dengan realitas moneter yang dihadapi bank sentral. Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi BI dalam menjaga stabilitas ekonomi, yaitu ancaman inflasi. Ketika harga-harga melonjak, daya beli masyarakat menurun dan perekonomian bisa terpuruk. BI harus memastikan bahwa inflasi tetap terkendali, meskipun ada tekanan dari pemerintah atau publik untuk mendorong kebijakan yang lebih akomodatif. Kenaikan harga komoditas global, seperti minyak dan pangan, sering kali memicu inflasi di Indonesia.
Di sisi lain, kebijakan populis seperti subsidi energi atau pencetakan uang justru bisa menghadirkan situasi yang lebih buruk. Dalam kondisi ini, BI harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer, seperti menaikkan suku bunga, demi menjaga stabilitas inflasi. Juga masalah stabilitas nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap guncangan eksternal, seperti kebijakan suku bunga di Amerika Serikat atau ketidakpastian global. Ketika tekanan terhadap rupiah meningkat, BI sering kali dihadapkan pada dilema: mempertahankan stabilitas nilai tukar dengan menaikkan suku bunga, atau membiarkan nilai tukar melemah demi mendorong ekspor. Dalam situasi seperti ini, campur tangan politik bisa menjadi penghambat. Tekanan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi jangka pendek sering kali bertolak belakang dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Mitigasi masalah yang juga pelik bagi BI adalah risiko sistem keuangan. Perkembangan teknologi finansial (fintech) dan maraknya kredit online membawa tantangan baru bagi BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Di satu sisi, digitalisasi keuangan membantu meningkatkan inklusi keuangan. Namun, di sisi lain, muncul risiko baru berupa kredit macet dan shadow banking yang sulit diawasi.
Untuk menghadapi populisme ekonomi dan tantangan realitas moneter, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia.
(1) Memperkuat Komunikasi Kebijakan
Lihat Juga :
tulis komentar anda