Populisme Ekonomi dan Realitas Moneter

Jum'at, 20 Desember 2024 - 19:47 WIB
loading...
Populisme Ekonomi dan...
Adhitya Wardhono, PhD. Foto/Istimewa
A A A
Adhitya Wardhono, PhD
Dosen dan peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (KeRis Benefitly)- Universitas Jember.

SERING kali terjadi, ketika rilis kebijakan bank sentral dianggap tidak memiliki efek kuat pada perekonomian, di situlah menyeruak kegalauan bahwa ada ketidaktepatan dan dilematis atas pilihan opsi kebijakan ekonomi yang terjadi. Terlebih ketika independensi bank sentral menjadi kunci penting dalam menjaga stabilitas ekonomi global.

Munculnya fenomena populisme ekonomi membawa tantangan serius terhadap independensi bank sentral seperti Bank Indonesia (BI). BI memiliki peran tidak hanya menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah tapi juga dan sistem keuangan. Ketika kebijakan moneter dipertentangkan dengan kebijakan populis yang menekankan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, bank sentral sering kali berada di persimpangan jalan, mengikuti logika ekonomi atau tunduk pada tekanan politik?

Galibnya populisme ekonomi diartikan sebagai kebijakan yang mengutamakan kepentingan jangka pendek demi popularitas politik. Dan sering kali mengabaikan realitas moneter yang memerlukan stabilitas dan kehati-hatian. Pertanyaannya, bagaimana BI bisa menjaga independensinya di tengah tuntutan kebijakan populis yang sering bertolak belakang dengan realitas ekonomi?

Populisme ekonomi adalah kebijakan yang terlihat “pro-rakyat”, tetapi sering kali hanya menyasar hasil jangka pendek. Biasanya, kebijakan ini diimplementasikan menjelang pemilu atau saat ekonomi melambat. Contohnya ialah pencetakan uang dalam jumlah besar untuk membiayai defisit fiskal, pemotongan suku bunga secara agresif, atau subsidi yang tidak berkelanjutan.

Di Indonesia, populisme ekonomi bukan hal baru. Dalam berbagai momen politik, tekanan terhadap BI sering muncul, baik secara eksplisit maupun implisit. Semisal, saat terjadi krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19. Muncul dorongan agar BI mencetak uang atau memberikan dukungan fiskal besar-besaran. Meski terlihat menarik, kebijakan seperti ini bisa merusak fondasi ekonomi jangka panjang, terutama stabilitas inflasi. Ritme seperti ini terjadi di berbagai negara, tatkala tekanan politik menyebabkan bank sentral harus "berkompromi" dengan kebijakan populis demi memenuhi ekspektasi masyarakat atau pemerintah.

Seberapa Penting Independensi Bank Sentral?

Independensi bank sentral tidak datang begitu saja. Sejak era inflasi tinggi di tahun 1980-an, banyak negara menyadari bahwa kebijakan moneter yang dikendalikan oleh pemerintah bisa berujung pada ketidakstabilan. Bank sentral diberi independensi untuk menjaga stabilitas harga dan menghindari campur tangan politik jangka pendek.

Di Indonesia, independensi BI diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, yang kemudian diperkuat dengan UU No. 6 Tahun 2009. Tugas utama BI adalah menjaga stabilitas rupiah melalui pengendalian inflasi dan stabilitas nilai tukar. Dengan independensi ini, BI memiliki kewenangan untuk menetapkan suku bunga acuan (BI Rate) dan kebijakan moneter lainnya tanpa intervensi langsung pemerintah. Namun, independensi ini bukan tanpa tantangan. tekanan politik bisa muncul kapan saja, terutama ketika ekonomi sedang tertekan. Apalagi, dalam konteks demokrasi, pemerintah sering kali dihadapkan pada dilema antara kebijakan populer dan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan besar di bidang ekonomi. Dari pelemahan nilai tukar rupiah, inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi global, hingga peningkatan utang pemerintah. Dalam situasi seperti ini, kebijakan BI sering kali menjadi sorotan. Misalkan, ketika ekonomi melambat, muncul dorongan agar BI menurunkan suku bunga demi mendorong kredit dan investasi. Namun, kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Jika suku bunga terlalu rendah, hal ini bisa mendorong inflasi tinggi dan melemahkan nilai tukar rupiah, yang pada akhirnya justru merugikan ekonomi. Sebagai contoh, di tengah pandemi COVID-19, BI menurunkan suku bunga ke level rendah untuk mendorong pemulihan ekonomi. Langkah ini memang membantu, tetapi juga menimbulkan risiko peningkatan utang dan bubble di sektor properti serta keuangan.

Selanjutnya, saat pandemi, BI menerapkan kebijakan burden sharing untuk membantu pemerintah membiayai defisit fiskal. Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, burden sharing membantu menyelamatkan ekonomi dari resesi. Namun di sisi lain, banyak ekonom khawatir bahwa kebijakan ini membuka celah bagi pemerintah untuk lebih jauh mengintervensi BI di masa depan. Fenomena ini mengingatkan kita pada peringatan keras dari Goodhart dan Lastra (2018) bahwa independensi bank sentral bisa tergerus jika ada tekanan politik untuk mendanai kebijakan populis.

Realitas Moneter Bank Indonesia

Populisme ekonomi sering kali bertentangan dengan realitas moneter yang dihadapi bank sentral. Ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi BI dalam menjaga stabilitas ekonomi, yaitu ancaman inflasi. Ketika harga-harga melonjak, daya beli masyarakat menurun dan perekonomian bisa terpuruk. BI harus memastikan bahwa inflasi tetap terkendali, meskipun ada tekanan dari pemerintah atau publik untuk mendorong kebijakan yang lebih akomodatif. Kenaikan harga komoditas global, seperti minyak dan pangan, sering kali memicu inflasi di Indonesia.



Di sisi lain, kebijakan populis seperti subsidi energi atau pencetakan uang justru bisa menghadirkan situasi yang lebih buruk. Dalam kondisi ini, BI harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer, seperti menaikkan suku bunga, demi menjaga stabilitas inflasi. Juga masalah stabilitas nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap guncangan eksternal, seperti kebijakan suku bunga di Amerika Serikat atau ketidakpastian global. Ketika tekanan terhadap rupiah meningkat, BI sering kali dihadapkan pada dilema: mempertahankan stabilitas nilai tukar dengan menaikkan suku bunga, atau membiarkan nilai tukar melemah demi mendorong ekspor. Dalam situasi seperti ini, campur tangan politik bisa menjadi penghambat. Tekanan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi jangka pendek sering kali bertolak belakang dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Mitigasi masalah yang juga pelik bagi BI adalah risiko sistem keuangan. Perkembangan teknologi finansial (fintech) dan maraknya kredit online membawa tantangan baru bagi BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Di satu sisi, digitalisasi keuangan membantu meningkatkan inklusi keuangan. Namun, di sisi lain, muncul risiko baru berupa kredit macet dan shadow banking yang sulit diawasi.

Untuk menghadapi populisme ekonomi dan tantangan realitas moneter, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia.

(1) Memperkuat Komunikasi Kebijakan
BI perlu meningkatkan transparansi dan komunikasi kebijakannya kepada publik. Ketika kebijakan moneter dijelaskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, dukungan publik terhadap BI akan meningkat. Misalnya, ketika BI menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, masyarakat perlu memahami bahwa langkah ini diambil demi stabilitas jangka panjang, bukan semata-mata untuk “menghambat pertumbuhan ekonomi”.

(2) Menjaga Sinergi dengan Pemerintah Tanpa Mengorbankan Independensi
Kerja sama antara BI dan pemerintah tetap penting, terutama dalam menghadapi situasi krisis. Namun, sinergi ini harus didasarkan pada prinsip independensi. BI harus tetap berpegang pada mandat utamanya, yaitu menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.

(3) Reformasi Regulasi untuk Menghadapi Tantangan Baru BI perlu memperkuat kerangka regulasi untuk menghadapi risiko baru, seperti digitalisasi keuangan dan shadow banking. Dengan demikian, BI dapat memastikan bahwa sistem keuangan tetap stabil di tengah perkembangan teknologi yang pesat.

Makna atas populisme ekonomi adalah fenomena yang sulit dihindari. Bisa jadi ia adalah keniscyaan dalam sistem demokrasi. Tekanan politik untuk mengeluarkan kebijakan “ramah rakyat” sering kali bertentangan dengan prinsip kebijakan moneter yang berkelanjutan. Independensi bank sentral adalah kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.

Di Indonesia, BI memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas inflasi, nilai tukar, dan sistem keuangan. Meskipun tekanan politik kerap muncul, BI harus tetap teguh pada prinsip independensi dan profesionalisme. Dengan komunikasi yang transparan, sinergi yang sehat dengan pemerintah, dan reformasi regulasi yang kuat, BI bisa menghadapi populisme ekonomi tanpa mengorbankan stabilitas moneter. Sebagai garda terakhir stabilitas ekonomi, independensi BI bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Menjaga BI dari tekanan populisme ekonomi adalah tugas bersama, demi masa depan ekonomi Indonesia yang lebih stabil dan berkelanjutan.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1596 seconds (0.1#10.140)