100 Bukanlah Sekadar Angka-Angka
Selasa, 01 September 2020 - 06:33 WIB
HARI ini genap sudah enam bulan virus korona (Covid-19) merasuk Indonesia. Namun yang membuat kita semua miris, selama masa enam bulan ini, virus mematikan yang hingga kini belum ditemukan penangkalnya itu telah merenggut 7.417 orang. Lebih memprihatinkan lagi, dari deretan ribuan saudara kita yang meninggal tersebut, 100 di antaranya adalah dokter. Para dokter inilah sebenarnya yang menjadi tumpuan utama dan garda terdepan penanganan Covid. Namun nyatanya, banyak dari mereka justru turut menjadi korban.
Kita semua sedih, tersentak dengan fakta dan data yang dirilis oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kemarin. Angka 100 korban dokter seolah membuat kita gelagapan dan terkaget-kaget. Selama ini, publik mungkin hanya mendapat informasi dari media bahwa hari ini ada dokter meninggal, atau minggu lalu juga sudah yang bernasib serupa. Praktis, ketika ada ada kabar bahwa kematian dokter yang sudah mencapai 100 orang, jelas membuka kesadaran baru bahwa meski pandemi sudah enam bulan datang, namun kita semua belum aman.
Jangan sekali-kali meremehkan soal data 100 orang ini. Di luar itu, sejatinya ada puluhan tenaga medis lain seperti perawat dan bidan yang turut menjadi korban. Angka 100 ini pun belum final. Semua tidak tahu sampai kapan deretan angka itu akan benar-benar berhenti. Jika vaksin benar akan digunakan pada awal 2021 mendatang pun sebagaimana target Presiden Joko Widodo, artinya masih ada sekitar enam bulan lagi situasi tak pasti ini akan kita jalani.
Di tengah keprihatinan itu, jelas sekali bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Masalah makin pelik manakala upaya penanganan Covid juga belum menemukan formula yang ces pleng. Kebijakan pelonggaran aktivitas warga nyatanya malah banyak berbuah petaka. Protokol dan pengawasan ketat sebagaimana yang dirumuskan dalam regulasi tak banyak berfaedah di lapangan. Yang terakhir, melonjaknya kasus positif Covid pada awal pekan ini hingga tercatat sebagai kasus harian tertinggi selama enam bulan terakhir patut jadi pelajaran. Lonjakan itu diketahui banyak dipicu dari warga yang baru-baru ini berlibur di sejumlah destinasi wisata yang mulai beroperasi.
Dari fakta ini lagi-lagi kita ditunjukkan bahwa kesadaran warga untuk taat atas protokol kesehatan Covid juga rendah. Rendahnya kedisiplinan inilah yang, menurut data Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) di antara menjadi penyebab banyak dokter dan tenaga kesehatan turut terpapar Covid. Sebab dari 100 dokter yang meninggal misalnya, diketahui tidak seluruhnya mereka sebelumnya bekerja menangani pasien Covid. Ada sebagian yang justru terjangkit virus tersebut di luar RS atau di tempat umum.
Terang sekali, lubang-lubang kelemahan itu menunjukkan bahwa sebagai garda terdepan, dokter dan tenaga medis nyatanya belum mendapat perlindungan kesehatan yang memadai. Kondisi ini harus cepat diatasi. Sebab ketika kasus positif kian meninggi dan dokter makin banyak yang jadi korban, maka hakikatnya bencana baru tercipta di depan mata dan mengancam bangsa ini.
100 kematian dokter sebagaimana yang diungkap IDI patut menjadi warning dan momentum membangkitan kesadaran semua pihak. IDI atau organisasi profesi kesehatan lainnya perlu segera menjalin kolaborasi aktif dan positif dengan pemerintah, termasuk jika menyangkut soal anggaran. Sudah tidak saatnya lagi, ada egosektoral atau ketegangan yang tidak produktif. Tanpa ada pola sinergi baru, penanganan Covid ke depan akan terus mengawang-awang.
Kita semua sedih, tersentak dengan fakta dan data yang dirilis oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kemarin. Angka 100 korban dokter seolah membuat kita gelagapan dan terkaget-kaget. Selama ini, publik mungkin hanya mendapat informasi dari media bahwa hari ini ada dokter meninggal, atau minggu lalu juga sudah yang bernasib serupa. Praktis, ketika ada ada kabar bahwa kematian dokter yang sudah mencapai 100 orang, jelas membuka kesadaran baru bahwa meski pandemi sudah enam bulan datang, namun kita semua belum aman.
Jangan sekali-kali meremehkan soal data 100 orang ini. Di luar itu, sejatinya ada puluhan tenaga medis lain seperti perawat dan bidan yang turut menjadi korban. Angka 100 ini pun belum final. Semua tidak tahu sampai kapan deretan angka itu akan benar-benar berhenti. Jika vaksin benar akan digunakan pada awal 2021 mendatang pun sebagaimana target Presiden Joko Widodo, artinya masih ada sekitar enam bulan lagi situasi tak pasti ini akan kita jalani.
Di tengah keprihatinan itu, jelas sekali bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Masalah makin pelik manakala upaya penanganan Covid juga belum menemukan formula yang ces pleng. Kebijakan pelonggaran aktivitas warga nyatanya malah banyak berbuah petaka. Protokol dan pengawasan ketat sebagaimana yang dirumuskan dalam regulasi tak banyak berfaedah di lapangan. Yang terakhir, melonjaknya kasus positif Covid pada awal pekan ini hingga tercatat sebagai kasus harian tertinggi selama enam bulan terakhir patut jadi pelajaran. Lonjakan itu diketahui banyak dipicu dari warga yang baru-baru ini berlibur di sejumlah destinasi wisata yang mulai beroperasi.
Dari fakta ini lagi-lagi kita ditunjukkan bahwa kesadaran warga untuk taat atas protokol kesehatan Covid juga rendah. Rendahnya kedisiplinan inilah yang, menurut data Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) di antara menjadi penyebab banyak dokter dan tenaga kesehatan turut terpapar Covid. Sebab dari 100 dokter yang meninggal misalnya, diketahui tidak seluruhnya mereka sebelumnya bekerja menangani pasien Covid. Ada sebagian yang justru terjangkit virus tersebut di luar RS atau di tempat umum.
Terang sekali, lubang-lubang kelemahan itu menunjukkan bahwa sebagai garda terdepan, dokter dan tenaga medis nyatanya belum mendapat perlindungan kesehatan yang memadai. Kondisi ini harus cepat diatasi. Sebab ketika kasus positif kian meninggi dan dokter makin banyak yang jadi korban, maka hakikatnya bencana baru tercipta di depan mata dan mengancam bangsa ini.
100 kematian dokter sebagaimana yang diungkap IDI patut menjadi warning dan momentum membangkitan kesadaran semua pihak. IDI atau organisasi profesi kesehatan lainnya perlu segera menjalin kolaborasi aktif dan positif dengan pemerintah, termasuk jika menyangkut soal anggaran. Sudah tidak saatnya lagi, ada egosektoral atau ketegangan yang tidak produktif. Tanpa ada pola sinergi baru, penanganan Covid ke depan akan terus mengawang-awang.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda