Menjaga Kedaulatan Indonesia di Tengah Dinamika Diplomasi Laut China Selatan
Rabu, 13 November 2024 - 12:19 WIB
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
LAUT China Selatan (LCS) telah lama menjadi salah satu kawasan maritim paling strategis dan kontroversial di dunia. Kaya akan sumber daya alam dan berfungsi sebagai jalur perdagangan internasional, kawasan ini menjadi arena persaingan geopolitik yang semakin memanas. Di tengah ketegangan ini, kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China pada 8 November 2024 menandai babak baru dalam hubungan Indonesia-China, terutama dalam konteks klaim LCS.
Kunjungan tersebut menghasilkan pernyataan bersama antara Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping , yang menekankan penguatan kerja sama bilateral, termasuk di bidang maritim dan pertahanan. Namun, isi pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana kerja sama ini akan memengaruhi kepentingan nasional Indonesia, khususnya dalam konteks kedaulatan maritim? Dengan menggunakan perspektif realisme, penulis akan menganalisis implikasi kunjungan tersebut terhadap kebijakan luar negeri dan strategi diplomasi Indonesia di LCS.
Dari perspektif realisme, kebijakan luar negeri Indonesia seharusnya berorientasi pada perlindungan kedaulatan dan penguatan posisi strategis di LCS. Namun, dalam praktiknya, respons Indonesia terhadap klaim China sering kali bersifat ambigu. Sebagai negara non-pengklaim, Indonesia berupaya mempertahankan netralitas dan memainkan peran penengah. Namun, insiden pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia oleh kapal-kapal China menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi yang lunak memiliki keterbatasan.
Pernyataan bersama antara Presiden Prabowo dan Xi Jinping menyoroti kerja sama di bidang maritim, namun tidak secara eksplisit menolak klaim sembilan garis putus China. Dari perspektif realisme, ini dapat dilihat sebagai kelemahan diplomasi Indonesia yang tidak menegaskan kepentingan nasionalnya. Dalam hukum internasional, prinsip estoppel dapat mengikat suatu negara pada posisi tertentu jika pernyataan atau tindakan mereka dianggap mendukung klaim pihak lain.
Di satu sisi, Indonesia sering mengandalkan mekanisme multilateral melalui ASEAN untuk menangani konflik di LCS. Namun, realisme mengkritik ketergantungan ini karena ASEAN kerap kali terhambat oleh prinsip konsensus, yang memungkinkan negara-negara pro-China seperti Kamboja dan Laos memveto kebijakan yang lebih tegas terhadap China. Dalam hal ini, pendekatan multilateral tanpa dukungan kekuatan domestik (hard power) terbukti kurang efektif.
LAUT China Selatan (LCS) telah lama menjadi salah satu kawasan maritim paling strategis dan kontroversial di dunia. Kaya akan sumber daya alam dan berfungsi sebagai jalur perdagangan internasional, kawasan ini menjadi arena persaingan geopolitik yang semakin memanas. Di tengah ketegangan ini, kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China pada 8 November 2024 menandai babak baru dalam hubungan Indonesia-China, terutama dalam konteks klaim LCS.
Kunjungan tersebut menghasilkan pernyataan bersama antara Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping , yang menekankan penguatan kerja sama bilateral, termasuk di bidang maritim dan pertahanan. Namun, isi pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana kerja sama ini akan memengaruhi kepentingan nasional Indonesia, khususnya dalam konteks kedaulatan maritim? Dengan menggunakan perspektif realisme, penulis akan menganalisis implikasi kunjungan tersebut terhadap kebijakan luar negeri dan strategi diplomasi Indonesia di LCS.
Realisme dan Politik Luar Negeri Indonesia
Realisme, sebagai kerangka teoretis dominan dalam studi Hubungan Internasional, memandang dunia sebagai arena persaingan kekuatan (power politics). Teori ini berasumsi bahwa negara adalah aktor utama yang bertindak berdasarkan kepentingan nasional untuk mempertahankan eksistensinya dalam sistem internasional yang anarkis. Hans Morgenthau, salah satu pelopor realisme, menegaskan bahwa kepentingan nasional selalu diukur dalam hal kekuatan. Dalam konteks LCS, klaim sembilan garis putus (nine-dash line) China mencerminkan upaya hegemonik untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan di kawasan.Baca Juga
Dari perspektif realisme, kebijakan luar negeri Indonesia seharusnya berorientasi pada perlindungan kedaulatan dan penguatan posisi strategis di LCS. Namun, dalam praktiknya, respons Indonesia terhadap klaim China sering kali bersifat ambigu. Sebagai negara non-pengklaim, Indonesia berupaya mempertahankan netralitas dan memainkan peran penengah. Namun, insiden pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia oleh kapal-kapal China menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi yang lunak memiliki keterbatasan.
Kritik terhadap Pendekatan Diplomasi Indonesia
Pernyataan bersama antara Presiden Prabowo dan Xi Jinping menyoroti kerja sama di bidang maritim, namun tidak secara eksplisit menolak klaim sembilan garis putus China. Dari perspektif realisme, ini dapat dilihat sebagai kelemahan diplomasi Indonesia yang tidak menegaskan kepentingan nasionalnya. Dalam hukum internasional, prinsip estoppel dapat mengikat suatu negara pada posisi tertentu jika pernyataan atau tindakan mereka dianggap mendukung klaim pihak lain.
Di satu sisi, Indonesia sering mengandalkan mekanisme multilateral melalui ASEAN untuk menangani konflik di LCS. Namun, realisme mengkritik ketergantungan ini karena ASEAN kerap kali terhambat oleh prinsip konsensus, yang memungkinkan negara-negara pro-China seperti Kamboja dan Laos memveto kebijakan yang lebih tegas terhadap China. Dalam hal ini, pendekatan multilateral tanpa dukungan kekuatan domestik (hard power) terbukti kurang efektif.
Lihat Juga :
tulis komentar anda