Menjaga Kedaulatan Indonesia di Tengah Dinamika Diplomasi Laut China Selatan
Rabu, 13 November 2024 - 12:19 WIB
Kemudian, meskipun Indonesia telah meningkatkan latihan militer seperti Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK), fokus latihan lebih pada operasi non-militer, seperti penanganan bencana. Pendekatan ini tidak memadai untuk menghadapi ancaman tradisional di LCS, seperti kehadiran militer China Realisme menekankan pentingnya penguatan kekuatan militer sebagai alat utama untuk melindungi kepentingan nasional.
Dalam teori realisme, diplomasi jalur kedua (Second Track Diplomacy) bisa menjadi pelengkap yang efektif untuk jalur pertama. Namun, Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi forum seperti Western Pacific Naval Symposium (WPNS) untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan interoperabilitas di kawasan.
Isi pernyataan yang menegaskan kerja sama maritim dapat dilihat sebagai upaya China untuk memperkuat posisinya di LCS tanpa menghadapi penolakan eksplisit dari Indonesia. Realisme mengajarkan bahwa kerja sama semacam ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat merugikan kepentingan strategis Indonesia. Ada tiga poin utama yang harus diperhatikan:
1. Risiko Pengakuan Implisit terhadap Klaim China
Jika kerja sama ini dilihat sebagai pengakuan terhadap klaim China, Indonesia berisiko kehilangan legitimasi dalam mempertahankan ZEE-nya di Natuna. Prinsip estoppel dapat digunakan untuk menekan Indonesia agar menerima klaim Tiongkok di forum internasional.
2. Peningkatan Ketergantungan Ekonomi
Salah satu aspek kerja sama yang ditekankan dalam komunike adalah peningkatan investasi China di sektor maritim. Dari perspektif realisme, peningkatan ketergantungan ekonomi ini dapat dimanfaatkan China untuk memengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia, mengurangi daya tawar Indonesia dalam isu LCS.
3. Pengaruh terhadap Solidaritas ASEAN
Kerja sama bilateral Indonesia-China berpotensi melemahkan solidaritas ASEAN dalam menghadapi klaim China. Jika Indonesia dianggap terlalu dekat dengan China, negara-negara pengklaim lain seperti Vietnam dan Filipina mungkin kehilangan kepercayaan terhadap Indonesia sebagai mediator netral.
Dalam teori realisme, diplomasi jalur kedua (Second Track Diplomacy) bisa menjadi pelengkap yang efektif untuk jalur pertama. Namun, Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi forum seperti Western Pacific Naval Symposium (WPNS) untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan interoperabilitas di kawasan.
Implikasi Pernyataan Bersama antara Presiden Prabowo-Xi Jinping dalam Perspektif Realisme
Isi pernyataan yang menegaskan kerja sama maritim dapat dilihat sebagai upaya China untuk memperkuat posisinya di LCS tanpa menghadapi penolakan eksplisit dari Indonesia. Realisme mengajarkan bahwa kerja sama semacam ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat merugikan kepentingan strategis Indonesia. Ada tiga poin utama yang harus diperhatikan:
1. Risiko Pengakuan Implisit terhadap Klaim China
Jika kerja sama ini dilihat sebagai pengakuan terhadap klaim China, Indonesia berisiko kehilangan legitimasi dalam mempertahankan ZEE-nya di Natuna. Prinsip estoppel dapat digunakan untuk menekan Indonesia agar menerima klaim Tiongkok di forum internasional.
2. Peningkatan Ketergantungan Ekonomi
Salah satu aspek kerja sama yang ditekankan dalam komunike adalah peningkatan investasi China di sektor maritim. Dari perspektif realisme, peningkatan ketergantungan ekonomi ini dapat dimanfaatkan China untuk memengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia, mengurangi daya tawar Indonesia dalam isu LCS.
3. Pengaruh terhadap Solidaritas ASEAN
Kerja sama bilateral Indonesia-China berpotensi melemahkan solidaritas ASEAN dalam menghadapi klaim China. Jika Indonesia dianggap terlalu dekat dengan China, negara-negara pengklaim lain seperti Vietnam dan Filipina mungkin kehilangan kepercayaan terhadap Indonesia sebagai mediator netral.
tulis komentar anda