M Natsir, Bapak Aktivis Dakwah Indonesia yang Menolak Sistem Politik Turki Utsmani
Sabtu, 29 Agustus 2020 - 21:18 WIB
Menurut Natsir, caesaro-papisme atau suatu cara pemerintahan di mana kaisar menjadi kepala negara sekaligus pemimpin agama bukan ajaran Islam.
"Di Islam tidak kenal pada 'kepala agama' seperti Paus. Islam hanya mengenal satu kepala agama yaitu Rasulullah SAW, dan beliau sudah wafat yang tak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya," tulis dia.
Natsir menghindari konflik "keduniaan dan keagamaan". Menurutnya, Islam yang diberikan Nabi Muhammad perlu dijalankan oleh pemimpin dunia dengan konteks zamannya, baik raja, sultan, maupun presiden. Dia memberi contoh sahabat-sahabat nabi.
"Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib mereka hanyalah kepala keduniaan yang pemerintahannya menurut aturan-aturan Islam," tulis Natsir dalam "Dualisme dalam Caesaro-Papisme".
Karena itu, secara tegas Natsir menolak teokrasi dalam Islam. "Jika teokrasi ditafsirkan dalam arti politiknya dengan mana suatu negara harus dikepalai seorang wakil Tuhan di bumi, maka saya sebagai seorang Islam menentang itu. Intisari Islam ialah anti teokrasi," tulis Natsir dalam “Dapatkah Dipisahkan Politik dari Agama”.
Pancasila sebagai Konsensus
Menurut Azyumardi Azra, Natsir dan banyak ulama tradisional mengusulkan “negara Islam” modern melalui proses demokrasi. Pandangan itu serupa dengan Agus Salim yang memandang khilafah tidak relevan dengan Indonesia.
Diskursus hubungan Islam dan negara sebagai konsep politik di Indonesia telah usai dan selalu dikembangkan setelah para pemikir dan aktivis kemerdekaan merumuskan Pancasila.
Muhammadiyah menyebut Pancasila sebagai Darul Ahdi wa as-Syahadah (negara perjanjian dan kesaksian). Ulama NU pada 1954 memfatwakan Presiden Indonesia sebagai Waliyul Amri Dharuri Bisy Syaukah. Belakangan ulama NU menyebut Indonesia sebagai Darul Mitsaq (negara konsensus) di tengah masyarakat majemuk.
Dengan sistem politik Indonesia modern, pada 1945, Natsir menjadi salah satu ketua partai Masyumi dan Perdana Menteri (1950-1951).
"Di Islam tidak kenal pada 'kepala agama' seperti Paus. Islam hanya mengenal satu kepala agama yaitu Rasulullah SAW, dan beliau sudah wafat yang tak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya," tulis dia.
Natsir menghindari konflik "keduniaan dan keagamaan". Menurutnya, Islam yang diberikan Nabi Muhammad perlu dijalankan oleh pemimpin dunia dengan konteks zamannya, baik raja, sultan, maupun presiden. Dia memberi contoh sahabat-sahabat nabi.
"Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib mereka hanyalah kepala keduniaan yang pemerintahannya menurut aturan-aturan Islam," tulis Natsir dalam "Dualisme dalam Caesaro-Papisme".
Karena itu, secara tegas Natsir menolak teokrasi dalam Islam. "Jika teokrasi ditafsirkan dalam arti politiknya dengan mana suatu negara harus dikepalai seorang wakil Tuhan di bumi, maka saya sebagai seorang Islam menentang itu. Intisari Islam ialah anti teokrasi," tulis Natsir dalam “Dapatkah Dipisahkan Politik dari Agama”.
Pancasila sebagai Konsensus
Menurut Azyumardi Azra, Natsir dan banyak ulama tradisional mengusulkan “negara Islam” modern melalui proses demokrasi. Pandangan itu serupa dengan Agus Salim yang memandang khilafah tidak relevan dengan Indonesia.
Diskursus hubungan Islam dan negara sebagai konsep politik di Indonesia telah usai dan selalu dikembangkan setelah para pemikir dan aktivis kemerdekaan merumuskan Pancasila.
Muhammadiyah menyebut Pancasila sebagai Darul Ahdi wa as-Syahadah (negara perjanjian dan kesaksian). Ulama NU pada 1954 memfatwakan Presiden Indonesia sebagai Waliyul Amri Dharuri Bisy Syaukah. Belakangan ulama NU menyebut Indonesia sebagai Darul Mitsaq (negara konsensus) di tengah masyarakat majemuk.
Dengan sistem politik Indonesia modern, pada 1945, Natsir menjadi salah satu ketua partai Masyumi dan Perdana Menteri (1950-1951).
tulis komentar anda