M Natsir, Bapak Aktivis Dakwah Indonesia yang Menolak Sistem Politik Turki Utsmani
Sabtu, 29 Agustus 2020 - 21:18 WIB
TURKI - Setelah film Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN) rilis, diskursus mengenai khilafah muncul masif di ruang publik. Sejarawan Peter Carey , Azyumardi Azra , hingga Guru Besar Filologi Oman Fathurahman turut membincangkannya di ranah keilmuan.
Diskursus tentang khilafah sebenarnya sudah muncul dalam tulisan-tulisan pemikir dan aktivis gerakan dakwah Indonesia Mohammad Natsir. Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan inisiator masjid kampus itu menolak sistem politik khilafah Turki Utsmani. (Baca juga: Hagia Sophia, Lebih dari Sekadar Tempat Ibadah)
Persepsi Natsir mengenai Turki dapat dilihat di tulisan-tulisannya saat berdebat dengan Soekarno, antara lain, "Arti Agama dalam Negara", "Dualisme dalam Caesaro-Papisme", "Mengasih Islam Bersinggasana dalam Negara", dan "Kemal Pasja dan Virjmetselarij". (Baca juga: Erdogan, Hagia Sophia, dan Neo-Ottomanisme)
Menurut dia, perkembangan Turki Utsmani di masa-masa Sultan bukanlah pemerintahan Islam. Dengan kata lain tidak ada persatuan agama dan negara di pemerintahan Turki Utsmani.
“Pemerintahan yang zalim dan bobrok seperti di Turki Bani Usman itu bukanlah contoh agama dan negara bersatu. Pemerintahan seperti itu juga tidak dapat diperbaiki dengan 'memisahkan agama' daripadanya yang dikatakan oleh Ir Soekarno," tulis Natsir. (Baca juga: Mitos dan Fakta Hagia Shopia, Bangunan Megah dari 1.500 Tahun Lalu)
Dia melanjutkan, Turki telah memisahkan agama dari politik sejak pemerintahan Turki Utsmani, "sebab memang agama sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.”
Lebih tegas, Natsir menyebut perkembangan Turki Utsmani sebagai "negara failit", "negeri bobrok", dan "tidak modern", sehingga tidak perlu diikuti Indonesia modern setelah merdeka.
Natsir mengakui pendapat Soekarno yang memandang umat Islam saat itu mengalami kemunduran. Namun, penyelesaian yang tepat juga bukan dengan menutup komisariat atau kantor urusan agama dari negara.
Menolak Teokrasi, Mengusung Negara Modern
Diskursus tentang khilafah sebenarnya sudah muncul dalam tulisan-tulisan pemikir dan aktivis gerakan dakwah Indonesia Mohammad Natsir. Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan inisiator masjid kampus itu menolak sistem politik khilafah Turki Utsmani. (Baca juga: Hagia Sophia, Lebih dari Sekadar Tempat Ibadah)
Persepsi Natsir mengenai Turki dapat dilihat di tulisan-tulisannya saat berdebat dengan Soekarno, antara lain, "Arti Agama dalam Negara", "Dualisme dalam Caesaro-Papisme", "Mengasih Islam Bersinggasana dalam Negara", dan "Kemal Pasja dan Virjmetselarij". (Baca juga: Erdogan, Hagia Sophia, dan Neo-Ottomanisme)
Menurut dia, perkembangan Turki Utsmani di masa-masa Sultan bukanlah pemerintahan Islam. Dengan kata lain tidak ada persatuan agama dan negara di pemerintahan Turki Utsmani.
“Pemerintahan yang zalim dan bobrok seperti di Turki Bani Usman itu bukanlah contoh agama dan negara bersatu. Pemerintahan seperti itu juga tidak dapat diperbaiki dengan 'memisahkan agama' daripadanya yang dikatakan oleh Ir Soekarno," tulis Natsir. (Baca juga: Mitos dan Fakta Hagia Shopia, Bangunan Megah dari 1.500 Tahun Lalu)
Dia melanjutkan, Turki telah memisahkan agama dari politik sejak pemerintahan Turki Utsmani, "sebab memang agama sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.”
Lebih tegas, Natsir menyebut perkembangan Turki Utsmani sebagai "negara failit", "negeri bobrok", dan "tidak modern", sehingga tidak perlu diikuti Indonesia modern setelah merdeka.
Natsir mengakui pendapat Soekarno yang memandang umat Islam saat itu mengalami kemunduran. Namun, penyelesaian yang tepat juga bukan dengan menutup komisariat atau kantor urusan agama dari negara.
Menolak Teokrasi, Mengusung Negara Modern
Lihat Juga :
tulis komentar anda