Menjadikan Bahasa Indonesia Keren Lagi
Senin, 28 Oktober 2024 - 05:27 WIB
Karena bahasa sering menjadi simbol budaya dan ideologi suatu kelompok masyarakat, perbedaan bahasa dapat mencerminkan perbedaan identitas yang lebih dalam di antara mereka. Oleh karena itu, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan terobosan luar biasa yang sangat visioner karena semua deklarator bisa mengesampingkan perbedaan untuk bertekad menjadi satu Indonesia. Salah satunya, menerima Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu, dan bukan bahasa-bahasa daerah lain yang diucapkan oleh lebih banyak orang, sebagai bagian dari fondasi kebangsaan Indonesia.
Sekarang ini, Bahasa Indonesia telah digunakan dan dipahami secara luas di seluruh Indonesia, dengan lebih dari 97% orang Indonesia fasih berbahasa Indonesia. Melalui Bahasa Indonesia inilah, kita dapat mempertahankan warisan budaya yang kaya, termasuk sastra, musik, dan seni. Sudah seharusnya jika Bahasa Indonesia menjadi sumber kebanggaan nasional karena mewakili sejarah, budaya, dan identitas bangsa kita. Dengan Bahasa Indonesia lah, karakter kebangsaan kita dibentuk sebagai pengejawantahan rasa identitas dan nilai-nilai nasional.
Meskipun Bahasa Indonesia telah terbukti berhasil membentuk identitas nasional, tetap timbul keresahan jika kita melihat ada tendensi kemunduran penggunaannya belakangan ini. Apalagi dengan derasnya aliran informasi dari segala penjuru, banyak varian bahasa yang unik, khususnya di platform media sosial yang sangat popular di kalangan generasi muda. Kata-kata seperti mantul, mager, pansos, gercep, gabut, dan lain-lain adalah contoh dari varian unik ini. Sayangnya, varian ini meskipun kreatif kadang- kadang tidak sesuai dengan pakem dari Bahasa Indonesia yang benar.
Hadirnya teknologi dan globalisasi menjadi salah satu faktor utama yang mengikis penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini membuat masyarakat, terutama generasi muda, lebih banyak terpapar oleh dan menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul dalam komunikasi sehari-hari sehingga sering kali menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.
Globalisasi telah memengaruhi dinamika bahasa secara signifikan sehingga sering kali menyebabkan marginalisasi banyak bahasa nasional di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ketika masyarakat menjadi lebih saling terhubung, bahasa yang dominan mengalahkan bahasa nasional, bahasa local ataupun dialek yang sehari-hari diucapkan. Tren ini diperburuk oleh meningkatnya prevalensi bahasa Inggris dalam pendidikan, media, dan bisnis, yang mengurangi kegunaan dan prestise Bahas Indonesia. Hasilnya adalah hierarki linguistik di mana Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dianggap lebih berharga atau berguna daripada bahasa lain, yang mengarah pada pergeseran bertahap dari Bahasa Indonesia di kalangan generasi muda.
Berkurangnya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar berimbas pada hilangnya nilai-nilai dan norma-norma budaya yang terkandung di dalamnya. Hal ini mengikis identitas kultural yang menjadi perekat persatuan bangsa karena Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi. Bahasa Indonesia ini merupakan pembawa budaya dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Ketika suatu bahasa berkurang atau menghilang, ekspresi budaya dan sejarah unik yang terkait dengan bahasa tersebut juga memudar. Misalnya, penurunan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar dapat menandakan erosi budaya yang lebih luas, karena Bahasa Indonesia ini memainkan peran penting dalam mentransmisikan nilai-nilai dan praktik budaya lintas generasi.
Selain itu, liberalisasi pendidikan juga memperlebar jenjang antara kalangan atas dan kalangan bawah, termasuk dalam berbahasa. Kalangan atas yang biasanya mendapatkan pendidikan tinggi dan terekspos kepada bahasa asing dari kecil cenderung lebih suka berbahasa Inggris sedangkan kalangan bawah menghadapi keterbatasan kosa kata dan efisiensi pemrosesan bahasa. Akibatnya, pengunaan bahasa yang berbeda menjadikan perbedaan sosio-ekonomi ini menjadi semakin lebar.
Sekarang ini, Bahasa Indonesia telah digunakan dan dipahami secara luas di seluruh Indonesia, dengan lebih dari 97% orang Indonesia fasih berbahasa Indonesia. Melalui Bahasa Indonesia inilah, kita dapat mempertahankan warisan budaya yang kaya, termasuk sastra, musik, dan seni. Sudah seharusnya jika Bahasa Indonesia menjadi sumber kebanggaan nasional karena mewakili sejarah, budaya, dan identitas bangsa kita. Dengan Bahasa Indonesia lah, karakter kebangsaan kita dibentuk sebagai pengejawantahan rasa identitas dan nilai-nilai nasional.
Tantangan di Era Globalisasi
Meskipun Bahasa Indonesia telah terbukti berhasil membentuk identitas nasional, tetap timbul keresahan jika kita melihat ada tendensi kemunduran penggunaannya belakangan ini. Apalagi dengan derasnya aliran informasi dari segala penjuru, banyak varian bahasa yang unik, khususnya di platform media sosial yang sangat popular di kalangan generasi muda. Kata-kata seperti mantul, mager, pansos, gercep, gabut, dan lain-lain adalah contoh dari varian unik ini. Sayangnya, varian ini meskipun kreatif kadang- kadang tidak sesuai dengan pakem dari Bahasa Indonesia yang benar.
Hadirnya teknologi dan globalisasi menjadi salah satu faktor utama yang mengikis penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini membuat masyarakat, terutama generasi muda, lebih banyak terpapar oleh dan menggunakan bahasa asing atau bahasa gaul dalam komunikasi sehari-hari sehingga sering kali menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.
Globalisasi telah memengaruhi dinamika bahasa secara signifikan sehingga sering kali menyebabkan marginalisasi banyak bahasa nasional di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ketika masyarakat menjadi lebih saling terhubung, bahasa yang dominan mengalahkan bahasa nasional, bahasa local ataupun dialek yang sehari-hari diucapkan. Tren ini diperburuk oleh meningkatnya prevalensi bahasa Inggris dalam pendidikan, media, dan bisnis, yang mengurangi kegunaan dan prestise Bahas Indonesia. Hasilnya adalah hierarki linguistik di mana Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dianggap lebih berharga atau berguna daripada bahasa lain, yang mengarah pada pergeseran bertahap dari Bahasa Indonesia di kalangan generasi muda.
Berkurangnya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar berimbas pada hilangnya nilai-nilai dan norma-norma budaya yang terkandung di dalamnya. Hal ini mengikis identitas kultural yang menjadi perekat persatuan bangsa karena Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi. Bahasa Indonesia ini merupakan pembawa budaya dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Ketika suatu bahasa berkurang atau menghilang, ekspresi budaya dan sejarah unik yang terkait dengan bahasa tersebut juga memudar. Misalnya, penurunan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar dapat menandakan erosi budaya yang lebih luas, karena Bahasa Indonesia ini memainkan peran penting dalam mentransmisikan nilai-nilai dan praktik budaya lintas generasi.
Masihkah Bahasa Indonesia Dianggap sebagai Pemersatu?
Selain itu, liberalisasi pendidikan juga memperlebar jenjang antara kalangan atas dan kalangan bawah, termasuk dalam berbahasa. Kalangan atas yang biasanya mendapatkan pendidikan tinggi dan terekspos kepada bahasa asing dari kecil cenderung lebih suka berbahasa Inggris sedangkan kalangan bawah menghadapi keterbatasan kosa kata dan efisiensi pemrosesan bahasa. Akibatnya, pengunaan bahasa yang berbeda menjadikan perbedaan sosio-ekonomi ini menjadi semakin lebar.
tulis komentar anda