Domestikasi Digital, Happy atau Kita Harus Ngeri?
Senin, 16 September 2024 - 21:12 WIB
baca juga: Rumah Pintar BSD City Gelar Kuliah Online Metode Belajar Negara Maju
Negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur adalah yang paling cepat dan luas dalam mengadopsi teknologi jaringan rumah. Jangankan di Jepang dan negara-negara maju yang kita kenal dengan kemajuan teknologinya, di Indonesia pun konsep rumah pintar sudah banyak kita temukan.
Tidak hanya di sinetron-sinetron, di perumahan menengah pinggiran Jakarta kita dengan mudah menemukan pemilik mengaplikasikan domestikasi digital. Bagi penduduk urban, sudah sejak lama mereka tidak membutuhkan petugas security untuk mematikan atau menghidupkan lampu teras bila pulang kampung, menyiram tanaman, atau membuka tutup gerbang depan. Tugas-tugas itu sudah bisa ditangani teknologi digital.
Di dalam rumah pun, penghuni cukup menyebutkan kata, atau bahkan dengan kode menepuk tangan untuk membuka pintu, menyalakan TV, AC atau menyalakan kompor. Tidak perlu ada perintah dari sesama penghuni rumah. Dan, baik di dalam maupun di luar rumah, pemilik atau anggota keluarga dapat mengakses informasi yang disediakan rumah pintar.
Aplikasi dan intervensi teknologi ke dalam rumah pintar memang berkontribusi bagi kemudahan dan kepraktisan. Namun seperti disinyalir para peneliti tadi, ada sejumlah potensi negatif di balik domestikasi digital. Terutama adalah kesehatan mental. Menurut para peneliti itu, konektivitas yang terus menerus dan konstan dapat menyebabkan beban emosional dan stres. Ini bisa menimpa khususnya pada orang tua yang mungkin merasakan tekanan untuk selalu siap sedia dan tanggap.
Di sisi lain, konektivitas yang konstan ini makin mengaburkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga yang semakin berkontribusi terhadap stres. Meskipun perangkat digital dapat menawarkan hiburan dan relaksasi, sayangnya perangkat tersebut juga dapat berkontribusi terhadap perasaan terisolasi, cemas, dan kelebihan informasi. Negosiasi mengenai ruang privat dan publik yang penting bagi “me time” juga makin sulit ditemukan para penghuni rumah pintar.
baca juga: Dukung Rumah Pintar di Indonesia, EZVIZ Luncurkan Berbagai Produk Baru
Lalu, dampak negatif terkait dengan komunikasi, yang diyakini banyak pihak sebagai elemen penting dalam membangun keharmonisan dan kekuatan keluarga. Aplikasi digital ke dalam rumah memang membantu banyak tugas, menyenangkan, memanjakan bahkan membuat hidup lebih praktis. Tetapi para peneliti mengingatkan dampaknya bagi terjadinya perubahan pola komunikasi.
Menurut para peneliti itu, teknologi digital telah mengubah cara anggota keluarga berkomunikasi satu sama lain. Pesan instan, panggilan video, dan media sosial telah menjadi sarana interaksi yang umum, terkadang menggantikan percakapan tatap muka.
Ini berarti, design rumah yang semula banyak mengondisikan percakapan para anggota keluarga di dalam rumah agar keharmonisan dan kekuatan keluarga terbangun perlahan-lahan bergeser. Satu sisi, kita merasakan happy dengan kemajuan dan aplikasi teknologi ke dalam rumah sebagai ruang domestik kita. Tapi, benarkah kita tak perlu ngeri dengan dampak negatifnya?
Negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur adalah yang paling cepat dan luas dalam mengadopsi teknologi jaringan rumah. Jangankan di Jepang dan negara-negara maju yang kita kenal dengan kemajuan teknologinya, di Indonesia pun konsep rumah pintar sudah banyak kita temukan.
Tidak hanya di sinetron-sinetron, di perumahan menengah pinggiran Jakarta kita dengan mudah menemukan pemilik mengaplikasikan domestikasi digital. Bagi penduduk urban, sudah sejak lama mereka tidak membutuhkan petugas security untuk mematikan atau menghidupkan lampu teras bila pulang kampung, menyiram tanaman, atau membuka tutup gerbang depan. Tugas-tugas itu sudah bisa ditangani teknologi digital.
Di dalam rumah pun, penghuni cukup menyebutkan kata, atau bahkan dengan kode menepuk tangan untuk membuka pintu, menyalakan TV, AC atau menyalakan kompor. Tidak perlu ada perintah dari sesama penghuni rumah. Dan, baik di dalam maupun di luar rumah, pemilik atau anggota keluarga dapat mengakses informasi yang disediakan rumah pintar.
Aplikasi dan intervensi teknologi ke dalam rumah pintar memang berkontribusi bagi kemudahan dan kepraktisan. Namun seperti disinyalir para peneliti tadi, ada sejumlah potensi negatif di balik domestikasi digital. Terutama adalah kesehatan mental. Menurut para peneliti itu, konektivitas yang terus menerus dan konstan dapat menyebabkan beban emosional dan stres. Ini bisa menimpa khususnya pada orang tua yang mungkin merasakan tekanan untuk selalu siap sedia dan tanggap.
Di sisi lain, konektivitas yang konstan ini makin mengaburkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga yang semakin berkontribusi terhadap stres. Meskipun perangkat digital dapat menawarkan hiburan dan relaksasi, sayangnya perangkat tersebut juga dapat berkontribusi terhadap perasaan terisolasi, cemas, dan kelebihan informasi. Negosiasi mengenai ruang privat dan publik yang penting bagi “me time” juga makin sulit ditemukan para penghuni rumah pintar.
baca juga: Dukung Rumah Pintar di Indonesia, EZVIZ Luncurkan Berbagai Produk Baru
Lalu, dampak negatif terkait dengan komunikasi, yang diyakini banyak pihak sebagai elemen penting dalam membangun keharmonisan dan kekuatan keluarga. Aplikasi digital ke dalam rumah memang membantu banyak tugas, menyenangkan, memanjakan bahkan membuat hidup lebih praktis. Tetapi para peneliti mengingatkan dampaknya bagi terjadinya perubahan pola komunikasi.
Menurut para peneliti itu, teknologi digital telah mengubah cara anggota keluarga berkomunikasi satu sama lain. Pesan instan, panggilan video, dan media sosial telah menjadi sarana interaksi yang umum, terkadang menggantikan percakapan tatap muka.
Ini berarti, design rumah yang semula banyak mengondisikan percakapan para anggota keluarga di dalam rumah agar keharmonisan dan kekuatan keluarga terbangun perlahan-lahan bergeser. Satu sisi, kita merasakan happy dengan kemajuan dan aplikasi teknologi ke dalam rumah sebagai ruang domestik kita. Tapi, benarkah kita tak perlu ngeri dengan dampak negatifnya?
Lihat Juga :
tulis komentar anda