Mewaspadai Dampak Lanjutan Pandemi
Kamis, 27 Agustus 2020 - 07:23 WIB
EKONOMI dunia morat-marit dalam kurun sembilan bulan terakhir sejak virus korona pertama kali merebak di China dan menyebar ke seluruh belahan dunia awal 2020. Negara-negara maju di Eropa, juga Amerika Serikat (AS), tak mampu meredam keganasan korona yang menggerogoti perekonomian negara-negara itu. Negara berkembang lebih parah lagi, banyak yang tertatih-tatih dengan kondisi ekonomi minus.
Dalam laporan World Economic Outlook, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia anjlok 4,9% pada tahun ini. Tahun ini oleh IMF disebut sebagai Great Lockdown, istilah yang cukup mengkhawatirkan mengingat pada 1930 silam ada istilah Great Depression, yaitu perlambatan ekonomi di AS yang ikut meluluhlantakkan perekonomian dunia. IMF juga memproyeksikan pemulihan ekonomi dunia baru terjadi pada 2021, itu pun dengan pergerakan yang lambat.
Ancaman gelombang kedua pandemi korona dan kecepatan respons pemerintah di seluruh belahan dunia menjadi kunci kecepatan membaiknya perekonomian global. Meski demikian IMF memperkirakan adanya gelombang kedua pandemi korona pada awal tahun 2021 di beberapa negara tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Alasannya, upaya untuk mengatasi wabah kedua ini lebih mudah daripada saat pertama kali terjadi. Karena itu kegiatan bisnis dan konsumsi rumah tangga bisa terjaga.
Namun tentu asumsi-asumsi yang disampaikan IMF tersebut tak boleh menimbulkan optimisme yang berlebihan. Sebab gelombang kedua pandemi masih berpotensi menyebabkan tekanan pada perekonomian dunia. Apalagi hingga akhir tahun ini diperkirakan belum ada vaksin yang sudah diproduksi massal.
Di beberapa negara di dunia, pasar keuangan menjadi motor mulai bergeraknya roda perekonomian. Hal itu terjadi di AS, Jerman, Inggris, dan Jepang. Keberhasilan Pemerintah AS menambah hingga 4,2 juta tenaga kerja di dalam negerinya, setidaknya mampu membuat Negeri Paman Sam itu mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Hal yang sama terjadi di China. Meskipun pandemi belum usai, di negara komunis itu kegiatan ekonomi berlangsung membaik. Kegiatan manufaktur, pusat bisnis hingga wisata sudah dibuka.
Tak hanya IMF, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) pun memperkirakan perekonomian negara-negara Asia tahun ini nyaris tidak tumbuh. Kalaupun bertumbuh, ADB memperkirakan hanya 0,1% saja. Pandemi korona menyebabkan gangguan ekonomi yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah lapangan kerja di mana tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin tinggi.
Terbatasnya arus perdagangan, yakni kegiatan ekspor-impor, anjloknya pendapatan dari sektor pariwisata telah memperburuk ekonomi negara-negara Asia. Di Indonesia, meskipun tak ada kebijakan lockdown, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan konsumsi masyarakat.
Ekonomi nasional tercatat minus pada kuartal II/2020. Konsumsi domestik turun seiring berkurangnya pengeluaran tidak wajib rumah tangga. Sementara pengeluaran konsumsi pemerintah terlihat jalan di tempat, pertumbuhan investasi juga melambat. Beruntung, pasar keuangan dan pasar saham masih menarik minat investor.
Dengan adanya kondisi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang ini pemerintah harus bekerja ekstrakeras. Pemerintah perlu mempertimbangkan penyediaan kebijakan asuransi sosial untuk kelompok yang paling rentan. Misalnya memperkuat Program Keluarga Harapan dan bantuan program pangan nontunai. Kelompok kelas menengah yang sebagian besar pekerja juga perlu mendapat perhatian. Karena kelompok ini mulai terdampak akibat pandemi yang semakin panjang dan belum diketahui kapan berakhir.
Untuk menggerakkan konsumsi, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus kepada industri yang memiliki mengalami kesulitan untuk membayar pinjaman. Misalnya usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan industri yang terpukul cukup dalam seperti restoran, hotel, industri hiburan, dan ritel.
Pada sektor perbankan perlu diantisipasi masalah likuiditas dan potensi kredit macet akibat melemahnya kegiatan ekonomi. Pelaksanaan langkah-langkah kebijakan yang tepat waktu tentunya akan sangat bermanfaat dalam membantu perekonomian Indonesia untuk membaik lagi.
Dalam laporan World Economic Outlook, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia anjlok 4,9% pada tahun ini. Tahun ini oleh IMF disebut sebagai Great Lockdown, istilah yang cukup mengkhawatirkan mengingat pada 1930 silam ada istilah Great Depression, yaitu perlambatan ekonomi di AS yang ikut meluluhlantakkan perekonomian dunia. IMF juga memproyeksikan pemulihan ekonomi dunia baru terjadi pada 2021, itu pun dengan pergerakan yang lambat.
Ancaman gelombang kedua pandemi korona dan kecepatan respons pemerintah di seluruh belahan dunia menjadi kunci kecepatan membaiknya perekonomian global. Meski demikian IMF memperkirakan adanya gelombang kedua pandemi korona pada awal tahun 2021 di beberapa negara tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Alasannya, upaya untuk mengatasi wabah kedua ini lebih mudah daripada saat pertama kali terjadi. Karena itu kegiatan bisnis dan konsumsi rumah tangga bisa terjaga.
Namun tentu asumsi-asumsi yang disampaikan IMF tersebut tak boleh menimbulkan optimisme yang berlebihan. Sebab gelombang kedua pandemi masih berpotensi menyebabkan tekanan pada perekonomian dunia. Apalagi hingga akhir tahun ini diperkirakan belum ada vaksin yang sudah diproduksi massal.
Di beberapa negara di dunia, pasar keuangan menjadi motor mulai bergeraknya roda perekonomian. Hal itu terjadi di AS, Jerman, Inggris, dan Jepang. Keberhasilan Pemerintah AS menambah hingga 4,2 juta tenaga kerja di dalam negerinya, setidaknya mampu membuat Negeri Paman Sam itu mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Hal yang sama terjadi di China. Meskipun pandemi belum usai, di negara komunis itu kegiatan ekonomi berlangsung membaik. Kegiatan manufaktur, pusat bisnis hingga wisata sudah dibuka.
Tak hanya IMF, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) pun memperkirakan perekonomian negara-negara Asia tahun ini nyaris tidak tumbuh. Kalaupun bertumbuh, ADB memperkirakan hanya 0,1% saja. Pandemi korona menyebabkan gangguan ekonomi yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah lapangan kerja di mana tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin tinggi.
Terbatasnya arus perdagangan, yakni kegiatan ekspor-impor, anjloknya pendapatan dari sektor pariwisata telah memperburuk ekonomi negara-negara Asia. Di Indonesia, meskipun tak ada kebijakan lockdown, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan konsumsi masyarakat.
Ekonomi nasional tercatat minus pada kuartal II/2020. Konsumsi domestik turun seiring berkurangnya pengeluaran tidak wajib rumah tangga. Sementara pengeluaran konsumsi pemerintah terlihat jalan di tempat, pertumbuhan investasi juga melambat. Beruntung, pasar keuangan dan pasar saham masih menarik minat investor.
Dengan adanya kondisi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang ini pemerintah harus bekerja ekstrakeras. Pemerintah perlu mempertimbangkan penyediaan kebijakan asuransi sosial untuk kelompok yang paling rentan. Misalnya memperkuat Program Keluarga Harapan dan bantuan program pangan nontunai. Kelompok kelas menengah yang sebagian besar pekerja juga perlu mendapat perhatian. Karena kelompok ini mulai terdampak akibat pandemi yang semakin panjang dan belum diketahui kapan berakhir.
Untuk menggerakkan konsumsi, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus kepada industri yang memiliki mengalami kesulitan untuk membayar pinjaman. Misalnya usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan industri yang terpukul cukup dalam seperti restoran, hotel, industri hiburan, dan ritel.
Pada sektor perbankan perlu diantisipasi masalah likuiditas dan potensi kredit macet akibat melemahnya kegiatan ekonomi. Pelaksanaan langkah-langkah kebijakan yang tepat waktu tentunya akan sangat bermanfaat dalam membantu perekonomian Indonesia untuk membaik lagi.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda