Kunjungan Paus dan Dialog Agama

Kamis, 05 September 2024 - 16:58 WIB
Dosen Hubungan Internasional FISIP Unwahas Semarang, Andi Purwono. FOTO/DOK.PRIBADI
Andi Purwono

Dosen Hubungan Internasional FISIP dan

Wakil Rektor I Universitas Wahid Hasyim Semarang

KUNJUNGAN Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September 2024 memiliki arti penting. Selain bertemu presiden, para pejabat negara, dan umat Katolik Indonesia, pertemuan dengan para pemimpin agama sarat makna simbolik. Di tengah berbagai problem seperti konflik, kemiskinan, dan ketidakadilan yang masih mengancam dunia, apa makna kunjungan ini bagi dunia dan Indonesia khususnya?



Kunjungan apostolik Paus Fransiskus bisa disebut sebagai diplomasi ganda kunjungan kenegaraan dan pastoral, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Vatikan dan pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Pemerintah Indonesia, melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan undangan resmi dan diterima takhta Suci Vatikan pada 25 Maret 2024. Kedua pemimpin dijadwalkan bertemu pada Rabu, 4 September di Istana Merdeka.

Kunjungan ini diharapkan membawa keberkahan bagi semua. Kata berkah sendiri dalam bahasa Arab sering dimaknai sebagai tetap atau langgengnya kebaikan pada suatu hal. Keimanan, persaudaraan, dan kasih sayang (faith, fraternity, compassion) menyiratkan kebaikan tersebut.

Pemerintah Indonesia sendiri berharap bahwa kunjungan ini tidak hanya membawa arti penting bagi umat Katolik di Indonesia, namun juga bagi keharmonisan seluruh umat beragama. Kunjungan juga tidak hanya sekadar lawatan religius, tetapi juga membawa misi penting terkait isu-isu global. Presiden Jokowi menegaskan bahwa perdamaian akan menjadi topik utama dalam pembicaraannya dengan Paus Fransiskus, terutama terkait konflik yang saat ini masih berlangsung di berbagai belahan dunia.

Keberkahan ini tentu sangat dinantikan umat katolik Indonesia. Apalagi ini akan menjadi kunjungan historis Paus ke-266 umat Katolik. Sebelumnya, terakhir kali seorang Paus melakukan kunjungan ke Indonesia ialah Paus Yohanes Paulus II pada 8-12 Oktober 1989 dan Paus Paulus VI Tahun 1970.

Douglas Johnston dalam tulisannya Faith Based Diplomacy Trumping Real Politik (2003) menyebut bahwa para pemimpin agama seringkali mampu menawarkan solusi di tengah kebuntuan penyelesaian masalah akibat politik kekuasaan aktor negara. Ketika diplomasi jalur pertama mengalami kebuntuan, kaum agamawan sering muncul menjadi pengganti (substitution). Ada kalanya diplomasi para pemimpin agama juga sering menjadi penguat- pelengkap dan tandem (complement) diplomasi pejabat negara.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More