Kunjungan Paus dan Dialog Agama
loading...
A
A
A
Andi Purwono
Dosen Hubungan Internasional FISIP dan
Wakil Rektor I Universitas Wahid Hasyim Semarang
KUNJUNGAN Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September 2024 memiliki arti penting. Selain bertemu presiden, para pejabat negara, dan umat Katolik Indonesia, pertemuan dengan para pemimpin agama sarat makna simbolik. Di tengah berbagai problem seperti konflik, kemiskinan, dan ketidakadilan yang masih mengancam dunia, apa makna kunjungan ini bagi dunia dan Indonesia khususnya?
Kunjungan apostolik Paus Fransiskus bisa disebut sebagai diplomasi ganda kunjungan kenegaraan dan pastoral, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Vatikan dan pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Pemerintah Indonesia, melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan undangan resmi dan diterima takhta Suci Vatikan pada 25 Maret 2024. Kedua pemimpin dijadwalkan bertemu pada Rabu, 4 September di Istana Merdeka.
Kunjungan ini diharapkan membawa keberkahan bagi semua. Kata berkah sendiri dalam bahasa Arab sering dimaknai sebagai tetap atau langgengnya kebaikan pada suatu hal. Keimanan, persaudaraan, dan kasih sayang (faith, fraternity, compassion) menyiratkan kebaikan tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri berharap bahwa kunjungan ini tidak hanya membawa arti penting bagi umat Katolik di Indonesia, namun juga bagi keharmonisan seluruh umat beragama. Kunjungan juga tidak hanya sekadar lawatan religius, tetapi juga membawa misi penting terkait isu-isu global. Presiden Jokowi menegaskan bahwa perdamaian akan menjadi topik utama dalam pembicaraannya dengan Paus Fransiskus, terutama terkait konflik yang saat ini masih berlangsung di berbagai belahan dunia.
Keberkahan ini tentu sangat dinantikan umat katolik Indonesia. Apalagi ini akan menjadi kunjungan historis Paus ke-266 umat Katolik. Sebelumnya, terakhir kali seorang Paus melakukan kunjungan ke Indonesia ialah Paus Yohanes Paulus II pada 8-12 Oktober 1989 dan Paus Paulus VI Tahun 1970.
Douglas Johnston dalam tulisannya Faith Based Diplomacy Trumping Real Politik (2003) menyebut bahwa para pemimpin agama seringkali mampu menawarkan solusi di tengah kebuntuan penyelesaian masalah akibat politik kekuasaan aktor negara. Ketika diplomasi jalur pertama mengalami kebuntuan, kaum agamawan sering muncul menjadi pengganti (substitution). Ada kalanya diplomasi para pemimpin agama juga sering menjadi penguat- pelengkap dan tandem (complement) diplomasi pejabat negara.
Pertama, pertemuan dan dialog antaragama seperti itu telah menjadi tradisi dan praktik baik yang kita laksanakan di tingkat domestik hingga internasional. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, yang juga dikenal dengan keragaman agama dan toleransi antarumat beragama. Indonesia mengenal trilogi kerukunan yaitu antar umat beragama, intra-agama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.
Bagi Indonesia, dialog seperti ini bukanlah seremoni apalagi sekedar kepura-puraan semata. Kita melihatnya sebagai kebutuhan bersama, sebagai sesama penduduk dunia dan makhluk Tuhan. Oleh karena itu selalu muncul perasaan akan tanggungjawab untuk mengupayakan ikhtiar dalam menciptakan kehidupan bersama agar lebih baik.
Dalam konteks tersebut, maka ia juga menegaskan arus besar (mayoritas) karakter washathiyah/moderat umat beragama Indonesia yang mengedepankan dialog dan mengesampingkan kekerasan.
Bahkan sejak tahun 2004, salah satu program diplomasi kita adalah interfaith dialogue baik secara bilateral dengan negara sahabat, tingkat regional hingga internasional. Karakter moderat tersebut berjalan seiring dengan demokrasi dan modernitas dan telah menjadi identitas pembeda dan sekaligus menempati posisi sangat penting sebagai modal diplomasi Indonesia di fora internasional. Ia menjadi bagian dari soft power kita dalam menarik dan memenangkan hati pihak lain sehingga bersahabat dan berhubungan baik dengan kita.
Kedua, dialog ini mengingatkan kita khususnya di momen menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) November 2024 untuk tetap menjaga persatuan dan persaudaraan kebangsaan (Ukhuwah Wathaniyah). Jangan sampai lagi terjadi kepentingan politik kekuasaan menggunakan sentimen keagamaan sehingga membahayakan persatuan.
Kita bersyukur bahwa pemilihan umum legislatif dan presiden pada bulan Februari lalu berjalan baik tanpa isu SARA sebagaimana dikhawatirkan banyak kalangan sebelumnya. Kita berharap pemilu kepala daerah juga akan berjalan baik dalam situasi yang kondusif. Dalam kaitan itu, para tokoh agama diyajkini turut memegang peran kunci.
Ketiga, pertemuan para pemimpin agama diyakini kuat memiliki makna simbolik. Ratusan juta umat pengikutnya tentu akan berkaca dan mencontoh keharmonisan para pemimpin- pemimpin agamanya. Ini lah wujud diplomasi agama yang mencerahkan.
Kerja sama dalam membangun moderasi beragama hingga memfasilitasi berbagai kerjasama nyata memang masih sangat dibutuhkan. Kemiskinan, ketimpangan, problem kesehatan, lingkungan dan lainnya masih butuh penyelesaian. Karenanya, potensi yang dimiliki umat lintasagama harus bisa ditransformasikan menjadi kekuatan solutif atas berbagai tantangan nasional dan global.
Agama yang menebarkan rahmat bagi semua (rahmatan lil alamin) itulah yang menjadi harapan penduduk bumi. Komitmen tersebut juga telah ditunjukkan Paus Fransiskus dalam Deklarasi Persaudaran Kemanusiaan bersama Grand Syekh al Azhar Syeikh Ahmed al-Tayeb and para ulama moderat lainnya. Pengarusutamaan pemikiran ini masih penting kita gelorakan di tengah problem dunia yang nyata.
Kemajuan dan harmoni selalu kita upayakan untuk terjadi. Rajutan diplomasi para pemimpin negara dan tokoh agama diyakini akan turut memberi kontribusi.
Dosen Hubungan Internasional FISIP dan
Wakil Rektor I Universitas Wahid Hasyim Semarang
KUNJUNGAN Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September 2024 memiliki arti penting. Selain bertemu presiden, para pejabat negara, dan umat Katolik Indonesia, pertemuan dengan para pemimpin agama sarat makna simbolik. Di tengah berbagai problem seperti konflik, kemiskinan, dan ketidakadilan yang masih mengancam dunia, apa makna kunjungan ini bagi dunia dan Indonesia khususnya?
Kunjungan apostolik Paus Fransiskus bisa disebut sebagai diplomasi ganda kunjungan kenegaraan dan pastoral, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Vatikan dan pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Pemerintah Indonesia, melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan undangan resmi dan diterima takhta Suci Vatikan pada 25 Maret 2024. Kedua pemimpin dijadwalkan bertemu pada Rabu, 4 September di Istana Merdeka.
Kunjungan ini diharapkan membawa keberkahan bagi semua. Kata berkah sendiri dalam bahasa Arab sering dimaknai sebagai tetap atau langgengnya kebaikan pada suatu hal. Keimanan, persaudaraan, dan kasih sayang (faith, fraternity, compassion) menyiratkan kebaikan tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri berharap bahwa kunjungan ini tidak hanya membawa arti penting bagi umat Katolik di Indonesia, namun juga bagi keharmonisan seluruh umat beragama. Kunjungan juga tidak hanya sekadar lawatan religius, tetapi juga membawa misi penting terkait isu-isu global. Presiden Jokowi menegaskan bahwa perdamaian akan menjadi topik utama dalam pembicaraannya dengan Paus Fransiskus, terutama terkait konflik yang saat ini masih berlangsung di berbagai belahan dunia.
Keberkahan ini tentu sangat dinantikan umat katolik Indonesia. Apalagi ini akan menjadi kunjungan historis Paus ke-266 umat Katolik. Sebelumnya, terakhir kali seorang Paus melakukan kunjungan ke Indonesia ialah Paus Yohanes Paulus II pada 8-12 Oktober 1989 dan Paus Paulus VI Tahun 1970.
Douglas Johnston dalam tulisannya Faith Based Diplomacy Trumping Real Politik (2003) menyebut bahwa para pemimpin agama seringkali mampu menawarkan solusi di tengah kebuntuan penyelesaian masalah akibat politik kekuasaan aktor negara. Ketika diplomasi jalur pertama mengalami kebuntuan, kaum agamawan sering muncul menjadi pengganti (substitution). Ada kalanya diplomasi para pemimpin agama juga sering menjadi penguat- pelengkap dan tandem (complement) diplomasi pejabat negara.
Dialog Antaragama
Selain agenda kenegaraan dan pastoral, kunjungan kemanusiaan juga tercermin. Pada 5 September pagi, Paus Fransiskus menghadiri interreligious meeting (pertemuan dengan para tokoh antaragama) di Masjid Istiqlal Jakarta. Bagi Indonesia, tentu hal ini merupakan hal positif dan memiliki makna penting.Pertama, pertemuan dan dialog antaragama seperti itu telah menjadi tradisi dan praktik baik yang kita laksanakan di tingkat domestik hingga internasional. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, yang juga dikenal dengan keragaman agama dan toleransi antarumat beragama. Indonesia mengenal trilogi kerukunan yaitu antar umat beragama, intra-agama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.
Bagi Indonesia, dialog seperti ini bukanlah seremoni apalagi sekedar kepura-puraan semata. Kita melihatnya sebagai kebutuhan bersama, sebagai sesama penduduk dunia dan makhluk Tuhan. Oleh karena itu selalu muncul perasaan akan tanggungjawab untuk mengupayakan ikhtiar dalam menciptakan kehidupan bersama agar lebih baik.
Dalam konteks tersebut, maka ia juga menegaskan arus besar (mayoritas) karakter washathiyah/moderat umat beragama Indonesia yang mengedepankan dialog dan mengesampingkan kekerasan.
Bahkan sejak tahun 2004, salah satu program diplomasi kita adalah interfaith dialogue baik secara bilateral dengan negara sahabat, tingkat regional hingga internasional. Karakter moderat tersebut berjalan seiring dengan demokrasi dan modernitas dan telah menjadi identitas pembeda dan sekaligus menempati posisi sangat penting sebagai modal diplomasi Indonesia di fora internasional. Ia menjadi bagian dari soft power kita dalam menarik dan memenangkan hati pihak lain sehingga bersahabat dan berhubungan baik dengan kita.
Kedua, dialog ini mengingatkan kita khususnya di momen menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) November 2024 untuk tetap menjaga persatuan dan persaudaraan kebangsaan (Ukhuwah Wathaniyah). Jangan sampai lagi terjadi kepentingan politik kekuasaan menggunakan sentimen keagamaan sehingga membahayakan persatuan.
Kita bersyukur bahwa pemilihan umum legislatif dan presiden pada bulan Februari lalu berjalan baik tanpa isu SARA sebagaimana dikhawatirkan banyak kalangan sebelumnya. Kita berharap pemilu kepala daerah juga akan berjalan baik dalam situasi yang kondusif. Dalam kaitan itu, para tokoh agama diyajkini turut memegang peran kunci.
Ketiga, pertemuan para pemimpin agama diyakini kuat memiliki makna simbolik. Ratusan juta umat pengikutnya tentu akan berkaca dan mencontoh keharmonisan para pemimpin- pemimpin agamanya. Ini lah wujud diplomasi agama yang mencerahkan.
Kerja sama dalam membangun moderasi beragama hingga memfasilitasi berbagai kerjasama nyata memang masih sangat dibutuhkan. Kemiskinan, ketimpangan, problem kesehatan, lingkungan dan lainnya masih butuh penyelesaian. Karenanya, potensi yang dimiliki umat lintasagama harus bisa ditransformasikan menjadi kekuatan solutif atas berbagai tantangan nasional dan global.
Agama yang menebarkan rahmat bagi semua (rahmatan lil alamin) itulah yang menjadi harapan penduduk bumi. Komitmen tersebut juga telah ditunjukkan Paus Fransiskus dalam Deklarasi Persaudaran Kemanusiaan bersama Grand Syekh al Azhar Syeikh Ahmed al-Tayeb and para ulama moderat lainnya. Pengarusutamaan pemikiran ini masih penting kita gelorakan di tengah problem dunia yang nyata.
Kemajuan dan harmoni selalu kita upayakan untuk terjadi. Rajutan diplomasi para pemimpin negara dan tokoh agama diyakini akan turut memberi kontribusi.
(abd)