Mengembalikan Persahabatan Indonesia-Rusia
Rabu, 04 September 2024 - 05:05 WIB
Konteks ini menjadi relevan kehadiran Prabowo bukan hanya sebagai menteri pertahanan, tapi sebagai presiden terpilih yang menunggu pelantikan pada 30 Oktober nanti. Sebaliknya Putin menegaskan superioritas kepemimpinannya setelah memenangkan pemilu pada 17 Maret 2024, yang memberi otoritas kepadanya memegang kendali kepemimpinan Rusia untuk periode ketiga, bahkan diproyeksikan hingga 2036 karena dia sudah menandatangi konstitusi yang telah diamandemen melalui referendum pada 2020.
baca juga: Prabowo Bertemu Putin, Pengamat: Akselerasi Teknologi Nuklir bagi Maritim Indonesia
Dengan demikian, di tangan kedua pemimpin inilah masa depan hubungan Indonesia-Rusia akan diukir. Terutama, dari sisi hubungan atau kerja sama pertahanan kedua negara, yang merupakan isu krusial dan menjadi tolok ukur sejauh mana relasi bilateral terbangun. Lebih jauh, dampak yang diharapkan tidak berhenti pada peningkatan hubungan bilateral, tapi juga berdampak pada stabilitas internasional, terutama di kawasan Indo-Pasifik.
Untuk memahami urgensi penegasan komitmen memperkuat persahabatan kedua negara, tentu harus memahami bagaimana sejarah hubungan Indonesia-Rusia dan seperti apa dinamika yang mewarnai perjalanan hubungan bilateral tersebut? Tak kalah pentingnya adalah, langkah seperti apa yang bisa diambil agar cita-cita bersama bisa terwujud?
Bantu Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia-Rusia seolah sudah ditakdirkan menjalin persahabataan sejati. Betapa tidak, negara yang dulu bernama Uni Sovyet sudah mendukung eksistensi Indonesia sejak awal diproklamasikan. Secara kongkret perwakilan Uni Sovyet di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu berada di belakang Indonesia dalam setiap momen krusial, seperti untuk mendapat pengakuan kemerdekaan hingga menghadapi Agresi Belanda I dan II.
‘’Laporan Hubungan Bilateral Antara Indonesia dan Rusia’’ yang dimuat dalam kemlu.go.id menyebut tahun 1956-1962 sebagai puncak kemesraan hubungan Indonesia-Uni Soviet. Hal ini tercermin dari kunjung-mengunjungi di antara dua pemimpin negara. Dari Indonesia, Presiden Soekarno berkunjung ke Moskow pada 28 Agustus-12 September 1956, dan kembali mengunjungi ke negeri tersebut pada 1961. Sebaliknya dari Uni Sovyet, pada tahun 1957 Ketua Presidium Uni Soviet Tertinggi K.Y. Voroshilov datang ke Jakarta. Kemudian di Februari 1960 giliran Perdana Menteri (PM) Nikita Khuschev berkunjung ke Indonesia.
Silaturahmi tersebut melahirkan kesepakatan meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial budaya, kemanusiaan, maupun militer. Proyek kerja sama yang terwujud antara lain pembangunan Rumah Sakit (RS) Persahabatan, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGB), Hotel Indonesia, pembangunan jalan, jembatan dan lapangan terbang di sejumlah daerah di Indonesia, pembangunan pabrik baja, dan fasilitas infrastruktur lainnya. Hingga kini banyak bangunan masih gagah berdiri dan menjadi monumen kokohnya persahabatan Indonesia-Rusia.
baca juga: Putin Beri Selamat Prabowo atas Kemenangan Pemilu, Tegaskan Kedekatan Rusia-Indonesia
Dukungan krusial ditegaskan Uni Sovyet saat Indonesia berjuang membebaskan Irian Barat dari Belanda dan mengembalikannya ke pangkuan Ibu Pertiwi atau Operasi Trikora. Kala itu, Indonesia sangat membutuhkan alutsista gahar agar bisa mengusir Belanda. Pendekatan sebelumnya dilakukan ke Amerika Serikat (AS) gagal karena hubungan Paman Sam dengan Belanda.
baca juga: Prabowo Bertemu Putin, Pengamat: Akselerasi Teknologi Nuklir bagi Maritim Indonesia
Dengan demikian, di tangan kedua pemimpin inilah masa depan hubungan Indonesia-Rusia akan diukir. Terutama, dari sisi hubungan atau kerja sama pertahanan kedua negara, yang merupakan isu krusial dan menjadi tolok ukur sejauh mana relasi bilateral terbangun. Lebih jauh, dampak yang diharapkan tidak berhenti pada peningkatan hubungan bilateral, tapi juga berdampak pada stabilitas internasional, terutama di kawasan Indo-Pasifik.
Untuk memahami urgensi penegasan komitmen memperkuat persahabatan kedua negara, tentu harus memahami bagaimana sejarah hubungan Indonesia-Rusia dan seperti apa dinamika yang mewarnai perjalanan hubungan bilateral tersebut? Tak kalah pentingnya adalah, langkah seperti apa yang bisa diambil agar cita-cita bersama bisa terwujud?
Bantu Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia-Rusia seolah sudah ditakdirkan menjalin persahabataan sejati. Betapa tidak, negara yang dulu bernama Uni Sovyet sudah mendukung eksistensi Indonesia sejak awal diproklamasikan. Secara kongkret perwakilan Uni Sovyet di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu berada di belakang Indonesia dalam setiap momen krusial, seperti untuk mendapat pengakuan kemerdekaan hingga menghadapi Agresi Belanda I dan II.
‘’Laporan Hubungan Bilateral Antara Indonesia dan Rusia’’ yang dimuat dalam kemlu.go.id menyebut tahun 1956-1962 sebagai puncak kemesraan hubungan Indonesia-Uni Soviet. Hal ini tercermin dari kunjung-mengunjungi di antara dua pemimpin negara. Dari Indonesia, Presiden Soekarno berkunjung ke Moskow pada 28 Agustus-12 September 1956, dan kembali mengunjungi ke negeri tersebut pada 1961. Sebaliknya dari Uni Sovyet, pada tahun 1957 Ketua Presidium Uni Soviet Tertinggi K.Y. Voroshilov datang ke Jakarta. Kemudian di Februari 1960 giliran Perdana Menteri (PM) Nikita Khuschev berkunjung ke Indonesia.
Silaturahmi tersebut melahirkan kesepakatan meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial budaya, kemanusiaan, maupun militer. Proyek kerja sama yang terwujud antara lain pembangunan Rumah Sakit (RS) Persahabatan, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGB), Hotel Indonesia, pembangunan jalan, jembatan dan lapangan terbang di sejumlah daerah di Indonesia, pembangunan pabrik baja, dan fasilitas infrastruktur lainnya. Hingga kini banyak bangunan masih gagah berdiri dan menjadi monumen kokohnya persahabatan Indonesia-Rusia.
baca juga: Putin Beri Selamat Prabowo atas Kemenangan Pemilu, Tegaskan Kedekatan Rusia-Indonesia
Dukungan krusial ditegaskan Uni Sovyet saat Indonesia berjuang membebaskan Irian Barat dari Belanda dan mengembalikannya ke pangkuan Ibu Pertiwi atau Operasi Trikora. Kala itu, Indonesia sangat membutuhkan alutsista gahar agar bisa mengusir Belanda. Pendekatan sebelumnya dilakukan ke Amerika Serikat (AS) gagal karena hubungan Paman Sam dengan Belanda.
tulis komentar anda