Tambang, Kesejahteraan Semu, dan Krisis Pangan

Rabu, 28 Agustus 2024 - 05:00 WIB
Aktivitas pertambangan menyebabkan krisis hingga bencana ekologis akibat dari kerusakan lingkungan baik di darat maupun di laut. Krisis ekologis inilah yang akan mengancam keberadaan sumber pangan masyarakat lokal.

Contoh nyatanya bisa kita cermati melalui penelitian Transparency International Indonesia yang berjudul Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya (2024). Penelitian ini memberikan gambaran mengenai ancaman terhadap ekosistem kehidupan khususnya terhadap sumber pangan masyarakat di Halmahera Timur dan Tengah, Maluku Utara.

Pertama, tambang nikel telah menyebabkan perubahan lanskap tutupan lahan berupa penggundulan hutan yang berakibat pada bencana banjir bandang hingga perubahan ekosistem sungai. Banjir yang terjadi tiap tahun membuat lahan-lahan pertanian produktif tergenang air sehingga mengalami gagal panen.

Penggundulan lahan dan kerusakan sungai seperti Sungai Gemaf, Sungai Ake Sade, dan Sungai Ake Waleh di Halmahera Tengah, telah menghilangkan ketersediaan sumber pangan baik yang berada di hutan maupun sungai tersebut. Padahal sebagian besar masyarakat menggantungkan sumber pangan dari lahan-lahan pertanian, hutan dan sungai.

Kedua, sedimentasi akibat pembukaan lahan hutan dan limbah dari aktivitas tambang nikel telah mencemari perairan baik sungai maupun laut. Misalnya Sungai Sagea yang terhubung langsung ke laut. Akibatnya, biota yang hidup di dalam ekosistem sungai dan laut pun mati. Masyarakat yang juga berprofesi sebagai nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan dari sungai dan laut.

Dampak aktivitas pertambangan terhadap perairan di Halmahera juga telah direkam oleh Sarianto et al. (2016) dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Penelitian ini menjelaskan bahwa muatan padatan tersuspensi (MPT) di perairan Halmahera Timur berada di atas nilai ambang batas yang ditetapkan KLHK sebesar kurang dari 25 mg/L. Kandungan nikel (Ni) yang berada perairan pun telah mendekati nilai ambang batas.

Bahkan data terbaru dari penelitian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) tahun 2023 menerangkan bahwa air laut yang berbatasan langsung dengan kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park mengandung kromium heksavalen dengan konsentrasi mencapai 0,024 mg/L. Kadar konsentrasi ini telah melebihi kriteria yang ditetapkan IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance) sebesar 0,0044 mg/L dan PP 21 Tahun 2021 wisata bahari dan biota laut.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa keretakan (rift) akibat dari aktivitas pertambangan nikel di Kepulauan Halmahera memberikan peningkatan risiko atas krisis pangan. Tidak hanya persoalan hilangnya ketersediaan sumber pangan, tetapi aspek keamanan pangan akibat dari pencemaran lingkungan juga harus menjadi perhatian bersama.

Lantas akan muncul pertanyaan kembali atas klaim dari PBNU dan PP Muhammadiyah. Aktivitas pertambangan ramah lingkungan atau pro lingkungan seperti apa yang hendak dilaksanakan dengan menerima tawaran kebijakan ini?

Berdamai dengan Bumi

Berdamai Dengan Bumi (2023), buku terjemahan dari judul asli Making Peace with The Earth yang ditulis oleh Vandana Shiva barangkali cocok menjadi refleksi bahkan rujukan bersama. Selain memberikan gambaran penyebab dari krisis ekologis, Shiva juga menawarkan perubahan paradigma ekonomi dan politik dari yang semula hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi menjadi berpusat pada kelestarian bumi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More