Tambang Korporatisme Negara
Minggu, 04 Agustus 2024 - 16:04 WIB
Ilham B Saenong
Manajer Pengembangan Program di Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial
“HAMPIR semua orang akan kuat menghadapi penderitaan, namun karakter seseorang hanya bisa diuji dengan memberinya kekuasaan.” Ungkapan populer Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln dua abad lalu tersebut kini lebih bisa diapresiasi dalam konteks konsesi pengelolaan tambang.
Pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan telah menimbukan polemik berkepanjangan. Terjadi saling serang antarpihak yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut berdasarkan perspektif, pertimbangan, dan kepentingan masing-masing.
Namun demikian, harus disadari bahwa polemik yang timbul bukan semata-mata efek dari kebijakan dimaksud. Kebijakan itu sendiri mengandung detonator untuk memecah integrasi dan integritas kelompok-kelompok kritis di luar negara dan bisnis (critical non-state not for profit actors). Pemecah-belahan kekuatan sipil ini bemuara pada arus konsolidasi politik dalam bentuk korporatisme negara yang jadi penanda mutakhir dari era yang telah melupakan amanat Reformasi.
Proyek Korporatis
Pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan akan melanjutkan sisa proyek-proyek pertambangan sebagaimana telah banyak dianalisis para pengamat. Saat ormas kegamaan yang baru belajar menambang ini harus mencuci pengelolaan tambang energi kotor dan kerusakan yang ditimbulkannya, proyek baru yang sebenarnya adalah negara sedang berupaya menggiring aktor-aktor kunci di luar negara ke dalam kontrolnya.
Korporatisme negara terhadap kekuatan-kekuatan kemasyarakatan bukan hal baru. Strategi tersebut dijalankan penguasa secara efektif dan masif hingga tumbangnya Presiden Soeharto.
Pada masa Orde Baru, korporatisme negara berbentuk upaya penjinakan aktor kritis atau yang dianggap berpotensi untuk menggugat prioritas dan kebijakan pemerintah. Cara lain dengan melakukan akomodasi terhadap kekuatan masyarakat yang menguntungkan rezim yang berkuasa.
Manajer Pengembangan Program di Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial
“HAMPIR semua orang akan kuat menghadapi penderitaan, namun karakter seseorang hanya bisa diuji dengan memberinya kekuasaan.” Ungkapan populer Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln dua abad lalu tersebut kini lebih bisa diapresiasi dalam konteks konsesi pengelolaan tambang.
Pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan telah menimbukan polemik berkepanjangan. Terjadi saling serang antarpihak yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut berdasarkan perspektif, pertimbangan, dan kepentingan masing-masing.
Namun demikian, harus disadari bahwa polemik yang timbul bukan semata-mata efek dari kebijakan dimaksud. Kebijakan itu sendiri mengandung detonator untuk memecah integrasi dan integritas kelompok-kelompok kritis di luar negara dan bisnis (critical non-state not for profit actors). Pemecah-belahan kekuatan sipil ini bemuara pada arus konsolidasi politik dalam bentuk korporatisme negara yang jadi penanda mutakhir dari era yang telah melupakan amanat Reformasi.
Proyek Korporatis
Pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan akan melanjutkan sisa proyek-proyek pertambangan sebagaimana telah banyak dianalisis para pengamat. Saat ormas kegamaan yang baru belajar menambang ini harus mencuci pengelolaan tambang energi kotor dan kerusakan yang ditimbulkannya, proyek baru yang sebenarnya adalah negara sedang berupaya menggiring aktor-aktor kunci di luar negara ke dalam kontrolnya.
Korporatisme negara terhadap kekuatan-kekuatan kemasyarakatan bukan hal baru. Strategi tersebut dijalankan penguasa secara efektif dan masif hingga tumbangnya Presiden Soeharto.
Pada masa Orde Baru, korporatisme negara berbentuk upaya penjinakan aktor kritis atau yang dianggap berpotensi untuk menggugat prioritas dan kebijakan pemerintah. Cara lain dengan melakukan akomodasi terhadap kekuatan masyarakat yang menguntungkan rezim yang berkuasa.
Lihat Juga :
tulis komentar anda