Pengamat Nilai Overtreatment Layanan Kesehatan Perlu Dibenahi
Rabu, 31 Juli 2024 - 19:18 WIB
JAKARTA - Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mengkritisi kecenderungan perawatan dan layanan kesehatan yang mengarah pada overtreatment alias pengobatan berlebihan dan klaim yang berlebihan (overclaim). Menurutnya, ada beberapa poin yang menjurus overtreatment pelayanan kesehatan.
Pertama insentif finansial, pihak dokter dan fasilitas kesehatan mendapatkan keuntungan finansial lebih besar. Karena memberikan lebih banyak pelayanan atau prosedur medis yang mungkin tidak semuanya dibutuhkan pasien.
"Sebab overtreatment dari insentif finansial. Dokter spesialis sering memberikan layanan berlebih karena didorong oleh industri farmasi," kata Agus dalam acara seminar Pentingnya Layanan Kesehatan yang Layak dan Tepat bagi Publik di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Kedua, minimnya pengetahuan pasien karena mungkin tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mempertanyakan atau memahami rekomendasi medis yang diberikan dokter. Sehingga mereka cenderung menerima semua tindakan yang disarankan tanpa mempertimbangkan apakah itu benar-benar diperlukan.
Ketiga, defensive medis yaitu dokter mungkin melakukan lebih banyak tes dan prosedur untuk melindungi diri dari kemungkinan tuntutan hukum jika terjadi kesalahan diagnosis atau pengobatan.
Agus pun menceritakan kisahnya bersama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sempat beberapa kali menuntut dokter karena malpraktik. Namun semua itu digagalkan karena adanya Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
"Zaman saya masih aktif dulu, kita beberapa kali mencoba mempidanakan dokter karena salah treatment, tetapi tidak bisa. Padahal Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8/1999 itu transaksional. Saya kan bayar dokternya, jadi saya bisa tuntut dokternya kalau tidak kasih saya kesehatan. Tapi lalu di kedokteran membuat Undang-Undang praktek kedokteran, jadinya tidak tersentuh," ujar dia.
Agus menambahkan di poin selanjutnya, terkait sistem pembayaran berbasis fee-for-service. Di mana, setiap dokter mendapatkan gajinya berdasarkan pelayanan yang ia berikan kepada pasiennya.
Pertama insentif finansial, pihak dokter dan fasilitas kesehatan mendapatkan keuntungan finansial lebih besar. Karena memberikan lebih banyak pelayanan atau prosedur medis yang mungkin tidak semuanya dibutuhkan pasien.
"Sebab overtreatment dari insentif finansial. Dokter spesialis sering memberikan layanan berlebih karena didorong oleh industri farmasi," kata Agus dalam acara seminar Pentingnya Layanan Kesehatan yang Layak dan Tepat bagi Publik di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Kedua, minimnya pengetahuan pasien karena mungkin tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mempertanyakan atau memahami rekomendasi medis yang diberikan dokter. Sehingga mereka cenderung menerima semua tindakan yang disarankan tanpa mempertimbangkan apakah itu benar-benar diperlukan.
Ketiga, defensive medis yaitu dokter mungkin melakukan lebih banyak tes dan prosedur untuk melindungi diri dari kemungkinan tuntutan hukum jika terjadi kesalahan diagnosis atau pengobatan.
Agus pun menceritakan kisahnya bersama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sempat beberapa kali menuntut dokter karena malpraktik. Namun semua itu digagalkan karena adanya Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
"Zaman saya masih aktif dulu, kita beberapa kali mencoba mempidanakan dokter karena salah treatment, tetapi tidak bisa. Padahal Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8/1999 itu transaksional. Saya kan bayar dokternya, jadi saya bisa tuntut dokternya kalau tidak kasih saya kesehatan. Tapi lalu di kedokteran membuat Undang-Undang praktek kedokteran, jadinya tidak tersentuh," ujar dia.
Agus menambahkan di poin selanjutnya, terkait sistem pembayaran berbasis fee-for-service. Di mana, setiap dokter mendapatkan gajinya berdasarkan pelayanan yang ia berikan kepada pasiennya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda