Progresivitas Jepang Membendung China di LCS

Selasa, 23 Juli 2024 - 05:12 WIB
Sedangkan konflik China versus Filipina sebelas duabelas dialami sebagian besar negara-negara di kawasan ASEAN terkait klaim China di sebagian besar wilayah LCS, yang ditandai dengan adanya sebagai sembilan garis putus-putus atau nine dash line. Khusus dengan Filipina, China berebut sebuah pulau karang yang ditandai keberadaan kapal berkarat Sierra Madre milik Filipina. China menyebut pulau itu sebagai Karang Ren-ai, sedang Pinoy menyebutnya sebagai Second Thomas Shoal atau Ayungin Shoal.

Walaupun belum sempat pecah perang, rebutan Second Thomas Shoal kerap diwarnai insinden antara kedua pasukan. Terakhir terjadi pada medio Juni lalu, di mana kapal kedua negara bertabrakan. Kepala AFP Jenderal Romeo Brawner Jr menyebut tindakan pasukan China tiada beda dengan perompak. Disebut bahwa Coastguard China mengambil senapan yang dibongkar, alat navigasi, hingga barang-barang pribadi awak kapal. Sedangkan China menuding kapal Filiina secara ilegal menerjang laut dekat Second Thomas Shoal di LCS dan mengabaikan peringatan dari mereka.

Dinamika politik luar negeri Jepang merangkul Filipina vis a vis China tentu memuat kepentingan strategis di dalamnya. Kira-kira, gol apa yang ingin dicapai dengan langkah kudanya tersebut? Selanjutnya, strategi seperti apa yang dilakukan Jepang untuk mewujudkan tujuan tersebut?

Mengimbangi Kekuatan China

Dalam konteks kajian hubungan internasional, langkah Jepang membentuk pakta pertahanan dengan Filipina bisa dilihat dari perspektif balance of power atau keseimbangan kekuatan. Balance of power dilakukan sebagai upaya menyeimbangkan kekuatan dan kekuasaan untuk mencegah salah satu negara menjadi paling kuat atau dominan bagi negara lain,

Berdasar sejumlah referensi, teori ini memiliki asumsi bahwa ketika sebuah negara yang dominan meningkatkan kekuatan mereka secara lebih agresif, maka negara-negara kecil lainnya merasa terancam dan mulai beraliansi atau bekerja sama dengan negara-negara besar untuk menjaga keamanan negara mereka dari negara yang dominan.

Melalui balance of power, negara (dominan) tidak dapat memaksakan kehendaknya dan mengganggu kepentingan negara lain. Terwujudnya keseimbangan kekuasaan diharapkan bisa menciptakan keteraturan dalam struktur internasional. Adapun langkah balance of power, bisa dilakukan negara itu secara sendirian atau bekerja sama atau beraliansi dengan negara lain untuk meningkatkan kekuatan.

Di antara pakar hubungan internasional yang mengkaji balance of power adalah Hans J Morgenthau. Dalam Politicis Among Nations, dia menjelaskan keseimbangan kekuasaan dan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk melestarikannya tidak hanya tidak bisa dihindari, namun juga merupakan faktor stabilisasi penting dalam masyarakat negara-negara berdaulat. Namun dalam praktiknya, Morgenthau mengakui negara-negara yang secara aktif terlibat dalam perebutan kekuasaan tidak bertujuan pada keseimbangan, yaitu kesetaraan kekuasaan, namun pada superioritas kekuasaan demi kepentingan mereka sendiri.

baca juga: Konflik Laut China Selatan Memanas, Kapal China dan Filipina Bertabrakan

Selain itu, kekuatan relatif suatu negara sulit dihitung karena elemen-elemen penting dari kekuatan nasional sulit dipahami dan sering berubah. Akibatnya, tidak ada negara yang dapat memprediksi seberapa besar kesalahan perhitungan yang akan terjadi, sehingga semua negara pada akhirnya harus menghimpun kekuatan maksimum yang bisa diperoleh dalam situasi tersebut. Hanya dengan cara ini mereka dapat berharap mencapai batas keamanan maksimum sepadan dengan kesalahan maksimum yang mungkin mereka lakukan.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More