Progresivitas Jepang Membendung China di LCS
Selasa, 23 Juli 2024 - 05:12 WIB
DINAMIKA politik di fora konflik Laut China Selatan (LCS) menunjukkan progresivitasnya. Adalah Jepang tetiba merangkul Filipina untuk membentuk pakta pertahanan. Apapun argumentasinya, tak dapat dimungkiri aliansi ini menarget China sebagai musuh bersama. Keberadaan pakta pertahanan ini membuka ruang lebar bagi Jepang mengerahkan pasukan untuk melakukan latihan bersama di negara Asia Tenggara yang pernah di bawah pendudukannya pada Perang Dunia II lalu.
baca juga: Mengulik Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Panas
Sebaliknya, Filipina mendapat akses timbal balik untuk mengirim pasukannya ke Jepang untuk kepentingan sama. Dikutip kantor berita AP, kesepakatan bersejarah ini diteken Menteri Luar Negeri Jepang Yoko Kamikawa dan Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro di Manila. Perjanjian yang disaksikan Presiden Ferdinand Marcos Jr. baru akan berlaku setelah diratifikasi lembaga legislatif masing-masing negara.
Dengan adanya pakta pertahanan itu pula, latihan bersama yang akan digelar diperbolehkan menggunakan peluru tajam. Langkah Jepang merangkul Filipina merupakan kali pertama dilakukan Negeri Matahari Terbit tersebut dengan negara di Benua Asia. Sebelumnya Jepang telah menandatangani perjanjian serupa dengan Australia (2022) dan dengan Inggris (2023).
Latihan bersama untuk tujuan terbentuknya pakta pertahanan tentu sebatas bungkus formalitas. Kebijakan Negeri Matahari Terbit membangun persekutuan jelas mengindikasikan progresivitas Jepang di bawah kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Fumio Kishida merespons agresivitas China di LCS. Kishida bahkan telah menegaskan akan mengambil langkah apapun demi meningkatkan keamanan dan kekuatan pertahanan, termasuk kemampuan serangan balik.
Padahal, keputusan ini melanggar prinsip pasca-kekalahan pada perang PD II yang hanya berfokus pada pertahanan diri. Agresivitas Jepang juga ditunjukkan melonjaknya belanja militer mereka dalam periode lima tahun hingga 2027. Belanja militer yang dianggarkan menjadikan negeri tersebut sebagai negara pembelanja militer terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China.
Baik Jepang maupun Filipina diikat nasib sama, berselisih wilayah dengan Tiongkok. Dengan Jepang, China berebut Kepulauan Senkaku. Walaupun tidak berpenghuni, kepulauan disebut kaya akan sumber daya alam. Konflik kedua negara juga turunan dari kebijakan imperialias Jepang untuk menguasai China secara politis maupun militer untuk menjaga cadangan bahan baku dan sumber daya alam yang dimiliki Negeri Tirai Bambu tersebut.
Di LCS, Negeri Samurai merupakan bagian negara-negara yang tidak mengakui klaim sepihak China dan mendorong adanya kebebasan navigasi. Apa pasal? Secara geopolitik LCS sangatlah penting. Pada 2022, Asosiasi Advokat Kebijakan Publik Terakreditasi untuk Uni Eropa memaparkan sekitar 42% perdagangan maritim Jepang melewati LCS setiap tahun. Kerentanan kian tinggi karena Jepang sebagai negara importer gas alam cair dunia, terutama di kawasan Teluk Persia dan harus melewati LCS.
baca juga: Potensi Konflik di Laut China Selatan antara RRC, Amerika Serikat, dan ASEAN
baca juga: Mengulik Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Panas
Sebaliknya, Filipina mendapat akses timbal balik untuk mengirim pasukannya ke Jepang untuk kepentingan sama. Dikutip kantor berita AP, kesepakatan bersejarah ini diteken Menteri Luar Negeri Jepang Yoko Kamikawa dan Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro di Manila. Perjanjian yang disaksikan Presiden Ferdinand Marcos Jr. baru akan berlaku setelah diratifikasi lembaga legislatif masing-masing negara.
Dengan adanya pakta pertahanan itu pula, latihan bersama yang akan digelar diperbolehkan menggunakan peluru tajam. Langkah Jepang merangkul Filipina merupakan kali pertama dilakukan Negeri Matahari Terbit tersebut dengan negara di Benua Asia. Sebelumnya Jepang telah menandatangani perjanjian serupa dengan Australia (2022) dan dengan Inggris (2023).
Latihan bersama untuk tujuan terbentuknya pakta pertahanan tentu sebatas bungkus formalitas. Kebijakan Negeri Matahari Terbit membangun persekutuan jelas mengindikasikan progresivitas Jepang di bawah kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Fumio Kishida merespons agresivitas China di LCS. Kishida bahkan telah menegaskan akan mengambil langkah apapun demi meningkatkan keamanan dan kekuatan pertahanan, termasuk kemampuan serangan balik.
Padahal, keputusan ini melanggar prinsip pasca-kekalahan pada perang PD II yang hanya berfokus pada pertahanan diri. Agresivitas Jepang juga ditunjukkan melonjaknya belanja militer mereka dalam periode lima tahun hingga 2027. Belanja militer yang dianggarkan menjadikan negeri tersebut sebagai negara pembelanja militer terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China.
Baik Jepang maupun Filipina diikat nasib sama, berselisih wilayah dengan Tiongkok. Dengan Jepang, China berebut Kepulauan Senkaku. Walaupun tidak berpenghuni, kepulauan disebut kaya akan sumber daya alam. Konflik kedua negara juga turunan dari kebijakan imperialias Jepang untuk menguasai China secara politis maupun militer untuk menjaga cadangan bahan baku dan sumber daya alam yang dimiliki Negeri Tirai Bambu tersebut.
Di LCS, Negeri Samurai merupakan bagian negara-negara yang tidak mengakui klaim sepihak China dan mendorong adanya kebebasan navigasi. Apa pasal? Secara geopolitik LCS sangatlah penting. Pada 2022, Asosiasi Advokat Kebijakan Publik Terakreditasi untuk Uni Eropa memaparkan sekitar 42% perdagangan maritim Jepang melewati LCS setiap tahun. Kerentanan kian tinggi karena Jepang sebagai negara importer gas alam cair dunia, terutama di kawasan Teluk Persia dan harus melewati LCS.
baca juga: Potensi Konflik di Laut China Selatan antara RRC, Amerika Serikat, dan ASEAN
tulis komentar anda