Perdagangan Karbon dan Kuasi Imperialisme, Fakta atau Ilusi?

Jum'at, 19 Juli 2024 - 20:11 WIB
Apabila barang-barang India atau China yang dianggap polutif tersebut akan masuk ke negara yang memberlakukan standar sertifikasi lingkungan yang ketat, maka negara itu harus membayar pajak karbon, membeli kredit karbon di negara yang bersih lingkungan, atau melakukan reforestasi yang ketat, yang tergantung kepada verifikasi internasional yang ketat. Pertanyaannya, berapa lama dan berapa luas penghutanan yang diperlukan untuk dapat menghasilkan kredit karbon, yang seimbang dengan produk yang dihasilkan negara negara maju. Dengan kata lain, Negara maju yang lingkungannya bersih akan semakin maju, sementara negara berkembang akan berkutat dan bertarung ketat hanya untuk sekadar dapat memasuki pasar negara maju.

Kedua, mekanisme CDM yang imperialistik kapitalistik. Misalkan Australia membantu meminjamkan 100% dana untuk proyek energi bersih di Indonesia. Indonesia berpartisipasi dalam menyediakan infrastruktur dasar serta insentif kebijakan seperti membebaskan semua pajak atas investasi proyek itu yang kebetulan berasal dari Australia pula. Katakanlah partisipasi Indonesia tersebut dihargai sebagai local content (konten lokal) 20%. Misalkan pula Proyek itu berhasil mengurangi 1 juta kilogram emisi CO2 per tahun.

Secara sederhana, pembagian kredit karbonnya adalah sebagai berikut. Pertama, verifikasi pengurangan emisi akan dilakukan lembaga internasional.

Kedua, dewan eksekutif CDM akan menerbitkan Certified Emission Reduction (CERs). Satu CER setara dengan pengurangan 1 ton CO2, atau 1000 CER untuk 1 juta kilogram.

Pembagian kredit karbon Australia dengan Indonesia dalam contoh di atas adalah 80%:20%. Maka kredit karbon untuk Australia adalah 80% dari 1000 CER = 800 CERs. Kredit karbon untuk Indonesia adalah 20% dari 1000 CER = 200 CERs. Anda lihat, siapa yang bersusah payah membanting tulang mencari pinjaman, menyediakan infrastruktur dan memberi insentif pajak, dan siapa yang lebih banyak diuntungkan dari mekanisme CDM.

Ketiga, mentalitas ahistoris. Narasi di bagian tengah artikel ini menunjukkan bahwa negara-negara majulah yang terutama memulai naiknya pemanasan global. Bahkan hingga saat ini Negara teratas kontributor kepada pemanasan tersebut adalah negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia dan Jerman. Negara berkembang yang menyadari hal tersebut seperti China dan India tidak mau sepenuhnya tunduk kepada mekanisme penghukuman karbon. Mereka tetap gencar memproduksi barang dan jasa dengan menggunakan sumber energi primer yang paling ekonomis, dengan tentu saja tetap komit untuk energi bersih.

Pertanyaannya, di mana tanggung jawab historis negara-negara besar eks imperialis abad ke-18 hingga 20 yang mengotori bumi dan melakukan pemanasan global ini. Apakah ketika negara-negara berkembang akan mulai masuk ke industrialisasi harus dihambat berdasarkan ilusi etika ala langit futuristik demi lingkungan dan bumi yang lebih bersih?

* Artikel ini adalah pendapat pribadi.
(zik)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More