Perdagangan Karbon dan Kuasi Imperialisme, Fakta atau Ilusi?

Jum'at, 19 Juli 2024 - 20:11 WIB
Perlu dicatat bahwa secara keseluruhan, konsentrasi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil masih di bawah ambang batas tertinggi untuk kenaikan suhu global 2 derajat Celsius, yang idealnya dibatasi pada 1,5 derajat celsius dari level pra-industri. Namun demikian, karena pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi dianggap sebagai aktivitas utama manusia yang menjadi sumber utama kenaikan CO2 dalam jangka panjang, maka perlu dibatasi. Pembatasan ini antara lain dengan mendorong pengurangan deforestasi, peningkatan penggunaan energi terbarukan, serta perdagangan karbon.

Sang Pencemar

Sejarah mencatat bahwa emisi karbon erat kaitannya dengan industrialisasi, kemajuan ekonomi, imperialisme, dan perang, baik yang melibatkan persenjataan masif maupun perang ekonomi modern. Menurut OurWorldInData.org, emisi karbon dari penggunaan bahan bakar dan industrialisasi menunjukkan bahwa pada tahun 1800, Inggris menyumbang 95% emisi karbon. Penemuan mesin uap, kapal uap, dan industrialisasi yang masif menggunakan bahan bakar batu bara serta penebangan hutan yang luar biasa berkontribusi besar terhadap hal ini.



Dengan kemajuan perekonomian, Inggris dan negara-negara maju abad pertengahan menjelajah, berdagang, hingga menjadi imperium dan kolonialis. Seiring dengan berdirinya dan majunya Amerika Serikat dan negara lain, menjelang Perang Dunia Kedua tahun 1939, komposisi terbesar pengemisi karbon adalah Amerika Serikat (38%), Jerman (15%), Inggris (10%), Rusia (6%), Jepang (3%), dan China (2%). Perlombaan ekonomi, termasuk pembakaran karbon, berlanjut secara masif.

Data pada akhir tahun 2022 menunjukkan kontribusi kepada pemanasan global dari energi fosil sebesar 1.0590°C. Kontribusi terbesar berasal dari Amerika Serikat (0.2210°C), diikuti oleh China (0.1690°C), Rusia (0.0730°C), Jerman (0.0460°C), India (0.0410°C), dan Inggris (0.0360°C).

Kredit karbon

Sejarah perdagangan karbon dicanangkan dalam Kyoto Protocol 1997 yang mulai efektif tahun 2005. Salah satu fleksibilitas yang terkenal adalah Mekanisme Pembangunan Bersih/ Clean Development Mechanism (CDM) di mana negara negara maju dapat menikmati kredit karbon dengan membantu proyek proyek pengurangan emisi di negara berkembang.

Selanjutnya dalam Paris Agreement 2015 yang meliputi 195 negara bertekad untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dengan tujuan utama menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celcius di atas level pra-industri, serta juga mengusahakan kenaikannya di batas 1.5 derajat celcius. Perjanjian Paris menginisiasi kerangka kerja sama global yang membahas perubahan iklim, memperkenalkan berbagai mekanisme dan instrumen untuk memfasilitasi implementasi serta pencapaian target pengurangan emisi.

Secara konseptual dan praktis ada tiga persoalan besar terkait dengan mekanisme perdagangan karbon ini. Pertama adalah sifatnya zero sum game (itus-itus). Dengan mekanisme karbon Kredit suatu Negara atau Korporasi dapat memproduksi barang yang mengemisi karbon sebanyak mungkin, sepanjang dapat membeli defisit karbonnya dari Negara atau Korporasi di Negara lain. Misalkan - sebagai contoh saja - Negara Australia mengklaim berhasil melakukan net zero emission (emisi bersih nol), dengan manajemen karbon yang ketat, membantu membiayai proyek energi bersih di negara lain, tetapi pada saat yang sama mengekspor batu bara secara besar-besaran ke negara lain, katakanlah ke India atau China. Negara pengguna batubara akan terekspose sebagai emitter, sementara Australia akan mengklaim sebagai Negara yang tangannya bersih dari polusi, sehingga tidak ada hambatan memasuki pasar ekspor ke Eropa yang memberlakukan EU Ecolabel.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More