Indonesia di Tengah Rivalitas Amerika Serikat dengan China
Rabu, 10 Juli 2024 - 21:43 WIB
Veronica juga membahas perjanjian AUKUS antara Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia, yang meningkatkan ketegangan geopolitik di kawasan Asia-Pasifik. Perjanjian ini dipandang oleh China sebagai ancaman terhadap stabilitas regional dan upaya AS untuk memperkuat aliansi strategisnya.
Veronica juga menyinggung isu separatisme di Taiwan dan Hong Kong serta bagaimana negara-negara Barat terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah ini. Ia menekankan perlunya ASEAN, termasuk Indonesia untuk lebih sadar dan responsif terhadap isu-isu geopolitik seperti AUKUS yang dapat berdampak pada keamanan dan stabilitas kawasan.
Sementara itu, Fauzan Anwar menyoroti isu Uighur di Xinjiang yang sering menjadi perhatian media internasional. Ia menjelaskan bahwa isu ini berkaitan dengan radikalisme, terorisme, dan separatisme, tiga masalah yang dihadapi banyak negara.
Fauzan mengulas sejarah panjang konflik di Xinjiang, mulai dari masa Dinasti Qing hingga era Partai Komunis China, serta upaya pemerintah China untuk mengatasi masalah ini melalui program reedukasi yang sering disalahpahami sebagai kamp konsentrasi. Fauzan juga menekankan bahwa konflik di Xinjiang tidak hanya soal agama, tetapi juga etnisitas dan identitas budaya.
Pemerintah China menggunakan strategi migrasi etnis Han ke wilayah tersebut untuk memperkuat kendalinya, yang menimbulkan ketegangan dengan etnis Uighur. Ia mengingatkan bahwa isu Uighur sering digunakan sebagai alat propaganda dalam rivalitas antara Amerika Serikat dan China, media Barat cenderung memanfaatkan isu ini untuk mendiskreditkan China.
Imron Rosyadi menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia perlu bijak dalam menilai pemberitaan mengenai Uighur. “Media Barat sering melaporkan bahwa Uighur mengalami penindasan, namun fakta-fakta tersebut sulit dibuktikan,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan justru beberapa tokoh yang mengklaim memperjuangkan HAM Uighur seperti Dolkun Isa dan Nury Turkel terlibat dalam pelanggaran HAM. “Dolkun Isa, Ketua World Uyghur Congress (WUC) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Uyghur,” tuturnya.
Dia membeberkan, Nury Turkel, Ketua Uyghur Human Rights Project juga dituduh melakukan hal serupa dan akhirnya mundur dari jabatannya. Dia berharap, masyarakat Indonesia semakin cermat menyaring informasi agar tidak mudah dimanipulasi.
Veronica juga menyinggung isu separatisme di Taiwan dan Hong Kong serta bagaimana negara-negara Barat terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah ini. Ia menekankan perlunya ASEAN, termasuk Indonesia untuk lebih sadar dan responsif terhadap isu-isu geopolitik seperti AUKUS yang dapat berdampak pada keamanan dan stabilitas kawasan.
Sementara itu, Fauzan Anwar menyoroti isu Uighur di Xinjiang yang sering menjadi perhatian media internasional. Ia menjelaskan bahwa isu ini berkaitan dengan radikalisme, terorisme, dan separatisme, tiga masalah yang dihadapi banyak negara.
Fauzan mengulas sejarah panjang konflik di Xinjiang, mulai dari masa Dinasti Qing hingga era Partai Komunis China, serta upaya pemerintah China untuk mengatasi masalah ini melalui program reedukasi yang sering disalahpahami sebagai kamp konsentrasi. Fauzan juga menekankan bahwa konflik di Xinjiang tidak hanya soal agama, tetapi juga etnisitas dan identitas budaya.
Pemerintah China menggunakan strategi migrasi etnis Han ke wilayah tersebut untuk memperkuat kendalinya, yang menimbulkan ketegangan dengan etnis Uighur. Ia mengingatkan bahwa isu Uighur sering digunakan sebagai alat propaganda dalam rivalitas antara Amerika Serikat dan China, media Barat cenderung memanfaatkan isu ini untuk mendiskreditkan China.
Imron Rosyadi menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia perlu bijak dalam menilai pemberitaan mengenai Uighur. “Media Barat sering melaporkan bahwa Uighur mengalami penindasan, namun fakta-fakta tersebut sulit dibuktikan,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan justru beberapa tokoh yang mengklaim memperjuangkan HAM Uighur seperti Dolkun Isa dan Nury Turkel terlibat dalam pelanggaran HAM. “Dolkun Isa, Ketua World Uyghur Congress (WUC) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Uyghur,” tuturnya.
Dia membeberkan, Nury Turkel, Ketua Uyghur Human Rights Project juga dituduh melakukan hal serupa dan akhirnya mundur dari jabatannya. Dia berharap, masyarakat Indonesia semakin cermat menyaring informasi agar tidak mudah dimanipulasi.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda