Larangan Jurnalisme Investigasi Eksklusif di RUU Penyiaran, Praktisi Hukum: Sangat Multitafsir
Jum'at, 14 Juni 2024 - 21:29 WIB
JAKARTA - Praktisi hukum Deolipa Yumara mengkritik Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah ditunda pembahasannya oleh DPR. Aturan tersebut dapat menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat dan jurnalis.
Kritik itu dilayangkan Deolipa dalam diskusi publik yang diselenggarakan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) bertajuk “Menakar Urgensi RUU Penyiaran” di Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2024).
Salah satu yang dikritik yakni norma larangan penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi yang tercantum dalam Pasal 50 B ayat (2) RUU Penyiaran.
"Nah, ternyata ada kata-kata eksklusif, tapi eksklusifnya juga nggak bisa dibahas, gimana kalau kita nggak tahu, apa tidak eksklusif atau eksklusif. Jadi ini adalah kata-kata yang kemudian sangat-sangat multitafsir," ujar Deolipa.
Dia menilai diksi eksklusif dalam beleid RUU itu sangat multitafsir dan berpotensi menghambat kerja jurnalistik. Padahal, kerja jurnalistik adalah juga kerja-kerja investigasi.
“Kerja jurnalis, kerja pers itu 90% adalah investigasi, 10% adalah menyiarkan kan gitu," tuturnya.
Menurut dia, pelarangan terhadap jurnalistik investigasi eksklusif sangat berbahaya dan tidak masuk akal. Deolipa menegaskan kerja pers telah diatur dalam UU Pers dan UU ITE.
“UU ITE ada, selesai urusan. Siapa lagi yang dikejar? Kalau yang dikejar penyiaran, penyiaran juga bagian dari pers," katanya.
Advokat konstitusi Viktor Santoso Tandiasa menambahkan pembentukan UU itu harus dilandasi niat yang baik. Niat itu terlihat dalam norma yang dituangkan.
"Bagaimana melihatnya? Saat mempunyai niat baik atau political will yang baik, mana kemudian norma itu tentunya secara jelas dan tidak multitafsir. Harus jelas penyampaiannya niat itu," katanya.
"Kalau pun misalnya dalam perumusan norma itu masih kurang jelas, maka ada bagian penjelasan. Diturunkan pada bagian penjelasan apa yang dimaksud investigasi secara eksklusif," ujar Viktor.
Kritik itu dilayangkan Deolipa dalam diskusi publik yang diselenggarakan Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) bertajuk “Menakar Urgensi RUU Penyiaran” di Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2024).
Baca Juga
Salah satu yang dikritik yakni norma larangan penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi yang tercantum dalam Pasal 50 B ayat (2) RUU Penyiaran.
"Nah, ternyata ada kata-kata eksklusif, tapi eksklusifnya juga nggak bisa dibahas, gimana kalau kita nggak tahu, apa tidak eksklusif atau eksklusif. Jadi ini adalah kata-kata yang kemudian sangat-sangat multitafsir," ujar Deolipa.
Dia menilai diksi eksklusif dalam beleid RUU itu sangat multitafsir dan berpotensi menghambat kerja jurnalistik. Padahal, kerja jurnalistik adalah juga kerja-kerja investigasi.
“Kerja jurnalis, kerja pers itu 90% adalah investigasi, 10% adalah menyiarkan kan gitu," tuturnya.
Menurut dia, pelarangan terhadap jurnalistik investigasi eksklusif sangat berbahaya dan tidak masuk akal. Deolipa menegaskan kerja pers telah diatur dalam UU Pers dan UU ITE.
“UU ITE ada, selesai urusan. Siapa lagi yang dikejar? Kalau yang dikejar penyiaran, penyiaran juga bagian dari pers," katanya.
Advokat konstitusi Viktor Santoso Tandiasa menambahkan pembentukan UU itu harus dilandasi niat yang baik. Niat itu terlihat dalam norma yang dituangkan.
"Bagaimana melihatnya? Saat mempunyai niat baik atau political will yang baik, mana kemudian norma itu tentunya secara jelas dan tidak multitafsir. Harus jelas penyampaiannya niat itu," katanya.
"Kalau pun misalnya dalam perumusan norma itu masih kurang jelas, maka ada bagian penjelasan. Diturunkan pada bagian penjelasan apa yang dimaksud investigasi secara eksklusif," ujar Viktor.
(jon)
Lihat Juga :
tulis komentar anda