RUU Sapu Jagat Tuntas Oktober

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 06:28 WIB
Sepertinya, sulit tepat waktu pembahasan RUU itu karena sejumlah pasal pada klaster ketenagakerjaan yang menimbulkan kontroversi belum menemui titik temu yang diprotes para pekerja. Ilustrasi/SINDOnews
AKHIR bulan ini, tepatnya pada 25 Agustus, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah menjadwalkan demonstrasi secara besar-besaran di 20 provinsi. Aksi turun ke jalan guna menyuarakan penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Pasalnya, pihak KSPI sebagaimana digaungkan Said Iqbal selaku pimpinan tertinggi organisasi pekerja itu menyatakan cita-cita kemerdekaan sulit diwujudkan apabila RUU tersebut disahkan. Sejumlah pasal dinilai telah mereduksi hak-hak kaum pekerja dan masyarakat kecil. Kaum pekerja semakin dijauhkan dari keadilan sosial. Sebaliknya, masa depan dan hak-hak pekerja dikorbankan dengan hadirnya undang-undang (UU) sapu jagat itu.

Lebih jauh, pihak KSPI dalam keterangan tertulis yang dipublikasi SINDOnews menyatakan, tidak berlebihan apabila dari waktu ke waktu gerakan penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja semakin besar. Dalam aksi yang direncanakan akhir Agustus nanti, selain menyuarakan penolakan RUU Ominibus Law Cipta Kerja, juga akan meminta pemerintah dan DPR mengupayakan penghentian pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Selama ini, pemerintah dan DPR dinilai tidak punya strategi untuk menghindari PHK besar-besaran sebagai dampak pandemi Covid-19. Sungguh aneh di mata KSPI karena pemerintah dan DPR justru memprioritaskan pembahasan RUU yang dianggap mengancam pekerja.

Memang benar pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja terus dikebut di Badan Legislasi (Baleg) DPR dan dijadwalkan selesai pada awal Oktober 2020, meski menuai kontroversi yang diwarnai penentangan dari asosiasi pekerja. Pemerintah mengklaim telah membahas klaster ketenagakerjaan secara tripartit, yakni bersama dengan serikat pekerja dan pelaku usaha. Kabar terbaru, pihak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sedang menyempurnakan rumusan klaster ketenagakerjaan berdasarkan hasil dari pertemuan tripartit.



Pergerakan cepat pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR memang wajar kalau mengundang sejumlah pertanyaan. Ada apa di balik RUU tersebut? Target pemerintah yang akan merampungkan RUU sapu jagat pada awal Oktober mendatang justru dikritisi oleh Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam yang menilai pemerintah dan DPR terburu-buru dengan mengistilahkan "kejar tayang". Patut dicurigai bahwa begitu besar kepentingan politik dan bisnis yang bermain sehingga pembahasan RUU berjalan tidak transparan dan sejumlah bab belum dijelaskan tujuannya. Lebih tegas, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mempertanyakan serikat pekerja mana yang dinyatakan pemerintah sudah diajak bicara. Organisasi pekerja itu banyak dengan agenda yang bermacam-macam. Buktinya, KSPI menolak.

Kalau mengikuti jadwal Baleg DPR apabila pembahasan RUU rampung dua bulan ke depan, maka selanjutnya diserahkan kapada Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk proses pengesahan. Sepertinya, sulit tepat waktu pembahasan RUU itu karena sejumlah pasal pada klaster ketenagakerjaan yang menimbulkan kontroversi belum menemui titik temu yang diprotes para pekerja. Adapun pasal-pasal kontroversi yang mengundang asosiasi pekerja turun ke jalan, meliputi soal upah, pesangon, cuti hamil, sanksi pidana pengusaha, serta karpet merah tenaga kerja asing.

Dari sisi upah, pekerja mempersoalkan sistem pengupahan yang ada dalam RUU itu yang mengubah sistem pengupahan menjadi perhitungan jam. Pasalnya, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu berpotensi digaji di bawah upah minimum. Pemerintah mengakui skema upah per jam, namun upah minimum tidak dihapuskan. Untuk menerapkan skema upah per jam, perusahaan dikenakan sejumlah syarat, misalnya untuk menampung jenis pekerjaan tertentu seperti konsultan, pekerjaan paruh waktu, serta jenis pekerjaan baru di bidang ekonomi digital.

Selain itu, pekerja yang menolak RUU tersebut khawatir pesangon pekerja yang terkena PHK hilang. Namun dalam draf UU sapu jagat itu masih mengatur pembayaran pesangon. Perhitungan pesangon sama dengan yang diatur dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Selanjutnya, cuti hamil tidak dijelaskan dalam RUU itu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13/2003, Pasal 82 tentang cuti hamil yang bunyinya "pekerja perempuan berhak mendapatkan istirahat 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan". Dalam draf kebijakan yang mengundang kontroversi itu tidak mengatur. Namun dalam RUU, Pasal 82 pada UU Nomor 13/2003, tidak termasuk pasal yang dicabut.

Meski demikian, alangkah baiknya pemerintah dan DPR tidak terburu-buru seperti "kejar tayang" dalam menyelesaikan RUU sapu jagat ini. Investor yang akan disasar dengan menghadirkan UU Omnibus Law Cipta Kerja juga dalam posisi melemah karena perekonomian global gonjang-ganjing. Sebaiknya pemerintah dan DPR fokus dulu dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi yang kini di depan mata. Para pekerja tidak usah turun ke jalan yang berpotensi menimbulkan klaster baru pandemi virus korona.
(ras)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More