Polemik UKT Perlu Resolusi Konflik yang Mengakar, Dina Hidayana: Pendidikan Gerbang Peradaban
Senin, 03 Juni 2024 - 16:08 WIB
”Karenanya perlu lebih banyak warga negara yang menguasai ilmu-ilmu dasar tersebut agar progresivitas kemajuan bangsa dapat diupayakan, khususnya dalam menciptakan teknologi-teknologi baru yang relatif mengatasi kebutuhan dan persoalan masyarakat dengan mengandalkan kekuatan sumber daya nasional yang dimiliki,” kata Dina.
Tingkat literasi dan kemampuan berpikir yang rendah akan menciptakan generasi tumpul yang pada akhirnya akan menjadi beban negara. Sekolah atau kuliah bukan sekadar meraih ijazah dan sertifikat yang bertumpuk. Lebih dari itu, sekolah atau kampus adalah media penempaan daya nalar yang perlu dikuatkan dengan semangat nasionalisme dan pesan tanggung jawab moral atas keberlangsungan regenerasi makhluk hidup beserta seluruh potensi isi bumi.
Ketua Umum IKATANI UNS ini pun berpandangan pendidikan memadai sebagai hak fundamental warga negara yang bersifat nasional. Untuk itu, haruslah dapat diakses oleh seluruh anak bangsa tanpa diskriminatif sebagaimana amanah konstitusi, baik itu termaktub secara lugas dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, maupun secara khusus pada batang tubuh Pasal 28 dan 31.
”Sistem dan mekanisme pendidikan kita secara keseluruhan tampaknya perlu dirombak dan dikaji lebih komprehensif melibatkan para pihak, agar ada resolusi yang bersifat fundamental dan lebih bisa diterima mayoritas,” saran Dina.
Sekalipun, konstitusi secara spesifik di Pasal 31 ayat 2 menyebutkan kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar bukan berarti serta merta diizinkan mengkapitalisasi pendidikan menengah dan tinggi yang memperdalam kesenjangan. Kampus dipercaya sebagai basis kemajuan Iptek dan peradaban dalam mengoptimalkan sumber daya manusia untuk melakukan penelitian dan pengembangan (RnD).
Dina menyarankan alokasi APBN 20% untuk pendidikan dapat dijabarkan ke publik secara detail dan transparan agar dapat diketahui bersama celah-celah kebuntuan misalnya dalam mengurai problem keuangan yang dialami sekolah atau kampus, jangan sampai alasan klasik kendala finansial berujung pada rendahnya kualitas.
”Pemerintah Indonesia ke depan, perlu melihat polemik UKT ini sebagai jalan pintas mengurai kompleksitas persoalan dunia pendidikan yang masih carut marut, seperti sistem dan regulasi, pemerataan pendidikan, mutu sekolah atau kampus, kualitas dan tingkat kesejahteraan guru atau dosen, ataupun perlunya kaji ulang kewajiban-kewajiban admistrasi yang tidak subtantif seperti model pelaporan, jurnal-jurnal kapitalism dan problem terkait lainnya,” kata pendiri DH Institute ini.
Selain itu, Dina Hidayana yang juga dikenal sebagai pakar pertahanan dan pangan ini mempertegas pentingnya link and match dunia kampus dan dunia kerja yang berbasiskan kearifan lokal dan semangat nasionalisme dalam merespons dinamika global dan peluang kemajuan peradaban.
”Perkembangan dunia yang sangat cepat menuntut ketangkasan kita dalam bertindak, tidak bisa sekadar berpikir linier biasa-biasa saja dalam kondisi VUCA dan BANI, penyesuaian jenis mata pelajaran, fakultas dan kurikulum serta litbang harus sangat progresif dan visioner. Meskipun demikian kebaharuan tidak boleh serta merta meniadakan kesejarahan dan eksistensi sumdanas kita, contohnya potensi kita sebagai negara agraris yang bisa diarahkan kembali sebagai lumbung pangan dunia,” kata Dina yang telah menyelesaikan jenjang Doktoral di Universitas Pertahanan (Unhan) RI.
Tingkat literasi dan kemampuan berpikir yang rendah akan menciptakan generasi tumpul yang pada akhirnya akan menjadi beban negara. Sekolah atau kuliah bukan sekadar meraih ijazah dan sertifikat yang bertumpuk. Lebih dari itu, sekolah atau kampus adalah media penempaan daya nalar yang perlu dikuatkan dengan semangat nasionalisme dan pesan tanggung jawab moral atas keberlangsungan regenerasi makhluk hidup beserta seluruh potensi isi bumi.
Ketua Umum IKATANI UNS ini pun berpandangan pendidikan memadai sebagai hak fundamental warga negara yang bersifat nasional. Untuk itu, haruslah dapat diakses oleh seluruh anak bangsa tanpa diskriminatif sebagaimana amanah konstitusi, baik itu termaktub secara lugas dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, maupun secara khusus pada batang tubuh Pasal 28 dan 31.
”Sistem dan mekanisme pendidikan kita secara keseluruhan tampaknya perlu dirombak dan dikaji lebih komprehensif melibatkan para pihak, agar ada resolusi yang bersifat fundamental dan lebih bisa diterima mayoritas,” saran Dina.
Sekalipun, konstitusi secara spesifik di Pasal 31 ayat 2 menyebutkan kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar bukan berarti serta merta diizinkan mengkapitalisasi pendidikan menengah dan tinggi yang memperdalam kesenjangan. Kampus dipercaya sebagai basis kemajuan Iptek dan peradaban dalam mengoptimalkan sumber daya manusia untuk melakukan penelitian dan pengembangan (RnD).
Dina menyarankan alokasi APBN 20% untuk pendidikan dapat dijabarkan ke publik secara detail dan transparan agar dapat diketahui bersama celah-celah kebuntuan misalnya dalam mengurai problem keuangan yang dialami sekolah atau kampus, jangan sampai alasan klasik kendala finansial berujung pada rendahnya kualitas.
”Pemerintah Indonesia ke depan, perlu melihat polemik UKT ini sebagai jalan pintas mengurai kompleksitas persoalan dunia pendidikan yang masih carut marut, seperti sistem dan regulasi, pemerataan pendidikan, mutu sekolah atau kampus, kualitas dan tingkat kesejahteraan guru atau dosen, ataupun perlunya kaji ulang kewajiban-kewajiban admistrasi yang tidak subtantif seperti model pelaporan, jurnal-jurnal kapitalism dan problem terkait lainnya,” kata pendiri DH Institute ini.
Selain itu, Dina Hidayana yang juga dikenal sebagai pakar pertahanan dan pangan ini mempertegas pentingnya link and match dunia kampus dan dunia kerja yang berbasiskan kearifan lokal dan semangat nasionalisme dalam merespons dinamika global dan peluang kemajuan peradaban.
”Perkembangan dunia yang sangat cepat menuntut ketangkasan kita dalam bertindak, tidak bisa sekadar berpikir linier biasa-biasa saja dalam kondisi VUCA dan BANI, penyesuaian jenis mata pelajaran, fakultas dan kurikulum serta litbang harus sangat progresif dan visioner. Meskipun demikian kebaharuan tidak boleh serta merta meniadakan kesejarahan dan eksistensi sumdanas kita, contohnya potensi kita sebagai negara agraris yang bisa diarahkan kembali sebagai lumbung pangan dunia,” kata Dina yang telah menyelesaikan jenjang Doktoral di Universitas Pertahanan (Unhan) RI.
(cip)
tulis komentar anda