Polemik UKT Perlu Resolusi Konflik yang Mengakar, Dina Hidayana: Pendidikan Gerbang Peradaban

Senin, 03 Juni 2024 - 16:08 WIB
loading...
Polemik UKT Perlu Resolusi...
Konsultan Resolusi Konflik Dina Hidayana mengatakan, polemik UKT perlu resolusi konflik yang mengakar sebab pendidikan merupakan gerbang pendidikan. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Penetapan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Perguruan Tinggi yang mengacu pada kebijakan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi dan pernyataan Sesditjen Dikti bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier berpotensi menimbulkan konflik sosial. Hal itu juga bisa menurunkan minat masyarakat dalam menempuh pendidikan tinggi.

Konsultan Resolusi Konflik Dina Hidayana menilai, minimnya proses dan diseminasi kebijakan tampaknya menjadi salah satu faktor yang memantik eskalasi konflik. Menurut Dina, meskipun pada akhirnya demo mahasiswa diberbagai penjuru dan riuhnya komentar-komentar negatif di medsos dianggap berhasil mendorong pencabutan Permendikbud sementara waktu.

”Namun seyogyanya polemik ini dapat digunakan sebagai momentum dalam meresolusi problematika sistem pendidikan yang lebih mengakar. Termasuk perlunya memformulasi link and match antara dunia kampus dan dunia kerja,” kata alumnus Magister Resolusi Konflik UGM ini.



Dina mengingatkan, fakta Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal capaian pendidikan dan inovasi bahkan dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang baru merdeka setelah Indonesia. Hal ini perlu dijadikan cambuk. Ketua Depinas SOKSI ini menyebut, berdasarkan hasil riset OECD dalam mengukur kualitas siswa dan survey PISA 2022 yang dipublikasikan 5 Desember 2023 telah menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 81 negara yang diteliti. Sedangkan berdasarkan Indeks Inovasi Global 2023 yang dilaporkan WIPO, Indonesia rangking 61 dari 132 Negara.

”Sangat ironis, skor Indonesia pada seluruh indikator masih di bawah rata-rata kelompok negara Asia Timur, Asia Tenggara dan Oseania. Bahkan daya inovasi Indonesia di bawah Vietnam dan Filipina. Artinya, bukan hanya masih jauh tertinggal, sistem pendidikan dasar kita pun rupanya belum kompetitif ditengah persaingan global yang semakin sengit,” ujar Dina.



Dibandingkan data PISA 2018, terjadi penurunan (learning loss) signifikan untuk rata-rata tiga pelajaran yakni, Membaca, Matematika dan Sains. Hasil capaian Membaca dan Matematika disebutkan setara dengan 2003, sementara posisi Skor Sains setara dengan 2006. ”Lebih parahnya, temuan tersebut menunjukkan kurang dari 18% siswa Indonesia yang mampu memahami pemodelan berpikir sistematis, kritis, dan problem solver,” ucapnya.

Mengacu pada Napoleon Bonaparte, pemimpin revolusioner yang berhasil memodernisasi Perancis melalui perombakan sistem pendidikan, Dina melihat pentingnya tiga cabang ilmu seperti Matematika, Sejarah dan Geografi sebagai dasar kemajuan peradaban.

”Karenanya perlu lebih banyak warga negara yang menguasai ilmu-ilmu dasar tersebut agar progresivitas kemajuan bangsa dapat diupayakan, khususnya dalam menciptakan teknologi-teknologi baru yang relatif mengatasi kebutuhan dan persoalan masyarakat dengan mengandalkan kekuatan sumber daya nasional yang dimiliki,” kata Dina.

Tingkat literasi dan kemampuan berpikir yang rendah akan menciptakan generasi tumpul yang pada akhirnya akan menjadi beban negara. Sekolah atau kuliah bukan sekadar meraih ijazah dan sertifikat yang bertumpuk. Lebih dari itu, sekolah atau kampus adalah media penempaan daya nalar yang perlu dikuatkan dengan semangat nasionalisme dan pesan tanggung jawab moral atas keberlangsungan regenerasi makhluk hidup beserta seluruh potensi isi bumi.

Ketua Umum IKATANI UNS ini pun berpandangan pendidikan memadai sebagai hak fundamental warga negara yang bersifat nasional. Untuk itu, haruslah dapat diakses oleh seluruh anak bangsa tanpa diskriminatif sebagaimana amanah konstitusi, baik itu termaktub secara lugas dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, maupun secara khusus pada batang tubuh Pasal 28 dan 31.

”Sistem dan mekanisme pendidikan kita secara keseluruhan tampaknya perlu dirombak dan dikaji lebih komprehensif melibatkan para pihak, agar ada resolusi yang bersifat fundamental dan lebih bisa diterima mayoritas,” saran Dina.

Sekalipun, konstitusi secara spesifik di Pasal 31 ayat 2 menyebutkan kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar bukan berarti serta merta diizinkan mengkapitalisasi pendidikan menengah dan tinggi yang memperdalam kesenjangan. Kampus dipercaya sebagai basis kemajuan Iptek dan peradaban dalam mengoptimalkan sumber daya manusia untuk melakukan penelitian dan pengembangan (RnD).

Dina menyarankan alokasi APBN 20% untuk pendidikan dapat dijabarkan ke publik secara detail dan transparan agar dapat diketahui bersama celah-celah kebuntuan misalnya dalam mengurai problem keuangan yang dialami sekolah atau kampus, jangan sampai alasan klasik kendala finansial berujung pada rendahnya kualitas.

”Pemerintah Indonesia ke depan, perlu melihat polemik UKT ini sebagai jalan pintas mengurai kompleksitas persoalan dunia pendidikan yang masih carut marut, seperti sistem dan regulasi, pemerataan pendidikan, mutu sekolah atau kampus, kualitas dan tingkat kesejahteraan guru atau dosen, ataupun perlunya kaji ulang kewajiban-kewajiban admistrasi yang tidak subtantif seperti model pelaporan, jurnal-jurnal kapitalism dan problem terkait lainnya,” kata pendiri DH Institute ini.

Selain itu, Dina Hidayana yang juga dikenal sebagai pakar pertahanan dan pangan ini mempertegas pentingnya link and match dunia kampus dan dunia kerja yang berbasiskan kearifan lokal dan semangat nasionalisme dalam merespons dinamika global dan peluang kemajuan peradaban.

”Perkembangan dunia yang sangat cepat menuntut ketangkasan kita dalam bertindak, tidak bisa sekadar berpikir linier biasa-biasa saja dalam kondisi VUCA dan BANI, penyesuaian jenis mata pelajaran, fakultas dan kurikulum serta litbang harus sangat progresif dan visioner. Meskipun demikian kebaharuan tidak boleh serta merta meniadakan kesejarahan dan eksistensi sumdanas kita, contohnya potensi kita sebagai negara agraris yang bisa diarahkan kembali sebagai lumbung pangan dunia,” kata Dina yang telah menyelesaikan jenjang Doktoral di Universitas Pertahanan (Unhan) RI.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2068 seconds (0.1#10.140)