Revisi UU Penyiaran Tuai Polemik, Nurul Arifin: Bukan Produk Final
Selasa, 14 Mei 2024 - 14:02 WIB
"Menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut," kata Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan dalam keterangannya, Sabtu (11/5/2024).
Herik juga meminta DPR untuk mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik. "Meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform," kata Herik.
IJTI, kata Herik, menaruh perhatian terhadap draf revisi UU Penyiaran baik dari sisi proses penyusunan maupun substansi. Diketahui, Pemerintah bersama DPR berencana merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Rencana ini telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran.
Draf revisi UU Penyiaran yang merupakan inisiasi dari DPR telah dibahas di Baleg pada 27 Maret 2024. "Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers telebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers," kata Herik.
Dia menyebut bahwa dalam draf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI. Pertama, Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.
"IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan. Pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi? Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi," kata Herik.
Herik juga meminta DPR untuk mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik. "Meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform," kata Herik.
IJTI, kata Herik, menaruh perhatian terhadap draf revisi UU Penyiaran baik dari sisi proses penyusunan maupun substansi. Diketahui, Pemerintah bersama DPR berencana merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Rencana ini telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran.
Baca Juga
Draf revisi UU Penyiaran yang merupakan inisiasi dari DPR telah dibahas di Baleg pada 27 Maret 2024. "Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers telebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers," kata Herik.
Dia menyebut bahwa dalam draf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI. Pertama, Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.
"IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan. Pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi? Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi," kata Herik.
(zik)
tulis komentar anda