Revisi UU Penyiaran Tuai Polemik, Nurul Arifin: Bukan Produk Final

Selasa, 14 Mei 2024 - 14:02 WIB
loading...
Revisi UU Penyiaran...
Nurul Arifin, anggota Panja RUU Penyiaran Komisi I DPR RI, menyebut RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR RI masih dalam proses, jadi belum final. Foto/Tangkapan layar IG @na_nurularifin
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah dibahas di DPR RI menuai polemik. DPR menyebut RUU yang beredar bukan produk final dan akan terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat.

Menurut Nurul Arifin , anggota Panja RUU Penyiaran Komisi I DPR RI, RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR masih dalam proses, jadi belum final.

Menurutnya, beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik seperti pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42 yang memberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, dan juga Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

"RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," ujar Nurul, Selasa (14/5/2024).

Anggota Fraksi Partai Golkar ini menambahkan, terdapat beberapa pokok yang diatur pada RUU Penyiaran ini, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch-off.

Dia menambahkan, RUU Penyiaran ini adalah Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang sebetulnya sudah digulirkan sejak tahun 2012. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, kita memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC). "Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini," katanya.

Nurul menegaskan, tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini. "Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran karena RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI," pungkasnya.

Sebelumnya, beberapa organisasi pers mengkritik RUU Penyiaran. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dicabut. Hal itu dikarenakan akan berpotensi mengancam kebebasan pers.



"Menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut," kata Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan dalam keterangannya, Sabtu (11/5/2024).

Herik juga meminta DPR untuk mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik. "Meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform," kata Herik.

IJTI, kata Herik, menaruh perhatian terhadap draf revisi UU Penyiaran baik dari sisi proses penyusunan maupun substansi. Diketahui, Pemerintah bersama DPR berencana merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Rencana ini telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran.



Draf revisi UU Penyiaran yang merupakan inisiasi dari DPR telah dibahas di Baleg pada 27 Maret 2024. "Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers telebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers," kata Herik.

Dia menyebut bahwa dalam draf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI. Pertama, Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.



"IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan. Pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi? Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi," kata Herik.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1619 seconds (0.1#10.140)