Hadiri Rakernas BKKBN, Wapres Ingatkan Kawal Peningkatan Kualitas SDM
Jum'at, 26 April 2024 - 07:30 WIB
Atas capaian ini, Hasto mengapresiasi kepada seluruh petugas lapangan sebagai ujung tombak di lapangan, meski disparitas masih terjadi. Ada daerah yang TFR-nya sudah 2,1, seperti di Jawa, Bali, DI Yogyakarta , DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur.
Namun di sejumlah daerah secara keseluruhan frekuensi kehamilan masih cukup memprihatinkan, seperti NTT dan Papua. "Kesenjangan ini harus bisa dikurangi," kata Hasto.
Dia mendukung apa yang menjadi target Menteri Kesehatan terkait Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). AKI dan AKB menjadi indikator derajat kesehatan bangsa.
"Satu bangsa dinilai derajat kesehatannya baik kalau AKI dan AKB nya juga baik. Dan dengan KB yang baik dan program yang ada akan menurunkan AKI dan AKB," ucapnya.
Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian, dalam pandangan dokter Hasto adalah bagaimana pergerakan Age Specific Fertility Rate (ASFR) rentang usia 15-19 tahun. Ternyata, dari tahun ke tahun angkanya turun cukup signifikan.
"Setiap 1.000 perempuan kalau ditanya sudah hamil atau melahirkan yang menjawab saat ini di angka 20," ujar Hasto.
Turunnya TFR membuat dependency ratio antara penduduk yang bekerja dan tidak bekerja dan konsumtif semakin turun. Terbukti, tahun 2020 dependency ratio mencapai angka 44,33. Artinya, 100 penduduk yang bekerja menanggung hanya 44 penduduk yang tidak produktif.
Puncak bonus demografi ini sesungguhnya sudah terjadi di 2020. "Kita sering mengatakan bahwa negara ini tengah memasuki bonus demografi. Tetapi secara nasional sebetulnya kita sudah pelan-pelan meninggalkan "window opportunity" bonus demografi. Hanya saja satu provinsi dengan provinsi lainnya tidak sama," ungkap Hasto.
Dengan demikian, dia meluruskan posisi puncak bonus demografi yang ternyata tercapai lebih awal dibanding proyeksi pada 2015 yang ketika itu diproyeksikan puncaknya terjadi di 2030.
Kenapa bonus demografi maju. Menurut Hasto, karena TFR-nya turun. Selain itu, tren orang nikah menurun signifikan. Sepuluh tahun lalu pernikahan terjadi sebanyak 2 juta per tahun. Saat ini turun menjadi 1,5 juta pertahun.
Namun di sejumlah daerah secara keseluruhan frekuensi kehamilan masih cukup memprihatinkan, seperti NTT dan Papua. "Kesenjangan ini harus bisa dikurangi," kata Hasto.
Dia mendukung apa yang menjadi target Menteri Kesehatan terkait Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). AKI dan AKB menjadi indikator derajat kesehatan bangsa.
"Satu bangsa dinilai derajat kesehatannya baik kalau AKI dan AKB nya juga baik. Dan dengan KB yang baik dan program yang ada akan menurunkan AKI dan AKB," ucapnya.
Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian, dalam pandangan dokter Hasto adalah bagaimana pergerakan Age Specific Fertility Rate (ASFR) rentang usia 15-19 tahun. Ternyata, dari tahun ke tahun angkanya turun cukup signifikan.
"Setiap 1.000 perempuan kalau ditanya sudah hamil atau melahirkan yang menjawab saat ini di angka 20," ujar Hasto.
Turunnya TFR membuat dependency ratio antara penduduk yang bekerja dan tidak bekerja dan konsumtif semakin turun. Terbukti, tahun 2020 dependency ratio mencapai angka 44,33. Artinya, 100 penduduk yang bekerja menanggung hanya 44 penduduk yang tidak produktif.
Puncak bonus demografi ini sesungguhnya sudah terjadi di 2020. "Kita sering mengatakan bahwa negara ini tengah memasuki bonus demografi. Tetapi secara nasional sebetulnya kita sudah pelan-pelan meninggalkan "window opportunity" bonus demografi. Hanya saja satu provinsi dengan provinsi lainnya tidak sama," ungkap Hasto.
Dengan demikian, dia meluruskan posisi puncak bonus demografi yang ternyata tercapai lebih awal dibanding proyeksi pada 2015 yang ketika itu diproyeksikan puncaknya terjadi di 2030.
Kenapa bonus demografi maju. Menurut Hasto, karena TFR-nya turun. Selain itu, tren orang nikah menurun signifikan. Sepuluh tahun lalu pernikahan terjadi sebanyak 2 juta per tahun. Saat ini turun menjadi 1,5 juta pertahun.
tulis komentar anda