Longgarnya Penegakan Hukum Kasus Pelecehan Seksual, Tak Adil Bagi Korban
Sabtu, 15 Agustus 2020 - 08:35 WIB
"Kampus internasional telah siap dengan sebuah lembaga yang bernama crisis center. Keberadaannya berfungsi untuk menampung hingga menyelesaikan sejumlah kasus, termasuk kekerasan seksual yang terjadi akibat adanya ketimpangan relasi gender" ungkapnya.
Danu menambahkan, sebaiknya perguruan tinggi yang ada di Indonesia memiliki sistem yang sama. Sebab, angka pelecehan seksual di lingkungan kampus cukup darurat. "Terlebih lagi hukum kita, khususnya hukum pidana belum mampu mencangkup seluruh bentuk kekerasan seksual yang terjadi," tambahnya.
Sementara itu, bentuk-bentuk kekerasan seksual berkembang pesat. Mulai dari ekploitasi seksual, penyiksaan seksual, perdagangan orang untuk tujuan seksual, serta pemaksaan penggunaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi. Bahkan, kini ada kekerasan seksual berbasis online. (Baca juga: Turki-Yunani Memanas, Ini Perbandingan Kekuatan Militernya)
"Dengan tidak adanya hukum, korban akan susah menuntut kedilan. Efeknya korban tidak bisa mengklaim keadilan. Korban juga tidak bisa mendapatkan akses keadilan," jelasnya.
Dia menambahkan, saat ini ketika korban akan menuntut Keadilan menggunakan sistem hukum, maka dia akan berhadapan dengan sitem peradilan yang tidak ramah terhadap korbannya. Sebab, UU KUHP masih berorientasi pada perlindungan tersangka, belum berorentasi pada perlindungan terhadap korban.
Dalam UU KUHP, lima bukti yang dapat dijadikan materi dalam sidang pengadilan pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. RUU ini juga bisa memberikan bantuan pemulihan kepada penyintas, sehingga terhindar dari dampak serius dan trauma sepanjang hidup mereka.
"Korban membutuhkan pemulihan, membutuhkan tindakan cepat untuk pemulihan fisik, psikologi, dan psikososial yang tidak ada jaminan ketika menjadi korban kekerasan seksual dia akan pulih," kata Wildan.
Belum lama ini, Komisi VIII DPR mengusulkan untuk menarik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari perogram legalitas nasional (prolegnas) Prioritas 2020. "Membuat rancangan UU yang tepat untuk permasalahan kekerasan seksual ini memang sulit. Alasannya karena kita masih menunggu penyelesaian RUU kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)," jelas Anggota Komisi VIII DPR dari fraksi PKB, Maman Imanulhaq. (Lihat videonya: Aksi Begal Asusila di Padang, Korban Mengalami Trauma)
Maman menambahkan, jalan panjang RUU PKS juga terhambat soal pembahasan judul dan definisi kekerasan seksual, serta pemidanaan. Hingga kini, anggota dewan belum satu suara tentang judul dan definisi kekerasan seksual yang tertuang dalam draf RUU PKS. (Aprilia S Andyna)
Danu menambahkan, sebaiknya perguruan tinggi yang ada di Indonesia memiliki sistem yang sama. Sebab, angka pelecehan seksual di lingkungan kampus cukup darurat. "Terlebih lagi hukum kita, khususnya hukum pidana belum mampu mencangkup seluruh bentuk kekerasan seksual yang terjadi," tambahnya.
Sementara itu, bentuk-bentuk kekerasan seksual berkembang pesat. Mulai dari ekploitasi seksual, penyiksaan seksual, perdagangan orang untuk tujuan seksual, serta pemaksaan penggunaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi. Bahkan, kini ada kekerasan seksual berbasis online. (Baca juga: Turki-Yunani Memanas, Ini Perbandingan Kekuatan Militernya)
"Dengan tidak adanya hukum, korban akan susah menuntut kedilan. Efeknya korban tidak bisa mengklaim keadilan. Korban juga tidak bisa mendapatkan akses keadilan," jelasnya.
Dia menambahkan, saat ini ketika korban akan menuntut Keadilan menggunakan sistem hukum, maka dia akan berhadapan dengan sitem peradilan yang tidak ramah terhadap korbannya. Sebab, UU KUHP masih berorientasi pada perlindungan tersangka, belum berorentasi pada perlindungan terhadap korban.
Dalam UU KUHP, lima bukti yang dapat dijadikan materi dalam sidang pengadilan pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. RUU ini juga bisa memberikan bantuan pemulihan kepada penyintas, sehingga terhindar dari dampak serius dan trauma sepanjang hidup mereka.
"Korban membutuhkan pemulihan, membutuhkan tindakan cepat untuk pemulihan fisik, psikologi, dan psikososial yang tidak ada jaminan ketika menjadi korban kekerasan seksual dia akan pulih," kata Wildan.
Belum lama ini, Komisi VIII DPR mengusulkan untuk menarik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari perogram legalitas nasional (prolegnas) Prioritas 2020. "Membuat rancangan UU yang tepat untuk permasalahan kekerasan seksual ini memang sulit. Alasannya karena kita masih menunggu penyelesaian RUU kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)," jelas Anggota Komisi VIII DPR dari fraksi PKB, Maman Imanulhaq. (Lihat videonya: Aksi Begal Asusila di Padang, Korban Mengalami Trauma)
Maman menambahkan, jalan panjang RUU PKS juga terhambat soal pembahasan judul dan definisi kekerasan seksual, serta pemidanaan. Hingga kini, anggota dewan belum satu suara tentang judul dan definisi kekerasan seksual yang tertuang dalam draf RUU PKS. (Aprilia S Andyna)
(ysw)
tulis komentar anda