Tindaklanjuti Gerakan Kampus Memanggil, Para Profesor Kaji Ulang Syarat Kepemimpinan Indonesia

Minggu, 17 Maret 2024 - 07:44 WIB
”Karena itu, kita memerlukan sebuah Undang-Undang yang mengatur rekrutmen kepemimpinan publik agar memasukkan pula syarat-syarat kualitatif. Proses seleksi kepemimpinan nasional tidak bisa hanya ditentukan angka-angka sehingga menyebabkan demokrasi kehilangan ruh substansial,” kata Sudirman.

Pembicara Heru Kurnianto Tjahjono menggarisbawahi perlunya Indonesia menemukan sosok pemimpin negarawan yang autentik di mana keberadaannya selalu berorientasi pada kontribusi bagi kepentingan masyarakat luas.

”Pemimpin negarawan adalah sosok yang secara mental sudah selesai dengan dirinya dan keluarganya,” tegas pakar manajemen SDM itu.

Srikandi hukum Prof Ni’matul Huda memandang bertumbuhkembangnya kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan diri dan keluarga dengan menggunakan sumber daya negara sebagai ironi yang mengecewakan publik. Sebab, kepemimpinan semacam tersebut jauh dari semangat pendirian bangsa dan negara Indonesia.

Agar kepemimpinan tahan terhadap berbagai godaan kekuasaan dan memiliki panduan jelas dalam melangkah, Prof Armaidy Armawi mewanti-wanti pentingnya pemahaman ideologi dan konstitusi sebagai dasar spritualitas dan moralitas kepemimpinan nasional.

Menurut dia, ideologi dan konstitusi merupakan panduan dasar dalam menghadapi berbagai tantangan geopolitik saat ini.

Pembicara lainnya, Prof Dr M Baiquni menyebutkan salah satu tantangan kepemimpinan nasional yang perlu mendapatkan perhatian serius saat ini adalah semakin merebaknya krisis lingkungan dan perubahan iklim global.

”Krisis iklim menuntut kehadiran pemimpin yang mampu menggerakkan segenap komponen masyarakat dalam upaya pencerdasan publik melalui pelestarian alam di berbagai tingkatan,” ujar Sekretaris Dewan Guru Besar UGM itu.

Kegiatan yang dihadiri ratusan peserta yang memadati Ballroom UC UGM dan ruang Zoom mendapatkan apresiasi dari Prof Koentjoro, Guru Besar Psikologi UGM yang merupakan salah satu inisiator aksi ’Petisi Bulaksumur’ dan gerakan ’Kampus Memanggil’.

Menurut Koentjoro, adalah tugas insan kampus untuk selalu mengingatkan kekuasaan. ”Semestinya suara-suara akademisi dan guru besar tidak hanya dipahami sebagai hak demokrasi tetapi juga dipahami isi subtansinya. Jika kekuasaan abai dengan suara-suara kritis, keinginan untuk melihat tahun 2045 sebagai Indonesia Emas bisa berganti dengan melihat 2045 Indonesia Cemas,” ujarnya.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More