Selebritas di Pentas Pilkada
Kamis, 13 Agustus 2020 - 10:19 WIB
Sebab Pencalonan
Ada sejumlah sebab kenapa artis tergoda ikut pilkada. Pertama, mutualisme simbiosis. Parpol dan artis sama-sama terjebak dalam relasi kuasa yang saling membutuhkan. Satu sisi parpol pengusung artis otomaticly akan mendapat berkah popularitas. Sisi lainnya, sang artis menikmati indahnya karpet merah yang disediakan parpol. Keduanya saling berkelindang, saling tergantung, dan saling menguntungkan.
Kedua, mengadu nasib di dunia politik. Jika dilihat acak, motif artis terjun ke pilkada sebatas mengadu nasib di politik. Rata-rata sudah tak lagi laku di dunia hiburan. Sepi job dan order. Wajar jika mereka memutuskan banting haluan mencari pijakan lainnya. Agak sulit menjumpai artis yang lagi di puncak popularitas rela putar arah ke politik. Kecuali Ramzi di Tangsel. Sebab, popularitas artis sangat identik dengan gelimang kemewahan.
Ketiga, tergoda kekuasaan. Para filusuf politik menyebut kekuasaan sebagai candu. Rasanya lezat dan nikmat. Siapapun pasti tergiur sulit menolak. Jangankan artis presiden pun kepincut memajukan anak dan menantu di pilkada. Kekuasaan menyuguhkan begitu banyak kemewahan. Pengaruh, uang, popularitas, dan karir politik. Artis juga manusia bakal mudah tergoda manisnya madu kekuasaan.
Cerita tentang godaan kekuasaan jejaknya tercecer sejak umat manusia lahir di muka bumi. Penuh konfrontasi, persaingan, intrik, bahkan prahara tak berkesudahan saling berebut kuasa. Persaudaraan hancur karena kekuasaan. Hubungan keluarga luluh lantah hanya karena urusan kekuasaan. Inilah potret nyata betapa menggiurkannya kekuasan itu. Lama-lama kekuasaan serupa iblis yang sangat pandai menggoda dan membutakan hati manusia.
Keempat, tentu saja karena ingin menjadi penguasa. Semua orang bermimpi ingin jadi penguasa. Bukan hanya soal power yang dimiliki, tapi menyangkut perlakuan orang terhadap penguasa itulah yang juga dicari. Penguasa di negeri ini bak seorang raja. Penuh sanjung puji, dihargai, pengaruhnya direbut khalayak, penuh protokoler, dan seterusnya. Menjadi penguasa memudahkan segalanya. Banyak keistimewaan yang didapat.
Tingkat Keterpilihan
Ada satu pertanyaan yang menyelinap masuk. Apakah artis akan mudah memenangkan pertarungan seperti bayangan banyak orang. Jawabannya tentu saja tidak. Politik penuh jalan terjal, berliku, dan mendaki. Kemenangan tak bisa hanya ditentukan dengan modal popularitas. Ada variabel akseptabilitas dan elektabilitas yang juga sangat determinan. Banyak artis kalah di politik karena terlampau jumawa dengan popularitas yang dimiliki.
Pada level ini artis diuji kerja politiknya. Akseptabilitas merupakan sikap penerimaan publik terhadap figur artis bersangkutan. Kuncinya kerja nyata yang bisa dirasakan langsung. Misalnya rajin menyapa rakyat, sering memberikan bantuan, dan lainnya. Banyak artis populer tapi dibenci. Sementara elektabilitas kaitannya dengan keterpilihan. Artis yang sudah dikenal dan disukai harus dijamin bisa dipilih. Percuma dikenal dan disukai jika akhirnya tak dipilih.
Banyak artis kalah pilkada karena abai persoalan akseptabilitas dan elektabilitas. Andre Taulani kalah di Kota Tangsel. Hengky Kurniawan berulangkali tumbang sebelum akhirnya terpilih sebagai wakil Bupati Bandung Barat. Helmi Yahya kalah di Ogan Ilir. Dedi Gumilar dan Maya Romantir juga tumbang. Fakta ini hanyalah sekelumit kegagalan artis di pilkada. Padahal figur artis sudah malang melintang di dunia hiburan yang dikenal luas publik.
Ada sejumlah sebab kenapa artis tergoda ikut pilkada. Pertama, mutualisme simbiosis. Parpol dan artis sama-sama terjebak dalam relasi kuasa yang saling membutuhkan. Satu sisi parpol pengusung artis otomaticly akan mendapat berkah popularitas. Sisi lainnya, sang artis menikmati indahnya karpet merah yang disediakan parpol. Keduanya saling berkelindang, saling tergantung, dan saling menguntungkan.
Kedua, mengadu nasib di dunia politik. Jika dilihat acak, motif artis terjun ke pilkada sebatas mengadu nasib di politik. Rata-rata sudah tak lagi laku di dunia hiburan. Sepi job dan order. Wajar jika mereka memutuskan banting haluan mencari pijakan lainnya. Agak sulit menjumpai artis yang lagi di puncak popularitas rela putar arah ke politik. Kecuali Ramzi di Tangsel. Sebab, popularitas artis sangat identik dengan gelimang kemewahan.
Ketiga, tergoda kekuasaan. Para filusuf politik menyebut kekuasaan sebagai candu. Rasanya lezat dan nikmat. Siapapun pasti tergiur sulit menolak. Jangankan artis presiden pun kepincut memajukan anak dan menantu di pilkada. Kekuasaan menyuguhkan begitu banyak kemewahan. Pengaruh, uang, popularitas, dan karir politik. Artis juga manusia bakal mudah tergoda manisnya madu kekuasaan.
Cerita tentang godaan kekuasaan jejaknya tercecer sejak umat manusia lahir di muka bumi. Penuh konfrontasi, persaingan, intrik, bahkan prahara tak berkesudahan saling berebut kuasa. Persaudaraan hancur karena kekuasaan. Hubungan keluarga luluh lantah hanya karena urusan kekuasaan. Inilah potret nyata betapa menggiurkannya kekuasan itu. Lama-lama kekuasaan serupa iblis yang sangat pandai menggoda dan membutakan hati manusia.
Keempat, tentu saja karena ingin menjadi penguasa. Semua orang bermimpi ingin jadi penguasa. Bukan hanya soal power yang dimiliki, tapi menyangkut perlakuan orang terhadap penguasa itulah yang juga dicari. Penguasa di negeri ini bak seorang raja. Penuh sanjung puji, dihargai, pengaruhnya direbut khalayak, penuh protokoler, dan seterusnya. Menjadi penguasa memudahkan segalanya. Banyak keistimewaan yang didapat.
Tingkat Keterpilihan
Ada satu pertanyaan yang menyelinap masuk. Apakah artis akan mudah memenangkan pertarungan seperti bayangan banyak orang. Jawabannya tentu saja tidak. Politik penuh jalan terjal, berliku, dan mendaki. Kemenangan tak bisa hanya ditentukan dengan modal popularitas. Ada variabel akseptabilitas dan elektabilitas yang juga sangat determinan. Banyak artis kalah di politik karena terlampau jumawa dengan popularitas yang dimiliki.
Pada level ini artis diuji kerja politiknya. Akseptabilitas merupakan sikap penerimaan publik terhadap figur artis bersangkutan. Kuncinya kerja nyata yang bisa dirasakan langsung. Misalnya rajin menyapa rakyat, sering memberikan bantuan, dan lainnya. Banyak artis populer tapi dibenci. Sementara elektabilitas kaitannya dengan keterpilihan. Artis yang sudah dikenal dan disukai harus dijamin bisa dipilih. Percuma dikenal dan disukai jika akhirnya tak dipilih.
Banyak artis kalah pilkada karena abai persoalan akseptabilitas dan elektabilitas. Andre Taulani kalah di Kota Tangsel. Hengky Kurniawan berulangkali tumbang sebelum akhirnya terpilih sebagai wakil Bupati Bandung Barat. Helmi Yahya kalah di Ogan Ilir. Dedi Gumilar dan Maya Romantir juga tumbang. Fakta ini hanyalah sekelumit kegagalan artis di pilkada. Padahal figur artis sudah malang melintang di dunia hiburan yang dikenal luas publik.
Lihat Juga :
tulis komentar anda