Selebritas di Pentas Pilkada

Kamis, 13 Agustus 2020 - 10:19 WIB
loading...
Selebritas di Pentas...
Adi Prayitno
A A A
Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik

DEMOKRASI menjadi berkah bagi semua orang. Tanpa mengenal kasta dan pranata sosial. Siapapun berhak menjadi bagian penting dari setiap suksesi politik. Tak terkecuali kalangan selebritas yang kini ramai menjamah kerasnya kompetisi politik lokal. Pilkada serentak 2020 menjadi bukti sahih banyaknya artis yang mengadu peruntungan baru di dunia politik.

Syahrul Gunawan misalnya potensial maju di Kabupaten Bandung, Aldi Taher bakal calon Gubernur Sulawesi Tengah, Lian Firman calon perseorangan di Kota Cilegon, Adly Fairus bakal calon di Kabupaten Karawang, David Chalik di Kota Bukittinggi, Ramzi bakal maju di Kota Tangsel, dan lain sebagainya.

Persaingan politik memang cukup terbuka. Siapapun yang punya bekal popularitas relatif mudah ikut bertanding. Apalagi artis dengan paras rupawan pasti punya magnet politik yang tak biasa. Mereka mencoba mengadu nasib dengan menyihir pemilih yang masih melihat fisik sebagai ukuran utama. Padahal politik tak ada kaitannya dengan bentuk fisik.

Selama identitas partai lemah (party ID) selama itu pula artis akan mudah menjadi calon kepala daerah. Cukup bermodalkan tampang dan terkenal. Bagi parpol, mengusung artis bagian cara pintas memenangkan pertarungan elektoral. Sementara artis memanfaatkan lemahnya rekrutmen dan kaderisasi internal parpol. Termasuk privilege yang diterima sang artis.

Selama ini rekrutmen parpol untuk calon pejabat publik masih longgar. Tak perlu rekam jejak dan kompetensi mentereng. Cukup mencari kandidat yang kemungkinan besar mudah memenangkan pertarungan. Harus diakui artis yang kemungkinan besar ikut bertanding di pilkada tak pernah terdengar sepak terjang politiknya. Mereka lebih dominan menghiasi layar kaca dan linimasa pemberitaan gosip ketimbang urusan politik. Selebihnya tak ada.

Artis terlihat gampang mendapat ‘altar merah’ parpol. Mereka dipersonifikasi sebagai figur yang dengan mudah bisa mendulang dukungan. Mereka idola dengan sejuta pesona yang menghipnotis pemilih. Sekalipun kapasitas dan kompetensinya jauh dari harapan. Faktor ini dinilai tak penting yang utama tetaplah usaha menang mudah.

Tak ada yang salah artis ikut pilkada. Tak satupun regulasi yang dilanggar. Mereka juga berhak ikutan bertanding. Problemnya adalah dunia politik tak seindah dunia layar yang penuh drama rekayasa palsu. Politik menyuguhkan dunia lain yang tak mudah. Butuh dedikasi dan kecakapan menghadapi dinamika birokrasi dan manuver parpol. Bahkan jika tak berhati-hati mudah terjerambab dalam pusaran arus besar korupsi. Politik penuh intrik dan jebakan. Bukan dunia dandan dan adu dendi.

Sebab Pencalonan
Ada sejumlah sebab kenapa artis tergoda ikut pilkada. Pertama, mutualisme simbiosis. Parpol dan artis sama-sama terjebak dalam relasi kuasa yang saling membutuhkan. Satu sisi parpol pengusung artis otomaticly akan mendapat berkah popularitas. Sisi lainnya, sang artis menikmati indahnya karpet merah yang disediakan parpol. Keduanya saling berkelindang, saling tergantung, dan saling menguntungkan.

Kedua, mengadu nasib di dunia politik. Jika dilihat acak, motif artis terjun ke pilkada sebatas mengadu nasib di politik. Rata-rata sudah tak lagi laku di dunia hiburan. Sepi job dan order. Wajar jika mereka memutuskan banting haluan mencari pijakan lainnya. Agak sulit menjumpai artis yang lagi di puncak popularitas rela putar arah ke politik. Kecuali Ramzi di Tangsel. Sebab, popularitas artis sangat identik dengan gelimang kemewahan.

Ketiga, tergoda kekuasaan. Para filusuf politik menyebut kekuasaan sebagai candu. Rasanya lezat dan nikmat. Siapapun pasti tergiur sulit menolak. Jangankan artis presiden pun kepincut memajukan anak dan menantu di pilkada. Kekuasaan menyuguhkan begitu banyak kemewahan. Pengaruh, uang, popularitas, dan karir politik. Artis juga manusia bakal mudah tergoda manisnya madu kekuasaan.

Cerita tentang godaan kekuasaan jejaknya tercecer sejak umat manusia lahir di muka bumi. Penuh konfrontasi, persaingan, intrik, bahkan prahara tak berkesudahan saling berebut kuasa. Persaudaraan hancur karena kekuasaan. Hubungan keluarga luluh lantah hanya karena urusan kekuasaan. Inilah potret nyata betapa menggiurkannya kekuasan itu. Lama-lama kekuasaan serupa iblis yang sangat pandai menggoda dan membutakan hati manusia.

Keempat, tentu saja karena ingin menjadi penguasa. Semua orang bermimpi ingin jadi penguasa. Bukan hanya soal power yang dimiliki, tapi menyangkut perlakuan orang terhadap penguasa itulah yang juga dicari. Penguasa di negeri ini bak seorang raja. Penuh sanjung puji, dihargai, pengaruhnya direbut khalayak, penuh protokoler, dan seterusnya. Menjadi penguasa memudahkan segalanya. Banyak keistimewaan yang didapat.

Tingkat Keterpilihan
Ada satu pertanyaan yang menyelinap masuk. Apakah artis akan mudah memenangkan pertarungan seperti bayangan banyak orang. Jawabannya tentu saja tidak. Politik penuh jalan terjal, berliku, dan mendaki. Kemenangan tak bisa hanya ditentukan dengan modal popularitas. Ada variabel akseptabilitas dan elektabilitas yang juga sangat determinan. Banyak artis kalah di politik karena terlampau jumawa dengan popularitas yang dimiliki.

Pada level ini artis diuji kerja politiknya. Akseptabilitas merupakan sikap penerimaan publik terhadap figur artis bersangkutan. Kuncinya kerja nyata yang bisa dirasakan langsung. Misalnya rajin menyapa rakyat, sering memberikan bantuan, dan lainnya. Banyak artis populer tapi dibenci. Sementara elektabilitas kaitannya dengan keterpilihan. Artis yang sudah dikenal dan disukai harus dijamin bisa dipilih. Percuma dikenal dan disukai jika akhirnya tak dipilih.

Banyak artis kalah pilkada karena abai persoalan akseptabilitas dan elektabilitas. Andre Taulani kalah di Kota Tangsel. Hengky Kurniawan berulangkali tumbang sebelum akhirnya terpilih sebagai wakil Bupati Bandung Barat. Helmi Yahya kalah di Ogan Ilir. Dedi Gumilar dan Maya Romantir juga tumbang. Fakta ini hanyalah sekelumit kegagalan artis di pilkada. Padahal figur artis sudah malang melintang di dunia hiburan yang dikenal luas publik.

Politik serupa teori survival of the fittest. Semacam semak belukar yang penuh binatang buas yang setiap saat bisa menerkam. Siapa kuat akan memenangkan pertarungan. Karenanya, selebritas yang berhasrat ke politik harus banyak belajar. Intinya, politik itu tak mudah. Tak bisa hanya mengandalkan paras rupawan dan popularitas. Tapi adu kuat saling mengalahkan.

Terlepas dari apapun, artis juga manusia. Berhak memilih juga dipilih. Sesuatu yang terberi (given) dari Tuhan. Andai menang pilkada, tinggal pamerkan ke publik bahwa mereka berkinerja jempolan yang menjadi pembeda dengan kepala daerah lain. Sebab, mencari kepala daerah artis yang kerjanya spektakuler sesulit mencari jarum di tumpukan jerami. Justru yang mengemuka urusan kehidupan pribadi. Kritik dan nyinyiran ke politisi artis mesti dijadikan cambuk bahwa mereka harus berprestasi. Bukan hanya sebatas pemanis permukaan layar.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0558 seconds (0.1#10.140)