Peran MUI sebagai Takmil al-Kamil
Rabu, 17 Januari 2024 - 19:35 WIB
Begitu pun di Indonesia, setelah tidak adanya kesultanan-kesultanan yang menjadi rujukan dan representasi umat Islam, masyarakat tergugah untuk mendirikan ormas Islam demi tercapainya tujuan beragama. Seperti Jam'iyatul Khair (1901), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam [Persis] (1923), Nahdlatul Ulama [NU] (1926), dan ormas-ormas lainnya.
Ormas-ormas yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka tersebut melahirkan ribuan sekolah, pesantren, rumah sakit, puluhan perguruan tinggi, bahkan bekerja sama mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk melanjutkan studi di Timur Tengah. Melalui ormas-ormas tersebut, lahir para pemimpin dunia, lahir para negosiator dan diplomat ulung yang dapat merekonsiliasi konflik yang ada di dalam luar negeri.
Kehadiran ormas tersebut memberikan kontribusi besar dan signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Setelah mencermati dan melihat kiprah ormas Islam dalam memajukan, mencerdaskan, menguatkan serta mengokohkan bangsa Indonesia, ada sebagian saudara kita yang berpandangan bahwa ormas Islam merupakan sumber perpecahan, umat dikotak-kotak, umat dipecah belah, dan sebagainya.
Tentu jika pemahaman ini dibiarkan akan sangat fatal dan dapat menimbulkan kesesatan pikir bagi umat Islam yang awam terhadap dunia pergerakan. Sebab sangat jauh berbeda antara ormas dengan firqah atau sekte yang dianggap jauh menyimpang dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Kesalahpahaman ini harus diluruskan dengan memberikan pemahaman mendasar. Pertama, perbedaan yang ada pada ormas adalah pada tataran ijtihadiyah, bukan ushulli (dasar-dasar agama). Perbedaan ijtihadiyah ini juga terjadi pada mazhab fikih yang empat, sementara perbedaan mereka dalam masalah pokok keimanan. (Jeje Zaenudin: 2012).
Kedua, siapa pun yang berpaham suatu aliran menyimpang atau sesat, meskipun mereka hidup berbaur di tengah masyarakat dan tidak mempunyai ormas, tetap saja dikatakan menyimpang. Sebab, kesesatan itu bukan ada pada lembaga atau ormasnya, tetapi pada pemahaman orang-orangnya.
Ketiga, perpecahan sejak dulu hingga sekarang bukan karena ada lembaga atau ormasnya, tetapi karena kejahilan, egoisme (ananiyah), fanatik buta (ta'ashub), sifat dengki, hasud, dan hawa nafsu manusia. Bahkan sering kali terjadi perpecahan di tengah masyarakat karena faktor-faktor tersebut, sekalipun tidak ada ormas atau lembaga di dalamnya.
Maka, kelahiran MUI pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta ini merupakan langkah yang sangat cerdas dan strategis. Kelahiran MUI bukan berarti tahsil al-hasil (menghasilkan sesuatu yang sudah berhasil) atau bersifat redundansi (pengulangan yang tidak penting), seperti orang yang sudah mandi kemudian disuruh mandi lagi, atau sudah ada ormas kemudian membuat wadah baru lagi yang serupa.
Tidak berlebihan jika kehadiran MUI adalah takmil al-kamil (menyempurnakan sesuatu yang sudah sempurna). Karena pada kenyataannya, meskipun ormas Islam bukan sumber perpecahan, tetapi kejahilan di tengah masyarakat menjadi ladang subur bagi bersemainya fanatisme, eksklusivisme, dengki, kecurigaan di antara sesama muslim, bahkan satu sama lain saling mengkafirkan.
Peran MUI dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat, mulai dari aspek akidah, pendidikan, kaderisasi ulama, solidaritas dunia Islam untuk Palestina, pemberdayaan ekonomi hingga semangat untuk membumihanguskan narkoba dan patologi sosial lainnya menjadi katalisator gerakan dakwah yang telah dibangun ormas Islam. Kesalahpahaman umat yang awam terhadap gerakan ormas Islam juga dapat diluruskan MUI sebagai wadah pemersatu umat.
Ormas-ormas yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka tersebut melahirkan ribuan sekolah, pesantren, rumah sakit, puluhan perguruan tinggi, bahkan bekerja sama mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk melanjutkan studi di Timur Tengah. Melalui ormas-ormas tersebut, lahir para pemimpin dunia, lahir para negosiator dan diplomat ulung yang dapat merekonsiliasi konflik yang ada di dalam luar negeri.
Kehadiran ormas tersebut memberikan kontribusi besar dan signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Setelah mencermati dan melihat kiprah ormas Islam dalam memajukan, mencerdaskan, menguatkan serta mengokohkan bangsa Indonesia, ada sebagian saudara kita yang berpandangan bahwa ormas Islam merupakan sumber perpecahan, umat dikotak-kotak, umat dipecah belah, dan sebagainya.
Tentu jika pemahaman ini dibiarkan akan sangat fatal dan dapat menimbulkan kesesatan pikir bagi umat Islam yang awam terhadap dunia pergerakan. Sebab sangat jauh berbeda antara ormas dengan firqah atau sekte yang dianggap jauh menyimpang dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Kesalahpahaman ini harus diluruskan dengan memberikan pemahaman mendasar. Pertama, perbedaan yang ada pada ormas adalah pada tataran ijtihadiyah, bukan ushulli (dasar-dasar agama). Perbedaan ijtihadiyah ini juga terjadi pada mazhab fikih yang empat, sementara perbedaan mereka dalam masalah pokok keimanan. (Jeje Zaenudin: 2012).
Kedua, siapa pun yang berpaham suatu aliran menyimpang atau sesat, meskipun mereka hidup berbaur di tengah masyarakat dan tidak mempunyai ormas, tetap saja dikatakan menyimpang. Sebab, kesesatan itu bukan ada pada lembaga atau ormasnya, tetapi pada pemahaman orang-orangnya.
Ketiga, perpecahan sejak dulu hingga sekarang bukan karena ada lembaga atau ormasnya, tetapi karena kejahilan, egoisme (ananiyah), fanatik buta (ta'ashub), sifat dengki, hasud, dan hawa nafsu manusia. Bahkan sering kali terjadi perpecahan di tengah masyarakat karena faktor-faktor tersebut, sekalipun tidak ada ormas atau lembaga di dalamnya.
Maka, kelahiran MUI pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta ini merupakan langkah yang sangat cerdas dan strategis. Kelahiran MUI bukan berarti tahsil al-hasil (menghasilkan sesuatu yang sudah berhasil) atau bersifat redundansi (pengulangan yang tidak penting), seperti orang yang sudah mandi kemudian disuruh mandi lagi, atau sudah ada ormas kemudian membuat wadah baru lagi yang serupa.
Tidak berlebihan jika kehadiran MUI adalah takmil al-kamil (menyempurnakan sesuatu yang sudah sempurna). Karena pada kenyataannya, meskipun ormas Islam bukan sumber perpecahan, tetapi kejahilan di tengah masyarakat menjadi ladang subur bagi bersemainya fanatisme, eksklusivisme, dengki, kecurigaan di antara sesama muslim, bahkan satu sama lain saling mengkafirkan.
Peran MUI dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat, mulai dari aspek akidah, pendidikan, kaderisasi ulama, solidaritas dunia Islam untuk Palestina, pemberdayaan ekonomi hingga semangat untuk membumihanguskan narkoba dan patologi sosial lainnya menjadi katalisator gerakan dakwah yang telah dibangun ormas Islam. Kesalahpahaman umat yang awam terhadap gerakan ormas Islam juga dapat diluruskan MUI sebagai wadah pemersatu umat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda